Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menimbang Tanggung Jawab Besar Konten Kreator dalam Membentuk Peradaban

19 November 2023   01:33 Diperbarui: 22 November 2023   08:52 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yuk bikin adek, mandi subuh bersama," serentak saya beradu pandang dengan istri ketika putri kecil kami terlihat bersenandung dengan bait dewasa tersebut.

Sesaat setelah itu, saya segera bertanya kepada putri kecil kami, "Adek dapat ide itu dari mana?" Dia menjawab bahwa dia melihatnya di salah satu platform video publik yang pernah dia tonton. 

Tentu saja, ini membuat kami terkejut karena bait-bait tersebut menyiratkan makna tindakan yang seharusnya hanya dilakukan oleh orang dewasa. Meskipun kami yakin putri kecil kami mungkin tidak memahami makna dari bait tersebut, sebagai orang dewasa, kami paham akan maknanya.

Sebelum kejadian tersebut, beredar banyak konten di media platform hiburan berbasis video mengenai parodi salah satu adegan FTV pada televisi swasta nasional tentang penjualan berbagai jasa dengan keliling. Parodi tersebut berhasil menghantarkan banyak video yang dibuat oleh konten kreator menjadi salah satu yang populer (FYP)/direkomendasikan oleh platform tersebut. 

Namun, yang membuat miris adalah ketika berbagai konten tersebut ternyata mengandung pesan dewasa, pesan nakal, seperti "jasa bikin anak keliling". 

Bagi orang dewasa, kita dapat membayangkan bahwa pesan ini mengandung unsur seksual yang tidak pantas bagi anak-anak yang secara kebetulan melihatnya di depan gawai. Ini hanya satu contoh dan masih banyak konten lain yang menurut pandangan saya, tidak pantas ditonton oleh anak-anak maupun orang dewasa.

Pada hari kemarin, headline KOMPAS juga menayangkan artikel tentang game berbau konten dewasa yang muncul di platform hiburan berbasis video pada platform yang sama. Artinya, ini darurat bagi bangsa ini bahwa penetrasi konten dewasa ternyata menyebar ke mana-mana. 

Tidak hanya terbatas pada video buatan konten kreator, tapi konten dewasa ini juga muncul dalam game-game yang dapat dimainkan oleh siapa pun. Tidak hanya berbau konten dewasa, banyak tontonan lain yang bernada sarkasme, kata-kata kotor, dan berbagai kata-kata keji lainnya yang tidak pantas diperdengarkan.

Terus terang, saya merasa miris, baik sebagai orang tua maupun sebagai warga negara, karena saya khawatir akan adanya pengaruh negatif dari berbagai tontonan yang ditayangkan tersebut. Maka melalui tulisan ini, sebagai orang tua, sebagai pendidik, sebagai warga negara, penulis mencoba menggugat dan mempertanyakan tanggung jawab konten kreator dalam pembuatan karyanya. 

Penulis khawatir dengan dampak buruk yang mungkin timbul dari berbagai konten yang dibuat. Maka setidaknya, ada beberapa poin yang penulis ajukan kepada para konten kreator tanah air sebagai pertimbangan dalam pembuatan karya yang akan bagikan pada platform media sosial atau media hiburan di tanah air kita, di antaranya adalah sebagai berikut:

Sebanyak 78,19% Penduduk Indonesia Merupakan Pengguna Internet 

Sebanyak 78,19% penduduk Indonesia, atau sekitar 215,63 juta orang pada periode 2022-2023, merupakan pengguna internet, berdasarkan data dari Indonesiabaik.id. 

Angka ini mencerminkan bahwa penggunaan internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, seiring dengan meningkatnya ketersediaan perangkat mobile/gadget untuk mengakses informasi melalui internet, seperti yang dilaporkan oleh kominfo.go.id.

Internet, yang dahulu sulit diakses pada awal 2000-an, kini dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia. Bahkan, ada pernyataan bahwa orang mungkin lebih memilih ketinggalan dompet dibandingkan dengan ketinggalan gawai. Realitas ini menjadi dasar bagi para konten kreator dalam menciptakan karya yang akan ditonton oleh publik.

Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, serta lonjakan jumlah pengguna internet di Indonesia, setiap informasi dapat tersebar dengan cepat di seluruh negeri. Konten yang ditayangkan oleh kreator memiliki potensi besar untuk memengaruhi masyarakat dalam hal-hal positif maupun negatif.

Penting bagi konten kreator untuk menyadari dampak besar yang dimilikinya, mengingat setiap informasi bisa menjadi viral dalam hitungan menit atau detik. 

