Meskipun kami tinggal di tengah kota, lingkungan kami memiliki nuansa pedesaan yang kental. Dengan jarak yang cukup luas antara rumah-rumah tetangga, kami memiliki kesempatan untuk menampung limbah air mandi dan cucian ke dalam tanah.
Praktik ini adalah salah satu yang diikuti hampir semua rumah tangga di sekitar kami. Bahkan ada yang lebih kreatif: mereka menggunakan area penampungan ini untuk budidaya ikan lele, sementara yang lain menanam pohon katu dan tanaman berguna lainnya di sekitar kubangan air. Inilah langkah pertama menuju kedaulatan air dan pangan.Â
Air yang kami gunakan untuk minum, mandi, dan mencuci kembali mengalir ke dalam tanah, diserap oleh tanah dan menjadi cadangan air berharga ketika musim kemarau tiba.Sedangkan lele dan daun katu bisa dipanen kapanpun sesuai dengan kebutuhan masing-masing rumah tangga.Â
Tentu saja, pesan bapak terus membimbing kami. Dan kami juga telah mewariskan pesan ini kepada kedua anak kami. Kami tidak hanya berhemat air, tetapi juga memastikan bahwa setiap tetesan air yang kami gunakan untuk kebutuhan sehari-hari kembali ke dalam tanah. Hasilnya? Terbukti efektif ketika musim kemarau datang. Meskipun debit air menurun secara signifikan, di dalam sumur kami, masih tersedia cukup air untuk kebutuhan harian.
Namun kami menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah genangan air yang sering menjadi sarang berkembang biak nyamuk. Untuk mengatasinya, kami menambahkan ikan lele ke dalam tempat penyimpanan limbah air rumah tangga ini.Â
Dan untuk mengurangi bau yang tak sedap, kami rutin "menguras" lubang penampungan limbah air ini dengan cangkul. Ini adalah tindakan yang kami lakukan sesuai kebutuhan, biasanya seminggu sekali, yang ternyata cukup efektif untuk mengganggu perkembangan nyamuk dan mencegah bau yang tak sedap.
Mengalirkan air kembali ke tanah dan memelihara setiap tetesan air mandi dan cucian adalah cara sederhana yang kami pelajari dari bapak kami.Â
Dengan metode ini, kami tidak hanya menjaga air, tetapi juga merawat alam. Selain itu, kami merasakan keuntungan berlipat ketika musim kemarau tiba: air kami tetap mengalir, mengingatkan kami akan bijaksana dan berkelanjutan.
Mengalirkan Air Hujan ke Tanah
Prinsip kedua ini, yang seringkali kita dengar dengan istilah "tadah hujan," sejalan dengan pesan bapak yang pertama. Kami tidak membiarkan air hujan berlalu begitu saja di pekarangan rumah kami.Â
Untuk mencapai ini, kami melakukan beberapa langkah sederhana namun efektif. Kami membuat parit sebagai pengarah aliran air hujan. Dengan berbekal cangkul, kami menggali lubang-lubang berdiameter cukup, dengan kedalaman sekitar satu meter. Tujuannya? Agar air hujan yang turun dengan deras dapat diarahkan untuk meresap ke dalam tanah, dan bukan hanya mengalir begitu saja ke saluran selokan yang ujungnya mengarah ke sungai tanpa terserap terlebih dahulu di tanah pekarangan kami.Â
Ingatlah, di sinilah esensi "tadah hujan" sesungguhnya. Kami bukan hanya mengumpulkan air hujan untuk disimpan. Air hujan yang kami arahkan untuk meresap ke dalam tanah menjadi sumber cadangan yang sangat berharga, terutama ketika musim kemarau datang.Â
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya