Apa yang kami lakukan?
Kami mencoba mengungkap apa yang sebenarnya terjadi melalui dialog antara saya dan ananda kami. Kami tanyakan kenapa kakak kok menggigit temannya. Jawabannya diluar dugaan, karena justru yang terjadi konflik pertama sebenarnya bukan terjadi antara anak kami dan korban yang digigit ananda kami. Tetapi ananda kami ini ternyata hanya membela teman yang lain, Â ikut kesal sebab teman yang ananda gigit ini telah memukul temannya.Â
Hehehe, semangat kepahlawanan tapi salah dalam mengungkapkan emosinya. Maka kami berikan pengertian kepada ananda kami bahwa hal yang dilakukannya adalah salah. Tidak seharusnya ananda kami melakukan hal tersebut hanya untuk meluapkan emosi ke pahlawanannya tersebut. Dan kami juga mendorong empati ananda kami terhadap temannya yang digigit, kira-kira kakak mau juga gak kalau digigit?, sekaligus membangkitkan kesadaran dalam hati ananda kami bahwa perbuatannya salah. Kami juga sampaikan tindakan kepahlawanan yang tepat dilakukan adalah dengan cara memberikan teguran, larangan kepada temannya tersebut.Â
Selanjutnya setelah itu kami pertemukan antara ananda kami dengan temannya tersebut bersama dengan orang tua teman yang telah ananda kami gigit. Kami mendorong agar ananda kami berdialog dengan temannya tersebut dan meminta maaf atas perbuatannya yang menyakitkan. Tak lupa kami juga memohon maaf kepada orang tua korban gigitan anak kami tersebut, dan alhamdulillah masalah pun selesai tanpa berkepanjangan.
Yuk latih anak mengungkapkan emosi, agar anak tidak main gigit aja tanpa kita tahu apa terjadi!
Ketiga; memberikan contoh dalam mengelola emosi yang baik
Perilaku anak memang sangat lekat dengan kebiasaan yang orang tua lakukan. Wajar kalau ada pepatah yang bilang bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Artinya orang tua lah yang membentuk emosi anak, maka perlu kesadaran diri bagi orang tua untuk memberikan contoh bagaimana manajemen mengelola emosi dengan baik tanpa konflik.Â
Anak-anak yang mengungkapkan emosi dari konfliknya dengan kekerasan bisa jadi mereka adalah anak-anak yang tumbuh kembang pada keluarga ataupun orang tua yang memberikan contoh buruk pada pengelolaan emosi. Saya dan istri menjadi contoh awal bagi ananda kami dalam berinteraksi sosial sebelum mereka terjun pada interaksi sosial yang sebenarnya di luar lingkungan rumah.Â
Konflik yang terjadi antara kami dan istri pun menjadi tontonan ananda kami, Â dan kami berusaha menjadikan penyelesaian konflik sebagai pengelolaan emosi kami menjadi sebuah tuntunan bagi mereka dalam penyelesaian konflik yang sedang terjadi.Â
Sering kali saya berikan pelukan kepada istri saat kami berdua berada dalam konflik. Dan sering kali juga kami perlihatkan kepada mereka bagaimana kami saling berbicara, berdialog, mengungkapkan emosi atas ketidaknyaman kami sehingga sampai pada titik pemecahan masalah yang tepat.Â