Sebagai contoh, fenomena "Bima Effect" menunjukkan bagaimana kondisi jalan dan infrastruktur daerah dapat dengan cepat menjadi topik viral yang menggerakkan berbagai daerah di tanah air.

Dengan 215,63 juta penduduk Indonesia sebagai audiens potensial, konten kreator harus bertanggung jawab atas isi karyanya. Mereka harus mampu menyaring konten agar sesuai dengan berbagai pola pikir, tingkah laku, dan pandangan yang beragam di masyarakat.

Peran konten kreator bukan hanya sebagai pembuat konten hiburan semata, tetapi juga sebagai pemimpin peradaban, panutan, dan contoh bagi pemirsa. Konten kreator memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi masyarakat terhadap isu-isu tertentu, bahkan hingga mengubah sejarah dan budaya.

Contoh nyata adalah peran keempat pemuda dalam Pandawara Grup yang berhasil menginspirasi kepedulian lingkungan. Melalui kontennya, mereka mampu menggerakkan berbagai elemen masyarakat, institusi pendidikan, TNI, POLRI, pemerintah daerah, dan pemerintah kota untuk bersatu dalam upaya kepedulian lingkungan.

Konten kreator perlu menyadari bahwa setiap karya yang mereka hasilkan memiliki potensi besar untuk menciptakan fenomena baru di masyarakat. Dengan intensitas pembuatan konten, mereka bahkan dapat merubah pola adat budaya di suatu tempat. Oleh karena itu, hati-hati dan tanggung jawab besar dibutuhkan dalam setiap produksi dan tayangan konten.

Efek Ilusi Kebenaran 

Mengutip dari dialeksis.com, efek ini dikenal sebagai efek keabsahan, pengaruh kebenaran, atau efek pengulangan. Efek ini merujuk pada kecenderungan untuk mempercayai informasi yang salah sebagai kebenaran setelah mengalami proses repetisi atau pengulangan. 

Salah satu contoh praktik efek ilusi kebenaran ini dapat ditemukan pada Goebbels, seorang propagandis sukses di Jerman sebelum tahun 1945, yang menggunakan teknik "Argentum ad nausem" atau kebohongan besar. Prinsipnya adalah menyebarkan berita bohong sebanyak mungkin dan sesering mungkin, hingga berita tersebut diyakini sebagai kebenaran oleh khalayak.

Teori psikologi menyebutnya sebagai efek ilusi kebenaran, di mana informasi yang diulang-ulang memiliki potensi mengubah persepsi masyarakat terhadap suatu hal. Goebbels berhasil menerapkan teori ini dengan sukses, sehingga menimbulkan kengerian penulis terhadap potensi pergeseran norma yang bisa dipicu oleh para konten kreator tanah air.

Penulis menggambarkan fenomena ini melalui berita tentang Marshanda pada tahun 2011, di mana kontroversi terjadi terkait video bernyanyi dan berjoget di depan kamera. Meskipun awalnya dianggap tidak etis, aktivitas serupa kini menjadi tren dan dianggap sebagai bagian dari budaya konten kreator. Penulis khawatir bahwa banyaknya konten yang tidak mempertimbangkan etika dapat mengubah norma-norma masyarakat.

Penulis menyoroti bahwa aktivitas tertentu, yang sebelumnya dianggap kurang pantas, kini menjadi biasa karena sering diulang dalam konten media hiburan. Peniruan dan repetisi aktivitas berbau dewasa, kekerasan, dan diskriminasi menjadi ancaman terhadap pergeseran norma. 

Dengan semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia, penulis menyadari bahwa konten kreator memiliki peran besar dalam membentuk norma dan tingkah laku. 

Penulis mengingatkan konten kreator untuk tidak asal membuat konten, karena kontennya memiliki potensi mengubah norma masyarakat. Kesadaran ini penting untuk menjaga konten agar tidak merubah norma-norma baik menjadi bias atau merugikan.

Normalisasi Perilaku

Normalisasi sosial penyimpangan, seperti yang diungkapkan oleh Diane Vaughan (1996) melalui muhyidin.id, merujuk pada kondisi di mana orang-orang dalam suatu organisasi menjadi sangat terbiasa dengan penyimpangan, sehingga mereka menganggapnya tidak menyimpang, meskipun fakta menunjukkan bahwa mereka melanggar aturan keselamatan dasar mereka sendiri.

Sebagai contoh, kita dapat mengingat perdebatan seputar kata "anjay" dan "anjir" pada tahun 2020 yang melibatkan salah satu YouTuber tanah air. Persoalan ini mencuat karena ketidaksepakatan di antara para YouTuber yang mempermasalahkan kata-kata tersebut. 

