Mohon tunggu...
Jun Joe Winanto
Jun Joe Winanto Mohon Tunggu... Koki - Chef

Menulis sebagai rangsangan untuk sel-sel otak agar terus berbiak. La Cheo Joe, banyak menulis buku, tetapi tidak untuk diterbitkan secara komersial. Buku-buku tersebut diperuntukkan untuk proyek Departemen Pendidikan Nasional dari beberapa penerbit. Lebih dari 100-an judul buku telah ditulisnya. Lahir pada 9 Juni di “Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Cita-citanya berbelok seratus delapan puluh derajat dari yang diidam-idamkan menjadi Dokter Kandungan. Kuliah pun sebenarnya tak diinginkan oleh kedua orang tuanya karena sesuatu dan lain hal. Cerita berkata lain, diam-diam Sang Guru Bimbingan Karier (BK) SMA-nya memberikan berkas lembaran sebagai Mahasiswa Undangan ke Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. La Cheo Joe sempat merenungi keputusan saat jari-jemarinya menjentikkan pulpen mengisi titik-titik bernama. Perjalanan kariernya di beberapa perusahaan, mengantarkannya untuk berkeliling daerah di Indonesia. Mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. La Cheo Joe sebagai penyuka olahraga selam, masak,icip-icip makanan, traveling, dan naik gunung ini, bercita-cita punya “tempat makan” sendiri dan ingin segera merampungkan salah satu bukunya yang sempat tertunda lama. Untuk mengenal lebih jauh dengannya, dapat dihubungi via email: junjoe.gen@gmail.com atau di nomor telepon 0857 1586 5945.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Literasi Mencerdaskan Budaya Bangsa

30 Agustus 2016   22:17 Diperbarui: 30 Agustus 2016   22:48 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Literasi-Membaca. Foto: Dok. Ilustrasi. (dakwatuna.com)

Ada banyak cerita menarik jika mengulas budaya literasi di negeri ini.  Betapa tidak, literasi seperti terabaikan untuk generasi muda sekarang. Hanya segelintir mereka yang memang suka dan tertarik untuk terus menekuninya.

Sejak manusia dikonsepsi hingga terbentuk janin dan ditiupkan ruh ke dalam raga, di situlah seorang ibu mulai mengajarkan calon bayinya berkata-kata. Mereka saling berinteraksi dengan beragam cara. Tetapi yang lebih banyak digunakan sang ibu adalah bertutur. Apabila kita melihat lebih jauh, ternyata budaya tutur ini sudah diajarkan oleh calon ibu atau bapak kepada calon anak sebelum lahir ke dunia.

Budaya tutur hingga saat ini  telah melekat kuat dalam tata kehidupan manusia Indonesia. Akan tetapi, jika hanya pandai bertutur tak dibarengi dengan budaya menulis, sama saja dengan nol. Sudah seharusnya, budaya tutur diubah menjadi budaya menulis. Memang, ini bukan urusan kecil. Ini merupakan urusan kita semua. Melihat rendahnya literasi masyarakat Indonesia, sungguh miris.

Bangsa ini seharusnya melahirkan generasi muda dan orang-orang yang pandai dalam menulis,  bukan pandai bicara. Bolehlah pandai bicara dan alangkah baiknya diikuti dengan pandai menulis. Menulis tidak perlu bicara ke sana ke mari, tetapi ditunjukkan dengan bukti terbitnya tulisan. Salah satu kemajuan satu bangsa dilihat dari berapa banyak jumlah terbitan ilmiah, baik jurnal maupun tulisan lainnya.

Menggairahkan budaya literasi tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Perlu kerja keras dan kerja cerdas semua lapisan masyarakat, dalam hal ini peran perpustakaan yang dapat berkolaborasi dengan Departemen Pendidikan Nasioanal. Lembaga lainnya pun dapat berkolaborasi. Literasi ini juga sebagai bentuk pertahanan dari pencurian, penjiplakan atau plagiarisme. Dengan kemampuan menulis, ilmu mereka pun dapat terus berkembang.

Tak terlepas dari itu, kemampuan bahasa sangat diperlukan. Sakingberkembangnya bahasa “gaul’ anak-anak muda sekarang, sedikit banyak berpengaruh terhadap cara-cara mereka berbahasa. Jika diamati, anak-anak muda (istilah sekarang =generasi milenial atau Gen Y) menggunakan kombinasi angka dan huruf dalam menulis. Hal itu justru memengaruhi cara-cara penulisan dan penyampaian yang mereka lakukan terhadap sebuah karya.

Sejatinya,bahasa itu merupakan jati diri pemakainya. Diri kita dinilai dari cara kita menggunakan bahasa. Oleh karena itu, sesiapa saja wajib berbahasa secara baik dan benar (menguasai bahasa dengan baik), apakah bahasa itu sebagai bahasa pertama (bahasa daerah) atau bahasa kedua (contoh bahasa Indonesia) maupun bahasa asing lainnya, seperti Jerman, Inggris, atau Perancis.

Seiring dengan hal itu, bahasa, baik yang digunakan masyarakat kita atau generasi muda sebagai satu perwakilan tingkat kemajuan peradaban masyarakat pengguna bahasa yang bersangkutan. Hubungan itu dapat berlaku secara mutualisme. Bahasa yang dipakai hendaknya mengikuti aturan atau kaidah yang berlaku dalam masing-masing keterampilan berbahasa yang umumnya berlaku universal, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

 Masyarakat kita (Indonesia) baik dari sisi membaca maupun menulis, masih jauh dari harapan. Indeks minat baca orang Indonesia berada pada peringkat  tiga terbawah di dunia; 0,01.Tertinggal  dari  negara maju seperti Eropa, AS, Jepang, dan lain-lain; 0,5. Dari 100 orang Indonesia, hanya satu yang suka membaca. Sementara itu, dari dua orang asing (negara maju) satu orang suka baca.

Membaca dan menulis seharusnya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk siapapun, kapanpun, dan di manapun, bahasa digunakan untuk mengungkapkan makna. Hal itu sejalan dengan pendapat Willkins (1975). Fungsi khusus bahasa yang paling sering digunakan adalah fungsi untuk menjelaskan atau memberitahukan informasi atau mengungkapkan perasaan (Bachman, 1990).

Ada tujuh macam fungsi bahasa menurut Michael A.K Haliday dalam “Exploration in the Function of Language”.

  • Instrumental
  • Regulatory
  • Representational
  • Interactional
  • Personal
  • Heuristic
  • Imaginative

Bahasa dan masyarakat benar-benar menjadi simbiosis mutualisme. Dengan bahan bacaan yang cukup tersedia untuk masyarakat, masyarakat termotivasi untuk terus membaca dan akhirnya akan tercerahkan. Jika  masyarakat tercerahkan, maka semakin terdoronglah masyarakat untuk produktif menulis dalam memperkaya khazanah literasi kreatif dan empiris, mulai karya sastra hingga karya akademis.

Nah, kapan lagi akan memulai berbahasa (menulis dan membaca) jika tidak dimulai dari sekarang dan dari diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun