[caption caption="Jero Wacik [Sumber: cdn.tmpo.co"][/caption]Dunia benar-benar panggung sandiwara: Sandiwara di segala lini, terutama hukum dan politik. Yang benar bisa jadi salah dan sebaliknya.
Menapaki Pulau Dewata, mencari tahu secara langsung sumber berita, bersama teman #SobatJW, bertatap muka dengan sahabat-sahabat dekat Jero Wacik. Bertemulah kami dengan beberapa orang sahabat yang mengenal dirinya secara dekat, seperti I Tengah Pringgo (Waket DPD Partai Demokrat Bali), I Putu Suasta (Mantan Ketua Bapilu Partai Demokrat), I Made Mudarta (Ketua DPD Partai Demokrat Bali), I Wayan Gunawan (Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Bali), juga pendidik Prof. Dr. Wayan Windia (Dosen Universitas Udayana, Bali), dan I Ketut Mardjana, Ph.D (Mantan Direktur Pos Indonesia dan Pemilik The Ayu Kintamani Exclusive Villa).
Di situ, kami berbincang panjang lebar, terutama kasus yang membelit salah satu putra daerah Bali itu, Jero Wacik. Tanpa disadari, saya hanyut dalam perbincangan politik dan seperti kursus singkat pembelajaran Politik Praktis dari sahabat dekat Jero Wacik.
Dalam kasus itu, Jero Wacik didakwa melakukan tindakan pemerasan untuk memperkaya diri sendiri ketika menjabat sebagai menteri ESDM. Ini, aneh! Hal-hal yang didakwakan kepadanya itu terjadi pada 2010, sementara beliau baru diangkat menjadi menteri ESDM pada pertengahan Oktober, tepatnya 19 Oktober 2011. Permainan politik seperti apa ini?
Pemerasan, hal in i menyangkut pada karakter, tindakan, dan rekam jejak (track record) seseorang. Dan hal-hal seperti itu tak terlihat dalam diri Jero Wacik.
“Pak Jero apa adanya, boleh dibilang sederhana. Bahkan, kalau pulang ke kampung halaman (Bali) kami menjemputnya. Dia tidak punya kendaraan pribadi di sini. Sepertinya, sangkaan pemerasaan itu tidak logis, tegas Mudarta selaku Ketua DPD Partai Demokrat Bali.
Sangkaan berikutnya adalah Jero Wacik melakukan penyalahgunaan Dana Operasional Menteri (DOM). Kesaksian Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, penggunaan DOM itu sesuai dengan Deskresi atau kebijakan masing-masing menteri, dan tidak dapat dipisahkan antara dirinya sebagai menteri dengan pribadi.
Penyalahgunaan DOM seperti yang didakwakan itu tidak menguntungkan Jero Wacik juga tidak merugikan negara, karena DOM sebagai biaya operasional menteri dan dipakai sesuai kewenangan dirinya sebagai menteri. Jelas, dari kesaksian Jusuf Kalla, apa yang dilakukan Jero Wacik tidak terbukti dan tidak ada yang dilanggar. Harusnya ini sudah gugur secara hukum, begitu pula dengan penggantian uang Rp8,4 Miliar, gugur! Apabila hal ini dipersoalkan, terkesan jadi mengada-ada. Bukti-bukti yang digulirkan tidak terbukti, dan kesaksian Jusuf Kalla dipersidangan seperti diabaikan.
Sangkaan ketiga seperti yang didakwakan adalah menerima Rp349 juta dari Ketua Umum Bidang Energi dan Pertambangan Kadin untuk perayaan ulang tahun ke-63. Ini bukan budaya Jero Wacik memperingati ulang tahun. Beliau tidak kenal yang namanya perayaan ulang tahun.
“Jero Wacik tidak mengenal ulang tahun. Di Bali yang biasa dirayakan itu otonan atau hari Weton (Jawa). Jadi, tidak ada yang namanya ulang tahun”, tegas I Ketut Mardjana.
Dari hasil persidangan, pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membuat keputusan atas kasus tersebut untuk Jero Wacik hukuman 4 tahun penjara denda Rp150 juta, serta diharuskan mengembalikan uang negara sebesar Rp5 Miliar. Sementara, JPU menuntut dirinya dengan hukuman 9 tahun penjara, denda Rp300 juta, dan mengembalikan uang negara sebesar Rp18,7 Miliar.