Sebentar lagi saat pembagian rapor akan tiba, kurang lebih dalam hitungan 2 atau 3 minggu lagi pada bulan ini menutup semester ganjil di tahun pelajaran ini. Tapi rasa-rasanya ada hal yang kurang, sebab pembagian rapor saat ini berbeda dengan pembagian rapor saat saya bersekolah dulu, pembagian rapor sekarang tanpa peringkat kelas.Â
Dulu, salah satu hal yang paling ditunggu-tunggu setelah ujian akhir semester saat sekolah adalah saat pembagian rapor. Dan ini adalah saat-saat yang kami tunggu, sebab setiap siswa akan dipanggil berdasarkan peringkat dalam kelasnya. Masih teringat dulu saat kelas 1 SMA, saya memperoleh peringkat kedua, di sebut namanya, di panggil untuk maju ke depan dan diberikan hadiah.Â
Hadiahnya sepele si, hanya berupa buku tulis, hadiah yang sama yang juga selalu saya peroleh dulu saat duduk di bangku SD. Hadiahnya tidak berubah, hanya seputar alat tulis sekolah plus diberikan piagam peringkat kelas, tapi jangan ditanya bagaimana rasanya ya, duh rasanya bak berbunga-bunga dan bangga.
Apalagi jika ada yang bertanya, kamu rangking berapa? dengan lantang saya jawab sesuai peringkat yang saya dapatkan. Tapi jangan berharap keadaan serupa hadir di dunia pendidikan saat ini ya, sejak kurikulum 2013 di gelar, maka saat itu juga peringkat kelas di tiadakan.
Alasannya adalah setiap siswa itu spesial, ahli dalam bidang masing-masing, dan peringkat kelas dipandang tidak tepat untuk menggambarkan berbagai talenta siswa, peringkat kelas hanya memperingkat siswa berdasarkan penilaian, padahal pada diri siswa ada berbagi aspek yang dikembangkan, aspek kognitif, psikomotor dan afektif.
By the way, mohon cmiiw ya, mohon koreksi saya jika alasan peniadaan peringkat kelas yang saya ungkapkan tidak tepat. Pokoknya faktanya sekarang tidak ada peringkat kelas di rapor.
Melalui tulisan ini penulis mencoba berbagi rasa sebagai seorang guru, orangtua siswa dan juga sekaligus sebagai pembelajar, apakah kebijakan peniadaan peringkat kelas ini tepat? apakah berdampak positif ataukan justru menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Tulisan ini juga sekaligus sebagai sebuah review kebijakan ini, sebagai sebuah evaluasi penentu kebijakan terhadap kebijakan peniadaan peringkat ini.
Tidak main-main loh, dunia pendidikan harusnya menjadi fokus perhatian bersama, sebab melenceng sedikit saja taruhannya adalah peradaban bangsa, berikut adalah beberapa evaluasi terkait peniadaan peringkat kelas yang dirasakan oleh penulis berdasarkan hasil pengamatan penulis sebagai seorang guru, orangtua siswa dan juga sekaligus sebagai pembelajar.
Tidak termotivasi
Salah satu hal yang membuat saya termotivasi untuk belajar dengan giat salah satunya adalah peringkat kelas. Tapi apa jadinya jika peringkat kelas ditiadakan. Motivasi untuk menjadi terbaik menjadi nihil.
Pernah dalam beberapa kesempatan saya bercakap ringan dengan Benazir putri kecil kami, "dulu ayah rangking trus lo dek saat SD, gak pernah telat", "aku gak ada rangking yah" bantahnya. Cukup "kena mental" si bagi saya, padahal dengan sombongnya loh saya mengatakan itu maksudnya agar Benazir putri kecil kami menjadi termotivasi, tapi sepertinya peniadaan rangking menjadikan anak-anak kurikulum 2013 menjadi anak-anak yang "buta peringkat kelas".
Salah satu contoh adalah anak kami yang seingat saya memang belum pernah mendapatkan perangkingan, secara anak saya memang bukan generasi sebelum generasi kurikulum 2013, bahkan lebih tua usia kurikulum 2013 dibandingkan Benazir yang lahir di 2015, maka tidak berlebihan kan jika generasi mereka adalah generasi yang buta terhadap peringkat.
