Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menghindari Jerat Pinjaman Online: 4 Pertimbangan Kritis yang Harus Diketahui

12 Agustus 2023   20:29 Diperbarui: 12 Agustus 2023   22:02 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beragam layanan pinjaman online. (SHUTTERSTOCK/SMSHOOT) 

Perasaan ingin bunuh diri sempat tebersit dalam benak Dana. Sekali lagi, anak menjadi alasan utama ia memilih untuk bertahan. Ia juga tak mau seluruh keluarganya menanggung malu ketika ia memutuskan bunuh diri karena jerat pinjol, seperti dikutip dari kompas.com

Kisah di atas diterbitkan oleh kompas.com pada 11 Agustus 2023, atau satu hari sebelum artikel ini ditulis. Kisah pilu korban pinjol yang dimuat kompas.com di atas bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Hanya satu dari berbagai kisah yang ada di seantero negeri akibat pinjaman online.

Penulis juga menemukan berita yang dimuat kompas.com pada 18 Mei 2021, disebutkan S seorang guru TK mengalami psikologis yang terganggu sehingga sampai menyebabkan S berencana untuk bunuh diri. 

S menuturkan psikologisnya menjadi terganggu saat sejumlah debt collector dari pinjol yang dipinjami melakukan teror agar S segera membayarkan cicilannya.

Kisah serupa juga dialami oleh pegawai pemerintah kabupaten (pemkab) Boyolali, yang "kena mental" usai dikirimi pesan teror untuk dirinya dan debt collector juga mengirimkan pesan tersebut pada beberapa kontak yang ada di whatsapp pegawai pemkab Boyolali tersebut, sebagaimana dikutip dari kompas.com tanggal 17 Juni 2021. 

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO 
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO 

Gak perlu jauh-jauh, di lingkungan penulis pun marak terjadi demikian. Ada teman, tetangga, saudara yang kehidupannya berantakan akibat pinjol. 

Sebenarnya sudah banyak loh kisah-kisah menyedihkan akibat terlilit pinjol, tetapi masih saja banyak diantara kita yang terjerat. Memang permohonan pinjaman relatif lebih mudah dalam pengajuan persyaratan, maka tak heran pada akhirnya banyak diantara kita yang terjebak akibat pinjaman ini.

Penulis merasa miris akan hadirnya berbagai kisah menyedihkan akibat pinjaman ini, bahkan tetangga penulis menjadi salah satu korban. Kena mental, sakit dan akhirnya meninggal dalam perawatan akibat psikologisnya yang terganggu sebab teror yang dilakukan debt collector saat telat/ tidak bisa membayar cicilan. 

Ada 4 hal penting yang harus direnungkan oleh kita semua saat akan mengajukan permohonan pinjaman, 4 pertimbangan ini penulis simpulkan berdasarkan pengalaman penulis setelah penulis berbincang langsung dengan korban ataupun mendengarkan penuturan dari keluarga/ kerabat korban. 

Berikut adalah 4 pertimbangan kritis yang harus dipikirkan sebelum melakukan permohonan pinjaman sebagai wawasan dalam pengambilan keputusan agar tidak salah melangkah dan terjerat pinjaman.

1. Perhitungkan Berapa Yang Akan Kita Peroleh

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO 
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO 

Semisal, jika seseorang meminjam uang Rp 5.700.000, ia hanya menerima uang pinjaman sebesar Rp 5.130.000. Sebab, ada biaya layanan sebesar Rp 570.000 yang harus ditanggung debitur, ungkap Dana (nama samaran) seperti dikutip kompas.com 

Jelas-jelas gak impas, uang yang diterima tidak sesuai dengan jumlah pinjaman yang diajukan tapi masih saja banyak yang terjebak dalam pinjaman online. 

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dana di atas, dari pinjaman yang diajukan sebesar 5,7 juta yang cair hanya 5,13 juta saja, sisa dari nominal itu di klaim sebagai biaya layanan yang akan kembali pada kreditur. 

Berawal dari sini seharusnya para calon debitur mampu berpikir kritis melakukan analisa untung rugi ketika akan melakukan pinjaman. Celakanya dari contoh permisalan di atas, cicilan yang harus tetap ditanggung bukan nominal bersih setelah dipotong biaya layanan, tetapi tetap tanggungan yang harus dicicil oleh kreditur adalah nominal pinjaman yang diajukan.

Misal kita akan melakukan pinjaman untuk pembelian sebuah barang seharga 5,7 juta, maka kita tidak akan mungkin melakukan peminjaman dengan nominal yang sama persis dengan harga barang yang akan dibeli. 

Pasti nominal permohonan peminjaman lebih dari harga barang hal ini dikarenakan masih ada biaya tambahan lain yaitu biaya layanan yang harus ditanggung oleh debitur sehingga mengakibatkan nominal dana yang diterima berkurang tetapi nominal cicilan tetap mengikuti nominal peminjaman sebelum dipotong biaya layanan, fix kita rugi.

2. Perhitungkan Penurunan Harga Barang

www.kompas.id
www.kompas.id

Sudah rugi karena nominal pinjaman yang harus lebih besar dari harga barang berikutnya coba cek untung rugi dari penyusutan harga barang saat cicilan selesai. 

Misal ketika kita melakukan peminjaman dana untuk membeli sebuah sepeda motor dengan harga 15 juta. Yang pertama kita kaitkan pada poin yang telah ditulis oleh penulis di atas, peminjaman dana pasti akan melebihi nominal harga barang yang akan dibeli, misal menjadi 16 juta. 

Jadi yang nanti akan dibayarkan oleh debitur setiap bulan adalah jumlah pinjaman senilai 16 juta padahal harga barang yang dibeli hanya 15 juta saja. 

Berikutnya nilai jual barang yang dibeli dengan harus melakukan pinjaman sebesar 16 juta tersebut tidak sepadan dengan nilai jual saat peminjaman telah usai. Harga motor senilai 16 juta (berdasarkan nominal pinjaman) yang dicicil oleh debitur selama dua tahun, memiliki harga jual yang berbeda dengan harga saat awal pembelian. 

Misal toleransi penyusutan harga barangnya adalah 2 juta dari harga awal. Berarti motor saat setelah dua tahun berikutnya hanya memiliki harga 13 jutaan. 

Fix kita rugi, sudah rugi karena peminjaman yang melebihi harga barang berikutnya rugi karena saat cicilan selesai nilai jual tak lagi sama dengan harga awal, ruginya dua kali lipat. 

Apesnya apes, debitur sangat dirugikan andai motor yang dicicil selama dua tahun tersebut terpaksa harus dijual karena untuk memenuhi kebutuhan lain, harganya turun banyak. Seolah-olah debitur melakukan cicilan yang tanpa arti, tanpa manfaat, sebab ketika cicilan usai justru harga jual malah turun.

Sudah harus menaikkan pinjaman, eh pas lunas malah harga jual turun, masih bisa dikatakan untungkah?

3. Perhitungkan Kemampuan Dalam Membayar Cicilan

www.kompas.id
www.kompas.id

Jadi modal mereka hanyalah berani dan yakin, ditambah memang mental-mental yang hobi dengan cicilan, fix pinjam pinjol.

Kebanyakan dari mereka calon debitur sebenarnya sudah berhitung, tapi sayang hitungan mereka masih menggunakan pengandaian. 

Dari beberapa penuturan yang penulis dapatkan dari lingkungan sekitar penulis, para debitur pinjol ini dengan sangat berani membuat pengandaian keberuntungan bahwa mereka pasti mampu untuk membayar pinjaman tersebut.

Padahal hitungan yang mereka lakukan hanya hitungan semu yang dilakukan tanpa perhitungan realistis cash flow keadaan keuangan keluarga yang sebenarnya. 

Perhitungan yang mereka lakukan lebih tepatnya adalah mencari celah kemungkinan maksimal alias walau sisa pendapatan sudah mepet untuk kebutuhan sehari-hari tetap seolah-olah mereka mampu menyisihkan sisa pendapatan ini hanya untuk membayarkan cicilan andai jadi melakukan pinjaman.

Jadi wajar saat baru beberapa bulan pinjaman berjalan, maka cicilan sudah macet. Alhasil gali lubang tutup lubang, dengan kemudahan syarat dari berbagai pinjol maka bisa jadi yang awalnya hanya satu lubang yang harus ditutup berikutnya bisa puluhan lubang menganga akibat gali lubang tutup lubang agar cicilan tetap jalan, kalau sudah gini siapa yang repot dan tersiksa?

4. Perhitungkan Apakah Sepadan Antara Pengorbanan dengan Kepuasan

regional.kompas.com dari shutterstock 
regional.kompas.com dari shutterstock 

Rasanya gak worth it antara resiko dengan kepuasan ataupun kebahagiaan yang dirasakan. Justru banyaknya malah sengsara beribu luka karena harta benda lenyap dan kehidupan yang terombang ambing tidak tentu arah. 

Dan ini adalah yang terakhir, coba pikirkan sejenak dan renungkan, sudah banyak orang yang mengaku sebagai korban pinjol. Di berbagai media dan juga mungkin lingkungan sekitar terdekat kita pun marak dengan fenomena korban pinjol. 

Dengan berbagai kisah mereka apakah sepadan antara pinjaman yang mereka dapatkan dengan kepuasan kebahagiaan hidup yang diperoleh.

Penulis juga pernah melihat dengan mata kepala penulis sendiri, bagaimana tetangga penulis seolah-olah diintai, diburu bahkan dicegat di jalan layaknya buronan saat cicilan tak lagi lancar. 

Tidak hanya itu, penulis juga pernah mendapatkan pesan whatsapp dari nomor yang tidak dikenal yang mengirimkan poto teman penulis berikut keterangan bahwa teman tersebut belum membayarkan cicilan sesuai dengan kesepakatan peminjaman.

Ada bahkan di lingkungan penulis yang harus bercerai karena terlilit oleh pinjol. Bahkan ada saudara penulis sendiri yang harus rela rumah, tanah, sawah terjual hanya karena pinjol, dan pada akhirnya menjadi buron pinjol karena penjualan aset belum mampu menutupi pinjaman. 

Ketika ditanya pinjaman sebesar itu untuk apa, korban juga bingung. Sebab nominal yang ditanggung korban saat ini adalah akumulasi dari gali lubang tutup lubang agar cicilan tetap jalan. Awalnya mungkin hanya ratusan ribu, berikutnya karena terjerat berbagai pinjaman lain bisa sampai ratusan juta.

Sudahlah, jangan pernah menggadaikan kebahagiaan dengan cara yang demikian, karena resiko yang diambil jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya, kalau sudah gini siapa yang akan disalahkan?

Wasana Kata

Ilustrasi. (FOTO: MTVN/M. Rizal) pada www.medcom.id
Ilustrasi. (FOTO: MTVN/M. Rizal) pada www.medcom.id

Sabar menahan hasrat untuk memenuhi gaya hidup di era flexing yang merajalela memang berat, tapi yang lebih berat lagi adalah bagaimana harga diri, kehormatan keluarga, kenyamanan hidup harus lenyap hilang seketika saat cicilan pinjol tak mampu lagi terbayarkan.

Penulis menyaksikan bagaimana teman, tetangga, dan saudara yang harus kehilangan rumah tempat tinggal, tanah, sawah, tabungan dan tidak hanya itu, mereka layaknya buronan bagi para kreditur, di datangi rumahnya siang dan malam, dicegat di jalan, dimaki, disebarkan foto dirinya dengan backgorund gambar debitur pinjol dan perlakuan lainnya yang memaksa mereka agar segera membayarkan cicilan yang belum mereka bayarkan.

Tanpa menghakimi mereka sebagai debitur/ peminjam, penulis mengingatkan bahwa debitur bukan semata-mata korban, justru ketika dilihat dari segi untung rugi ketika cicilan macet pinjol juga korban. 

Pinjol telah mau meminjamkan dana kepada masyarakat perorang tanpa tahu dan mengerti siapa personal yang diberikan pinjaman, wajar ketika mereka harus menggunakan berbagai macam cara untuk "mengikat" kreditur agar bersedia bertanggung jawab atas dana yang telah dipinjamnya. 

Masyarakat harus mendudukkan debitur pada posisi yang benar, mereka adalah seorang yang telah mengajukan permohonan peminjaman, telah diberikan pinjamannya, dan harus melunasi pinjaman yang diajukan tersebut, jangan mendudukkan mereka seolah-olah sebagai korban yang terjerat pinjaman ataupun penipuan. 

Sepanjang penulis temui, teman, tetangga dan saudara penulis yang menjadi debitur pinjol, mereka melakukan permohonan peminjaman dengan secara sadar dan sukarela, tanpa paksaan ataupun jompa jampi dari pinjol. Artinya ini yang harus disadari, bahwa tidak ada paksaan bagi para debitur yang mengaku sebagai korban jeratan pinjol saat melakukan permohonan peminjaman. Maka wajar kan ketika pinjol harus menagih mereka?

Namun tak selamanya pinjol juga tepat, pemerintah dalam hal ini tetap haru melakukan pengawasan sekaligus evaluasi. Jangan sampai pinjol-pinjol legal ini akhirnya hanya sebagai modus resmi dalam merampas harta kekayaan masyarakat. Sebab saat cicilan tidak dibayarkan, nominal cicilan ini kadang dimasukkan kedalam modal yang dipinjam. 

Contoh, pinjaman 5 juta dengan cicilan 6 ratus ribu rupiah dalam 10 bulan. Misal saat bulan kedua debitur tidak mampu membayar cicilan, maka ada beberapa pinjol yang memasukkan 6 ratus ribu rupiah tersebut kedalam nominal pinjaman awal sebesar 5 juta. Praktis modal awal pinjaman menjadi bertambah menjadi 6,5 juta. Dan jumlah inilah yang harus dibayarkan kreditur kepada debitur, fix cicilan bulanan juga menjadi bertambah.

Semua tergantung pada anda, apakah sepadan menukar harga diri, kehormatan, kenyamanan dan harta hanya demi mengejar sebuah hasrat hidup yang justru bukan sebuah hal penting dan prioritas. Yuk jadikan 4 pertimbangan kritis ini sebagai penangkal dan kewaspadaan kita dari derita jeratan pinjol.

Untuk Indonesia, Semoga Bermanfaat

***Junjung Widagdo***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun