Dalam kasus KDRT, rasanya kalau sudah "main tangan" berarti itu cerminan dari pelaku yang memang terbiasa untuk melakukan hal tersebut. Apakah pelaku bisa berubah?
Kemungkinan untuk berubah tetap ada, tetapi pada kenyataannya perceraian karena KDRT ini lebih dari 70% berdasarkan data dari Komnas Perempuan. Itu artinya ada perilaku berulang sehingga korban pada akhirnya memilih untuk bercerai. Tidak boleh berprasangka buruk terhadap Billar, tetapi apakah warganet juga yakin Billar tidak akan melakukan KDRT di kemudian hari?
Mengubah pola kebiasaan perilaku seseorang bukanlah semudah membalik telapak tangan. Karena kepribadian seseorang terbentuk dari proses perjalanan hidup yang panjang. Segala memori dan kebiasaan bertahun-tahun yang terekam akhirnya menjadi karakter diri. Apakah mungkin hasil dari tumbuh kembang selama bertahun-tahun ini akan berubah hanya dengan waktu yang sebentar, rasanya tidak mungkin.
Jadi bagi para korban KDRT, pikirkan secara matang jika ingin kembali kepelukan pasangan pelaku KDRT, kemungkinan berubah ada, tapi kapan bisa berubah, jangan mengorbankan kebahagiaan diri sendiri hanya untuk menunggu pelaku berubah menjadi baik!
2. Jangan takut untuk berpisah
Psikologis korban ini membuat korban tidak berdaya, membayangkan kehidupan yang akan datang seolah olah akan menjadi hampa setelah perpisahan yang terjadi.
Takut berpisah tentu saja terjadi, kadang tidak peduli terhadap diri yang menjadi korban, masih ada saja korban KDRT yang memilih bertahan bersama dengan pelaku karena takut berpisah. Wajar terjadi, karena cinta membutakan segalanya.Â
Kekesalan yang korban tunjukkan sampai melaporkan pelaku kepada pihak berwajib sebenarnya bukan karena cinta korban kepada pelaku yang sudah hilang, tapi tindakan ini merupakan tindakan protes terhadap pelaku yang dengan teganya menjadikan mereka sebagai korban KDRT.
Dari Lesti kita belajar, bahwa cinta tidak hilang setelah KDRT terjadi. Buktinya laporan terhadap Billar dicabut dan mereka berpelukan.Â
Ada kegamangan luar biasa yang terjadi pada para korban biasanya. Mereka takut berpisah dengan pelaku dan merasa tidak bisa hidup tanpa pelaku. Manipulasi rasa cinta ini membuat para korban tidak bisa berpikir jernih, sehingga mengorbankan diri untuk tetap bersama pelaku.Â
Korban merasa telah cinta mati dengan pelaku, sehingga seolah-olah korban merasa tidak akan bisa hidup tanpa pelaku. Hidupnya akan menjadi hampa dan pilu membayangkan ketika akan berpisah dengan pelaku.Â
Padahal dengan berpisah potensi kebahagiaan baru dari kehidupan yang baru juga akan muncul. Minimal dengan berpisah, korban tidak akan lagi mengalami KDRT seperti yang biasa pelaku lakukan. Â