Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

UU ASN Terbaru: Tiga Saran Kunci bagi Pemerintah Pasca Pelarangan Rekrutmen Honorer

10 November 2023   23:07 Diperbarui: 11 November 2023   02:37 1524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis memberikan beberapa saran kepada pemerintah dengan didasarkan pada fakta di lapangan dan diharapkan dapat membantu pemerintah mengatasi dan mencegah permasalahan membludaknya tenaga honorer di masa yang akan datang.

Jika memang benar-benar nanti UU ASN diterapkan, dan instansi, dalam hal ini terkhusus sekolah, tidak diperbolehkan merekrut tenaga honorer, maka pemerintah perlu melakukan studi lebih lanjut apakah UU ini akan benar-benar diterapkan dan diharapkan sebagai langkah pencegah membludaknya masalah tenaga honorer di masa yang akan datang.

Pemerintah harus turun langsung ke lapangan untuk melihat realitas di sekolah. Pengangkatan tenaga honorer oleh sekolah bukanlah persoalan yang ringan. 

Berdasarkan pengalaman penulis di sekolah, proses pengangkatan tenaga honorer melibatkan pembahasan di tingkat manajemen, yaitu Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kepala Tenaga Administrasi Sekolah, dan Bendahara Sekolah.

Mengapa proses ini serumit ini? Karena pengangkatan tenaga honorer memiliki konsekuensi berupa penambahan beban anggaran rutin untuk belanja pegawai setiap bulannya. Sekolah tidak sembarangan mengangkat tenaga honorer, melainkan melalui tahapan panjang dan matang dalam mengeluarkan SK sebagai dasar pengangkatan mereka.

Pertimbangan utama sekolah untuk mengangkat tenaga honorer adalah "kebutuhan," baik itu kebutuhan guru mata pelajaran maupun kebutuhan tenaga administrasi sekolah. Kebutuhan ini seringkali muncul karena sekolah tidak mendapatkan alokasi pegawai sesuai dengan kebutuhan mereka.

Namun, dengan adanya UU ASN yang baru, berbagai instansi, termasuk sekolah, dilarang untuk mengangkat tenaga honorer. Pemerintah sebelumnya sudah melakukan upaya pencegahan pada tahun 2009 dan 2014, dengan membatasi pengakuan tenaga honorer yang masuk sebelum tahun 2005 dan menetapkan batasan tahun tertentu untuk pendataan.

Meskipun demikian, masalah tenaga honorer masih belum teratasi sepenuhnya. Bahkan, batas waktu untuk pendataan tahun ini harus dimundurkan karena masih ada ketidakpastian mengenai jumlah tenaga honorer yang sebenarnya.

Dengan harapan mundurnya batas waktu ini memberikan kesempatan bagi sekolah dan pemerintah untuk menata diri menghadapi rencana pemutusan hubungan kerja tenaga honorer pada 2024 nanti. Jika instansi, termasuk sekolah, diminta untuk tidak mengangkat tenaga honorer, pemerintah juga harus bersiap menghadapi berbagai faktor yang menjadi motivasi sekolah untuk tetap melibatkan tenaga honorer.

Agar masalah ini tidak terulang setiap tahun, penulis memberikan beberapa saran kepada pemerintah. Saran-saran ini didasarkan pada fakta di lapangan dan diharapkan dapat membantu pemerintah mengatasi dan mencegah permasalahan membludaknya tenaga honorer di masa yang akan datang.

Pemerintah Harus Akurat dalam Mengidentifikasi Ketersediaan Posisi di Sekolah

Penting bagi pemerintah untuk secara akurat mengetahui posisi-posisi yang kosong di sekolah. Keterlambatan dalam pengidentifikasian posisi yang kosong dapat membuka potensi pengangkatan tenaga honorer oleh sekolah. 

Posisi yang biasanya kosong melibatkan formasi tenaga administrasi sekolah, termasuk tenaga kebersihan, tenaga pengamanan, supir, staf administrasi, staf perpustakaan, dan formasi guru mata pelajaran yang ditinggalkan akibat pensiun, mutasi, atau meninggal.

Sebenarnya, sekolah tidak akan sembarangan mengangkat tenaga honorer tanpa alasan yang jelas. Oleh karena itu, fokus perbaikan bukan hanya pada instansi atau sekolah yang melakukan pengangkatan, tetapi pada regulasi yang mengatur bagaimana pemerintah pusat dapat mengetahui berbagai kebutuhan formasi di sekolah.

Ketika UU ASN benar-benar tegas diterapkan, dan instansi atau sekolah tidak diizinkan untuk mengangkat tenaga honorer lagi, pemerintah perlu segera mengetahui dan mendata kekosongan formasi yang dilaporkan oleh sekolah. Hal ini diperlukan agar tindakan yang tepat dan cepat dapat diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Dalam pengalaman penulis di sekolah, setiap tahun pelajaran, sekolah sudah melaporkan keadaan pegawai yang ada. Namun, mungkin karena berbagai regulasi yang tidak dapat langsung dieksekusi oleh pemerintah provinsi, sekolah akhirnya pasrah untuk menunggu alokasi pegawai sesuai dengan formasi yang kosong. Namun, pada kenyataannya, pengalokasian pegawai pada formasi yang kosong belum sepenuhnya sesuai dengan analisis kebutuhan pegawai. Akibatnya, sekolah terpaksa mengangkat tenaga honorer.

Penting bagi pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan responsivitas dalam memenuhi kebutuhan formasi di sekolah, sehingga sekolah tidak lagi terpaksa mengambil langkah ekstra dengan merekrut tenaga honorer. Dengan demikian, pemerintah dapat mengurangi potensi pelanggaran regulasi yang terjadi di lapangan.