Meskipun ada yang menilai itu sebagai perilaku sok sok an dan sejenisnya, tidak banyak yang mendukung pandangan YouTuber tersebut. Penulis sejalan dengan pola pikir yang diusung oleh YouTuber tersebut, menganggap bahwa kata "anjay" dan "anjir," jika benar merupakan kata umpatan dari nama binatang yang diplesetkan, seharusnya dianggap tidak etis dalam pergaulan. 

Namun, ironisnya, kedua kata tersebut malah semakin tergolong dalam bahasa sehari-hari dan digunakan sebagai ekspresi kekaguman atau penyesalan.

Pada media sosial, banyak konten kreator yang sering menggunakan kedua kata tersebut. Awalnya, mungkin dianggap sebagai pelanggaran etika, namun seiring berjalannya waktu, kata-kata ini semakin meluas dan banyak digunakan, terutama oleh para konten kreator. 

Fenomena ini bahkan tidak terbatas pada media sosial, melainkan juga merambah ke kehidupan sehari-hari. Para remaja, yang mungkin banyak terpapar oleh berbagai tontonan di media sosial, seringkali menjadi pihak yang paling aktif mengungkapkan kedua kata tersebut. Dengan demikian, terjadi pergeseran pola perilaku dalam menyerap kata-kata ini sebagai kebiasaan di masyarakat.

Contoh ini mencerminkan normalisasi sosial penyimpangan terhadap kata-kata yang awalnya dianggap tidak etis. Seiring berjalannya waktu dan repetisi penggunaan kata-kata tersebut, masyarakat mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang umum dan tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan. 

Penulis menggarisbawahi bahwa fenomena serupa dapat ditemui dalam berbagai perilaku lain yang sering ditonton oleh para remaja. Perilaku tersebut dapat mengubah persepsi masyarakat tentang benar dan salah, menormalisasi penyimpangan hingga pada akhirnya dianggap sesuatu yang benar dan legal untuk dilakukan.

Konten kreator perlu menyadari bahwa setiap karya yang mereka hasilkan memiliki potensi besar untuk menormalisasi penyimpangan norma di masyarakat. Oleh karena itu, hati-hati dan tanggung jawab besar dibutuhkan dalam setiap produksi dan tayangan konten.

Wasana Kata

KOMPAS/RADITYA HELABUMI 
KOMPAS/RADITYA HELABUMI 

Internet dan media sosial dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua, mampu memberikan dampak positif namun juga berpotensi menimbulkan dampak negatif. 

Melihat jumlah pengguna internet yang besar di Indonesia, potensi untuk meningkatkan peradaban Indonesia menjadi lebih baik juga sangat besar. 

Namun, sebaliknya, potensi kerusakan peradaban juga menjadi sebuah ancaman nyata. Dari berbagai contoh dan fenomena di atas, penulis ingin mengingatkan para konten kreator di Indonesia akan tanggung jawab besar yang dimiliki terhadap setiap konten yang mereka tayangkan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konten-konten yang diproduksi memiliki daya pengaruh yang signifikan terutama terhadap generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, para konten kreator perlu memahami bahwa konten yang mereka hasilkan dapat membawa dampak positif atau negatif. 

Penulis mengajak para konten kreator untuk mengedepankan substansi dan nilai edukatif dalam konten mereka, daripada hanya mengandalkan gimmick judul atau adegan yang dapat menarik perhatian.

Berbagai konten yang sering tayang memiliki potensi untuk menjadi penggeser norma dan memberikan pembenaran terhadap berbagai penyimpangan, terutama akibat repetisi yang sering terjadi. Oleh karena itu, penulis mengajak seluruh pengguna media sosial di Indonesia, terutama konten kreator yang memiliki banyak pengikut, untuk memproduksi konten yang memberikan makna edukasi khususnya bagi anak-anak. 

Sebagai respons terhadap kemungkinan protes terkait kebebasan menonton, penulis menyampaikan pesan bahwa keberadaan ruang yang baik, terhindar dari kata-kata sarkas dan sensual, merupakan hak untuk tumbuh kembang dengan baik yang juga perlu dijaga bersama.

Dalam era di mana siapa pun dapat menjadi konten kreator dan dengan mudah memposting kontennya, penulis juga mengajak seluruh pengguna internet di seluruh negeri untuk tetap memposting konten yang memperkuat norma-norma agama, hukum, dan masyarakat. Melalui tindakan ini, diharapkan bahwa peradaban bangsa ini dapat terus terjaga dengan baik. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun