Jujur saja, jika saya berada di posisi yang menurut saya “tidak bersalah”, pastinya segala sesuatu akan saya tempuh demi mendapatkan kebenaran yang hakiki. Hal itu sebagai bentuk tindakan untuk mendapat keadilan yang seadil-adilnya. Meski negara ini adalah negara hukum, akan tetapi pola-pola penegakan hukum yang dibuat seakan dibuat main-main. Seseorang yang menjadi “pesakitan” akan ditambah-tambah agar tetap dalam keadaan sakit hingga akhirnya “Menyerah” dan tak mampu berbuat apa-apa.
Kasus yang menimpa Pak Jero Wacik dalam kaca mata saya, sangat memberikan pelajaran berharga dalam hidup saya. Hal itu terlihat terutama dalam penegakan hukum untuk dirinya. Semestinya, penegakan hukum harus dipisahkan dan terbebas dari beragam urusan maupun kepentingan politik. Menarik penegakan hukum ke dalam episentrum politik yang pada akhirnya akan memperlemah upaya pemberantasan korupsi atau justru mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa dan tidak melakukan korupsi menjadi terdakwa atau pelaku. Ini sungguh tidak adil jika tidak dicermati secara jeli, terutama oleh penegak hukum dalam hal ini, Jaksa dan hakim sebagai pemutus persidangan.
Penegakan hukum menjadi imparsial dan cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memegang kendali atau kekuatan politik tertentu. Pemerintah harus mengevaluasi kembali posisi atau jabatan strategis di bidang hukum agar terbebas dari kepentingan politik tertentu.
Pada kasus Jero Wacik ini, putusan pengadikan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 9 Pebruari 2016 yang dimintakan banding. Sebagaimana isi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 20 Juni 2016, Menerima permintaan banding yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK. Lantas, apakah cara mengadili sudah dijalankan sebagaimana mestinya, dan apakah pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, tipikor dalam hal ini apakah sudah sesuai dengan kewenangannya untuk koruptor? Terpenting lagi, apakah hakim sudah melakukan tindakannya dengan benar atau tidak? Apa ukuran yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan adil untuk Jero Wacik?
Proses pengadilan Jero Wacik dapat dilanjutkan ke tingkat Mahkamah Agung. Bukan Jero Wacik yang meminta untuk naik ke tingkat MA, akan tetapi ada rasa ketidakpuasan JPU KPK yan belum puas hati jika Jero Wacik belum mendapatkan hukuman seperti yang dituntut JPU. Menurut saya, ketidakpuasan JPU KPK ini seperti orang yang sedang “mencari-cari” salahnya orang yang tidak melakukan perbuatan kejahatan. Kasus yang disangkakan kepada dirinya untuk tindakan pemerasan di kementerian ESDM. Jero Wacik dijadikan tersangka pertama pada tanggal 3 September 2014 untuk tuduhan pasal 12E pemerasan dan memaksa anak buah mengumpulkan danafeedback.
Jero Wacik dituduh meminta uang kepada bawahannya di kementerian ESDM untuk keperluan pribadi hingga jumlahnya mencapai angka fantastis RP10,381 Miliar selama tahun 2011-2013. Sementara tuduhan yang dilontarkan KPK tidak benar.
Begini saja, berpikir sederhananya, kalau orang tidak melakukan perbuatan memeras, tetapi tetap dituduh memeras, pastinya orang yang disangkakan akan terus melawan dan menyatakan tidak melakukan dengan cara apapun. Ketika saksi-saksi dihadirkan untuk dimintai keterangan di hadapan para hakim, semua mengatakan TIDAK pernah memberikan uang untuk kepentingan pribadi kepada Jero Wacik. Ini harusnya menjadi penguat ketidakbenaran KPK dalam mengungkap kasus. Buper (bukti pertama) yang dicari-cari KPK saja sudah tidak benar.
Sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Prof. Romli, “Banyak penetapan tersangka ketika Abraham Samad menjadi Ketua KPK untuk bukti-bukti permulaan itu ngawur”. Dari lontaran kalimat Prof. Romli saya berpikir, KPK harus benar-benar jeli untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dengan bukti-bukti yang nyata dan saksi-saksi pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan.
Jika dari sini saja KPK sudah salah menetapkan orang sebagai tersangka, orang yang benar akan jadi salah dan sebaliknya. Hakim-hakim TIPIKOR tidak buta mata untuk langsung menerima tuntutan JPU dengan bukti-bukti permulaan yang lemah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk dikuatkan sebagai bukti.
Dari raut wajahnya ketika saya berkunjung ke Cipinang, terlihat menahan amarah atas tuduhan tersebut. Saksi-saksi yang dihadirkan seperti tak dianggap. Dalam hal ini termasuk kesaksian Wakil Presiden Jusuf Kalla. JPU tetap minta Jero Wacik dihukum 9 tahun dan tak rela jika Jero Wacik lepas begitu saja.
Dari bukti-bukti yang ada dan kesaksian para saksi di persidangan, sudah seharusnya Jero Wacik tidak dapat dijadikan sebagai tersangka. Dari penetapan tersangka untuk dirinya pun sudah salah. Seharusnya, 20 hari setelah dirinya dijadikan tersangka, mestinya sudah harus diadili. Lha, kenyataannya tidak. Sepertinya, KPK masih mencari-cari kesalahan lagi untuk dirinya agar dapat dijadikan bukti baru.
Alhasil, KPK mengeluarkan sprindik baru, cari-cari kesalahan lagi dirinya untuk dana DOM (Dana Operasional Menteri) di Budpar. Dia disangkakan oleh KPK yang mengacu pada pasal 2 dan 3. Jero Wacik dituduh memperkaya diri sendiri, menyalahgunakan wewenang. Laporan yang dibuat Badan Pemeriksa Keuangan pun juga salah. BPK menyalahkan dengan mengacu pada Permenkeu No.003/2006, sementara, permenkeu nomor 003 tersebut sudah dicabut dan diganti dengan Permenkeu 268/2014.
DOM menjadi kewenangan menteri di kementerian yang bersangkutan. Seperti yang pernah dikatakan Presiden Joko Widodo, bahwa deskresi tidak dapat dipidanakan. Nah, seharusnya para hakim, JPU mencermati perkataan ini untuk bahan pertimbangan dan pembelajaran hukum.
Nah, dari kasus ini mata Mahkamah Agung harus “dipaksa” melek, telinga dilebarkan, dan pikiran diluaskan. Jika hal-hal seperti ini tidak dilakukan dan dilontarkan ke MA, maka ketua MA tidak akan pernah tahu siapa-siapa mafia kasus di negeri ini yang seolah-olah bersih padahal sangat kotor dan menjijikan.
Tito Karnavian pun pernah bilang, “KPK menetapkan dan menyudutkan tersangka melalui media”. Menurut saya, Media dijadikan alat untuk menghakimi orang yang tidak bersalah menjadi salah. Media dapat dianggap sebagai palu gada yang begitu memukul langsung dapat menjatuhkan seseorang. Sementara, orang tersebut masih dalam proses penyelidikan pihak yang berkepentingan.
Akan tetapi, sejauh ini yang saya lihat dalam diri Jero Wacik dengan kasus-kasus yang menjeratnya, beliau tetap bersemangat dan penuh antusisme menjalani hari-harinya. Malah rintangan yang menghadang di depan mata, dia hadapi dengan antusiasme dan penuh rasa percaya diri. Hal-hal yang baik akan tetap terlihat baik di mata Tuhan. Semangat Pak Jero Wacik!
“Di mana kita berada, di mana kita sering menanam, kita akan menuai”—Jero Wacik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H