Pemerintah Harus Responsif Mengatasi Kekosongan Formasi di Sekolah 

Penting bagi pemerintah untuk bersikap cepat tanggap terhadap dinamika jumlah pegawai di sekolah. Kadang, formasi tertentu kosong karena berbagai alasan, seperti pensiun, mutasi, atau naik jabatan. Jika kekosongan terjadi pada tenaga administrasi sekolah, dampaknya mungkin tidak langsung terasa pada kegiatan belajar mengajar di kelas. Namun, jika formasi yang ditinggalkan adalah guru mata pelajaran, ini dapat menjadi akar dari pengangkatan guru honorer di sekolah.

Sekolah terkadang terpaksa mengangkat guru honorer untuk menjaga kelancaran kegiatan belajar mengajar. Meskipun pertanyaan muncul mengapa tidak memberikan tugas tersebut kepada guru mata pelajaran yang sama, jawabannya adalah karena hal ini dapat menghambat efektivitas kegiatan belajar mengajar. 

Sebagai guru, kami dituntut untuk memiliki banyak keterampilan, termasuk mempersiapkan administrasi pembelajaran sebelum kegiatan belajar mengajar di kelas, memfasilitasi siswa untuk belajar, dan memahami keadaan psikologis siswa dalam proses KBM.

Aktivitas ini tentu saja membutuhkan banyak energi, terlebih lagi dengan jam mengajar minimal yang harus dipenuhi oleh guru. Jika guru mata pelajaran yang sama dipaksa untuk menggantikan mata pelajaran tertentu yang kosong, ini dapat mengakibatkan akumulasi jam mengajar yang berlebihan, yang pada akhirnya tidak efektif.

Pemerintah perlu merespons kekosongan guru mata pelajaran dengan cepat dan tanggap. Kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat terhenti ketika tidak ada guru sebagai fasilitator pembelajaran di kelas. 

Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengisi kekosongan guru mata pelajaran agar sekolah tidak terpaksa mengangkat guru honorer secara mendesak.

Pemerintah Perlu Membuka Formasi Baru Sesuai dengan Spesialisasi Kebutuhan   

Sampai dengan artikel ini ditayangkan, berdasarkan pengalaman penulis yang terjun ke sekolah sejak tahun 2009, belum pernah ada formasi penerimaan ASN untuk tenaga administrasi sekolah. 

Bahkan, harapan untuk memiliki spesialisasi khusus dalam bidang administrasi tertentu juga terasa sulit, mengingat tidak adanya formasinya. 

Melalui tulisan ini, saya mendorong pemerintah untuk membuka formasi khusus tenaga administrasi sekolah dengan spesialisasi bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan pekerjaan di sekolah.

Pandangan bahwa kegiatan di sekolah hanya sebatas belajar mengajar adalah keliru. Sekolah saat ini bukan hanya tempat kegiatan belajar mengajar, tetapi juga melibatkan banyak kegiatan administrasi dan non-administrasi sebagai pendukung kegiatan belajar mengajar. Misalnya, pembuatan surat menyurat, menjaga keamanan, pembayaran sumbangan partisipasi orang tua, penyajian makanan dan minuman harian kantor, perencanaan anggaran sekolah, perencanaan pemeliharaan sarana prasarana sekolah, tukang kebun, supir, hingga penjaga taman.

Posisi-posisi tersebut sebenarnya memiliki peran vital di sekolah, namun heranlah kenapa belum pernah dibuka formasi untuk beberapa kebutuhan kegiatan di atas. Akibatnya, sekolah terpaksa mengangkat tenaga administrasi honorer. 

Tidak realistis jika para guru harus secara langsung terlibat dalam kegiatan seperti membersihkan halaman sekolah, menjadi supir saat sekolah mengikuti kegiatan di luar sekolah, atau mengurusi surat menyurat dan buku induk bersama dengan tupoksinya.

Mungkin secara teknis bisa dilakukan, tetapi yakinlah bahwa kegiatan belajar mengajar tidak akan berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, pada akhirnya sekolah terpaksa harus mengangkat tenaga administrasi honorer sebagai solusi atas kebutuhan akan tenaga administrasi yang sesungguhnya perlu ada di sekolah. 

Dengan membuka formasi khusus, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tenaga administrasi sekolah sesuai dengan spesifikasi tugas yang ada di sekolah sehingga sekolah tidak perlu lagi mengangkat honorer.

Wasana kata

Tiga hal di atas merupakan sejumlah saran yang penulis sampaikan berdasarkan pengalaman di lapangan. Semoga dengan berbagai saran ini, pemerintah dapat menjadikannya sebagai sarana untuk mengurai permasalahan tenaga honorer yang selalu terakumulasi setiap tahunnya. 

Selain hal-hal tersebut, masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Jumlah tenaga honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun di sekolah, terutama setelah UU ASN disahkan, menjadi perhatian bersama. Membiarkan mereka terkatung-katung dalam harapan untuk diangkat sebagai ASN tidaklah bijak.

Fakta ini harus menjadi perhatian bersama, dan solusi perlu dicari untuk mengatasi kondisi ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan dalam membuka pintu solusi terhadap masalah yang senantiasa hadir dalam dunia pendidikan. 

Pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian serius terhadap nasib tenaga honorer yang telah setia mengabdi di bidang pendidikan. Dengan demikian, sekolah sebagai garda depan dalam mencetak generasi penerus bangsa dapat menjalankan amanahnya sesuai dengan tujuan nasional pendidikan. 

Terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun