Politisasi Hukum Jero Wacik Tak Bertuan
Kasus yang menimpa Jero Wacik hingga saat ini sangat berdampak pada kehidupanya, baik pribadi, keluarga/orang-orang terdekat, juga sahabat beliau. Mereka tidak percaya hal ini terjadi. Negara, yang dibilang negara hukum tetapi penegakkan hukum masih belang di sana-sini. Bagaimana tidak, seakan semua sudah dipelintir jauh dari akar hukum sesungguhnya.
Jelas-jelas bukti-bukti yang diajukan oleh JPU tidak cukup bukti dan dibantah langsung oleh Jero Wacik. Semuanya tidak benar. Saksi-saksi dihadirkan sesuai kapasitas tanpa ada tekanan dan unsur paksaan. Memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya. Apa lacur, bermainlah politisasi sejak zaman dahulu hingga saat ini. Dalam perjalanannya, dari waktu ke waktu ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerap melakukan intervensi terhadap hukum. Oleh karenanya, ketika kita melihat sistem ketatanegaraan Indonesia, hukum belum dapat dijadikan panglima, ini yang dialami Jero Wacik. Karena adanya eskalasi politik yang semakin masif, maka rentan dengan adanya politisasi dalam penegakan hukum untuk beliau. Siapa tuan ini semua?
Prof. Dr. Ketut Swastika, Rektor Universitas Udayana bicara tentang Jero Wacik, “…beliau ini orang yang sangat cerdas. Itu kelihatan dari pengetahuan ilmu dan pengetahuan umumnya yang sangat bagus. Sehingga saya kira, kalau beliau bisa memimpin Departemen Budpar sebanyak dua kali, dan sekarang Menteri ESDM, hal itu menunjukkan tanda-tanda beliau sangat cerdas. Beliau juga orang yang jujur. Itu yang penting. Jadi, kombinasi antara kecerdasan dan kejujuran itu adalah yang paling penting”.
Budayawan yang ternyata satu sekolah SMA saat di Singaraja, Putu Wijaya, berucap tentang Jero Wacik. “Menerjemahkan berpikir positif menjadi tindakan”. “Berpikir positif di dalam kinerja Jero Wacik adalah bertindak cepat, tangkas, dan pantang menyerah. Baginya, segala sesuatu tidak boleh ditunda-tunda, harus segera dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan birokrasi, kinerja Jero Wacik menunjukkan komitmen, dedikasi, dan loyalitas pada atasan. Sebagai akibatnya, kinerja Jero Wacik menjadi tangkas, cekatan. Tidak berjalan sendiri, sehingga satu hentakan dengan komando tertinggi. Bagi saya, itu bukan kelemahan, tetapi bagian dari semangat “kesatuan””.
Hal senada juga disampaikan oleh Jaya Suprana, “Jero Wacik itu sosok yang dinamis, enerjik, dan ramah. Selama menjadi menteri di era SBY, lebih banyak bekerja ketimbang berbicara. Selama mengenal Jero Wacik, sangat nyata membantu kegiatan kebudayaan yang saya lakukan, mulai dari MURI di tanah air sampai pagelaran konser music klasik dan wayang orang di Sydney Opera House”.
“Orang yang tidak mengenal Jero Wacik, bisa jadi akan mempunyai gambaran yang keliru tentang dirinya. Mungkin dia akan dianggap kaku, formil, cenderung satu arah atau apapun dalam berkomunikasi. Sebab kebanyakan pejabat banyak seperti itu, tetapi Jero Wacik Tidak. Beliau tidak pernah mengutamakan kepentingan pribadi. Saya akan mau saja dimanfaatkan oleh negara atau pemerintah jika itu demi kepentingan yang lebih besar—yakni untuk rakyat dan bangsa. Di manapun kita berada,, hubungan tetap harus dijaga agar kita semua tetap bisa berkontribusi pada masyarakat”, ucap Christine Hakim sebagai seorang aktris, sineas, dan produser film tentang Jero Wacik.
Kasus Jero Wacik memberikan kita pelajaran berharga bahwa penegakan hukum harus dipisahkan dan terbebas dari berbagai urusan atau kepentingan politik. Menarik penegakan hukum kedalam episentrum praktik politik pada akhirnya akan memperlemah upaya pemberantasan korupsi atau justru mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa dan tidak melakukan korupsi menjadi terdakwa/pelaku. Ini sungguh tidak adil jika tidak dicermati secara jeli, terutama oleh penegak hukum dalam hal ini, Jaksa dan hakim sebagai pemutus persidangan.
Penegakan hukum menjadi imparsial dan cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memegang kendali atau kekuatan politik tertentu. Pemerintah harus mengevaluasi kembali posisi atau jabatan strategis dibidang hukum agar terbebas dari kepentingan politik tertentu..
----------------------------------------
Indrasto, Wahyu et al (Edt). 2013. Jero Wacik, Testimoni 100 Tokoh. Ganeca Exact.