Ada banyak cerita menarik jika mengulas budaya literasi di negeri ini. Betapa tidak, literasi seperti terabaikan untuk generasi muda sekarang. Hanya segelintir mereka yang memang suka dan tertarik untuk terus menekuninya.
Sejak manusia dikonsepsi hingga terbentuk janin dan ditiupkan ruh ke dalam raga, di situlah seorang ibu mulai mengajarkan calon bayinya berkata-kata. Mereka saling berinteraksi dengan beragam cara. Tetapi yang lebih banyak digunakan sang ibu adalah bertutur. Apabila kita melihat lebih jauh, ternyata budaya tutur ini sudah diajarkan oleh calon ibu atau bapak kepada calon anak sebelum lahir ke dunia.
Budaya tutur hingga saat ini telah melekat kuat dalam tata kehidupan manusia Indonesia. Akan tetapi, jika hanya pandai bertutur tak dibarengi dengan budaya menulis, sama saja dengan nol. Sudah seharusnya, budaya tutur diubah menjadi budaya menulis. Memang, ini bukan urusan kecil. Ini merupakan urusan kita semua. Melihat rendahnya literasi masyarakat Indonesia, sungguh miris.
Bangsa ini seharusnya melahirkan generasi muda dan orang-orang yang pandai dalam menulis, bukan pandai bicara. Bolehlah pandai bicara dan alangkah baiknya diikuti dengan pandai menulis. Menulis tidak perlu bicara ke sana ke mari, tetapi ditunjukkan dengan bukti terbitnya tulisan. Salah satu kemajuan satu bangsa dilihat dari berapa banyak jumlah terbitan ilmiah, baik jurnal maupun tulisan lainnya.
Menggairahkan budaya literasi tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Perlu kerja keras dan kerja cerdas semua lapisan masyarakat, dalam hal ini peran perpustakaan yang dapat berkolaborasi dengan Departemen Pendidikan Nasioanal. Lembaga lainnya pun dapat berkolaborasi. Literasi ini juga sebagai bentuk pertahanan dari pencurian, penjiplakan atau plagiarisme. Dengan kemampuan menulis, ilmu mereka pun dapat terus berkembang.
Tak terlepas dari itu, kemampuan bahasa sangat diperlukan. Sakingberkembangnya bahasa “gaul’ anak-anak muda sekarang, sedikit banyak berpengaruh terhadap cara-cara mereka berbahasa. Jika diamati, anak-anak muda (istilah sekarang =generasi milenial atau Gen Y) menggunakan kombinasi angka dan huruf dalam menulis. Hal itu justru memengaruhi cara-cara penulisan dan penyampaian yang mereka lakukan terhadap sebuah karya.
Sejatinya,bahasa itu merupakan jati diri pemakainya. Diri kita dinilai dari cara kita menggunakan bahasa. Oleh karena itu, sesiapa saja wajib berbahasa secara baik dan benar (menguasai bahasa dengan baik), apakah bahasa itu sebagai bahasa pertama (bahasa daerah) atau bahasa kedua (contoh bahasa Indonesia) maupun bahasa asing lainnya, seperti Jerman, Inggris, atau Perancis.
Seiring dengan hal itu, bahasa, baik yang digunakan masyarakat kita atau generasi muda sebagai satu perwakilan tingkat kemajuan peradaban masyarakat pengguna bahasa yang bersangkutan. Hubungan itu dapat berlaku secara mutualisme. Bahasa yang dipakai hendaknya mengikuti aturan atau kaidah yang berlaku dalam masing-masing keterampilan berbahasa yang umumnya berlaku universal, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Masyarakat kita (Indonesia) baik dari sisi membaca maupun menulis, masih jauh dari harapan. Indeks minat baca orang Indonesia berada pada peringkat tiga terbawah di dunia; 0,01.Tertinggal dari negara maju seperti Eropa, AS, Jepang, dan lain-lain; 0,5. Dari 100 orang Indonesia, hanya satu yang suka membaca. Sementara itu, dari dua orang asing (negara maju) satu orang suka baca.
Membaca dan menulis seharusnya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk siapapun, kapanpun, dan di manapun, bahasa digunakan untuk mengungkapkan makna. Hal itu sejalan dengan pendapat Willkins (1975). Fungsi khusus bahasa yang paling sering digunakan adalah fungsi untuk menjelaskan atau memberitahukan informasi atau mengungkapkan perasaan (Bachman, 1990).
Ada tujuh macam fungsi bahasa menurut Michael A.K Haliday dalam “Exploration in the Function of Language”.
- Instrumental
- Regulatory
- Representational
- Interactional
- Personal
- Heuristic
- Imaginative
Bahasa dan masyarakat benar-benar menjadi simbiosis mutualisme. Dengan bahan bacaan yang cukup tersedia untuk masyarakat, masyarakat termotivasi untuk terus membaca dan akhirnya akan tercerahkan. Jika masyarakat tercerahkan, maka semakin terdoronglah masyarakat untuk produktif menulis dalam memperkaya khazanah literasi kreatif dan empiris, mulai karya sastra hingga karya akademis.
Nah, kapan lagi akan memulai berbahasa (menulis dan membaca) jika tidak dimulai dari sekarang dan dari diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H