Dan ketika tidak ada pemeringkatan maka bisa ditebak, akhir semester tidak lagi menjadi sebuah kejutan bagi mereka. Tidak ada yang spesial di akhir semester dan pada pembagian rapor, semua berjalan biasa saja tanpa ada yang istimewa sama sekali, yang spesial hanya liburnya saja, hehe.
Hal ini membuat iklim saling terpacu dalam belajar menjadi rendah, sebab tidak ada sebuah penghargaan ataupun peringkat yang di nanti. Saya masih ingat dulu saat-saat SD, selalu terpacu untuk jadi yang palingng paham atau hapal dalam mata pelajaran di kelas. Bahkan saya masih ingat, bagaimana saya bela-bela in untuk belajar di siang, sore, malam dan pagi hari hanya untuk bisa paham dan mendapatkan peringkat terbaik di dalam kelas.
Penulis khawatir dengan peniadaan peringkat kelas justru menjadikan banyak siswa menjadi abai terhadap pembelajaran yang dijalani.
Susah melakukan refleksi
Jika dulu saya mudah untuk melakukan refleksi pada pembelajaran yang telah diikuti selama satu semester dengan melihat peringkat di kelas, terus kalau sekarang mana mungkin bisa membuat refleksi atas pembelajaran yang sudah diikuti, peringkat kelas saja tidak ada.
Hal ini juga membuat saya selaku orangtua menjadi susah untuk memantau, melihat sejauh mana perkembangan anak kami di kelas. Apakah termasuk siswa yang tertinggal atau masuk dalam siswa yang perlu banyak pengayaan karena telah masuk dalam jajaran peringkat atas.
Sebagai orangtua saja saya bingung loh untuk mengetahui bagaimana perkembangan anak kami saat di sekolah, bisa jadi anak-anak kami juga bingung tentang bagaimana perkembangan mereka di kelas. Apakah sudah maksimal dalam kelas atau justru malah perlu ditingkatkan lagi, bingung kan? Bagaimana tidak bingung loh, apa yang mau kita jadikan sebagai dasar refleksi, sedangkan indikatornya, yaitu peringkat kelas saja ditiadakan, bagaimana bisa merefleksi diri jika indikatornya pun nihil karena dihilangkan.
Nyatanya tetap diperlukan
Tidak sejalan dengan kurikulum, pemeringkatan tetap diperlukan.Â
Sebut saja untuk memperoleh potongan pembiayaan bimbel, biasanya dari bimbel memberikan potongan harga bagi anak-anak yang memiliki peringkat di kelas. Wajar lah, kan bimbel, bukan lembaga/ kegiatan yang diselenggarakan oleh negara.
Oke kita kasih contoh kegiatan lain yang diselenggarakan oleh negara ya. Siswa eligible, adalah pemeringkatan 40 persen terbaik siswa di angkatannya pada sekolah tersebut. Pemeringkatan ini sebagai salah satu syarat bagi siswa untuk bisa mendaftarkan diri ke perguruan tinggi negeri melalui jalur rapor.
Bagi siswa yang tidak masuk dalam siswa eligible maka tidak bisa mendaftarkan diri melalui jalur ini, sekarang disebut sebagai SNBP. Pada jalur menggunakan nilai rapor selain SNBP pun sama, perguruan tinggi negeri tetap meminta pemeringkatan siswa dari satu angkatan,
Contoh yang lain adalah PPDB, ini mungkin contoh yang paling dekat dan familiar kita dengar, pada PPDB SMA jalur prestasi salah satu syaratnya adalah prosentase tertentu siswa terbaik di angkatannya. Satu contoh adalah, bagi SMP yang memiliki akreditasi A, maka yang bisa mendaftarkan diri melalui jalur prestasi adalah 10 persen terbaik di angkatan tersebut di sekolahnya.
PPDB SMP pun sama, ada pemeringkatan nilai rapor untuk mendaftarkan diri melalui jalur prestasi. Jadi mohon maaf ketika saya sebagai orangtua, guru dan masyarakat mempertanyakan apa sebenarnya esensi dari dihilangkannya peringkat, padahal dimana-mana tetap meminta pemeringkatan?
Jangan menutup mata
Saya pikir janganlah kita menutup mata dari pemeringkatan, toh nyatanya pemeringkatan itu sesuatu yang tidak akan bisa kita hindari. Peringkat adalah sebuah hal yang alami yang memang tercipta pun tanpa kita sadari.
Coba kita amati sekeliling, lingkungan sekitar, dan berbagai hal yang hadir ke dunia ini, apakah nihil terhadap pemeringkatan? Hasil survey capres dan cawapres saja ada peringkatnya loh, diperingkat siapa yang terbanyak berturut-turut, btw kita tidak sedang membahas artikel politik ya, hanya sebagai contoh saja.
Ada juga pemeringkatan keluarga untuk mengklasifikasi keadaan keluarga, ada keluarga pra sejahtera ada keluarga sejahtera. Atau yang lain keluarga rawan putus sekolah atau keluarga yang tidak rawan putus sekolah.
Kadang secara tidak kita sadari pun di dalam dunia kerja juga sering dilakukan pemeringkatan, satu contoh adalah dalam sebuah lembaga akan memberikan penugasan, pimpinan sebagai pengambil kebijakan pasti tanpa sadar akan membuat pemeringkatan mana-mana pegawai yang paling tepat, tepat, dan tidak tepat saat akan diberikan penugasan baru.
Dan satu lagi ya, bukankah kita dalam mencari pasangan hidup juga memperingkat, mana yang terbaik dibandingkan yang lain, dari kesetiaannya ataupun dari pengertianya. Jadi masih akan menutup mata kah dari adanya strata hasil pemeringkatan, padahal dunia ini non sense tanpa pemeringkatan.Â
Dengan pemeringkatan pun dulu kami baik-baik saja kok, tidak ada yang insecure sampai mengalami gangguan mental. Jadi kenapa harus dihilangkan?
Wasana Kata
Justru penulis pikir dengan peniadaan pemeringkatan akan menjadikan generasi-generasi saat ini rawan mengalami gangguan mental, tidak siap menerima kegagalan, sebab nyatanya dalam hidup ini penuh berbagai pemeringkatan. Jangan menyalahartikan pemeringkatan sebagai bentuk diskriminasi ya, pemeringkatan adalah sebuah hal yang tidak mungkin dihindari.
Mohon maaf dari contoh di atas pun secara gamblang penulis nyatakan, mengulang lagi contohnya; akan ada paslon dengan suara terbanyak saat pemilu nanti, bukan berarti kita mendiskriminasi paslon lain dan menyatakan mereka bukanlah paslon yang terbaik ya. Begitu juga dalam lingkup kesejahteraan sosial, ada rumah tangga sejahtera dan pra sejahtera, juga bukan berarti kita mendiskriminasi keluarga keluarga tersebut bukan.
Kembali dengan contoh yang pertama kali penulis sebut, pada SNBP, menggunakan pemeringkatan 40 persen terbaik, bukan berarti bahwa ini juga mendiskriminasi 60 persen yang lain. Saya hanya memberikan gambaran bahwa pemeringkatan itu pasti tetap akan selalu ada dan ini adalah bagian dari hidup.
Jangan menutup mata seolah-olah pemeringkatan adalah sebuah hal yang "haram" dan jelek di dunia pendidikan. Justru dengan adanya pemeringkatan di kelas maka siswa akan lebih mudah untuk merefleksikan diri sehingga mampu memperbaiki apa-apa yang kurang di dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas.
Dengan adanya pemeringkatan siswa juga akan jauh lebih siap untuk menghadapi sebuah kegagalan, sebab siswa akan terbiasa untuk melihat dirinya berada pada posisi puncak ataupun dibawah puncak, mereka akan terlatih secara psikologis. Selain itu, dengan adanya pemeringkatan juga membuat orangtua akan lebih paham dengan perkembangan anaknya di sekolah, sehingga orangtua dapat memberikan evaluasi dan saran.
Bagi para guru, pemeringkatan di kelas juga penting untuk mengetahui sejauh mana pembelajaran yang dilakukan terserap oleh anak-anak. Tidak ada tendensi apapun pada opini yang saya tulis ini kecuali untuk mengajak kita bersama-sama mereview kembali tentang peniadaan peringkat kelas sebagai evaluasi sekaligus gambaran bagi pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk meninjau ulang kembali tentang kebijakan ini.
Berharap opini ini didengar oleh pemerintah, sebab pendidikan adalah aspek terpenting setelah kedaulatan negara yang akan membentuk peradaban. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H