Mohon tunggu...
Jun Joe Winanto
Jun Joe Winanto Mohon Tunggu... Koki - Chef

Menulis sebagai rangsangan untuk sel-sel otak agar terus berbiak. La Cheo Joe, banyak menulis buku, tetapi tidak untuk diterbitkan secara komersial. Buku-buku tersebut diperuntukkan untuk proyek Departemen Pendidikan Nasional dari beberapa penerbit. Lebih dari 100-an judul buku telah ditulisnya. Lahir pada 9 Juni di “Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Cita-citanya berbelok seratus delapan puluh derajat dari yang diidam-idamkan menjadi Dokter Kandungan. Kuliah pun sebenarnya tak diinginkan oleh kedua orang tuanya karena sesuatu dan lain hal. Cerita berkata lain, diam-diam Sang Guru Bimbingan Karier (BK) SMA-nya memberikan berkas lembaran sebagai Mahasiswa Undangan ke Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. La Cheo Joe sempat merenungi keputusan saat jari-jemarinya menjentikkan pulpen mengisi titik-titik bernama. Perjalanan kariernya di beberapa perusahaan, mengantarkannya untuk berkeliling daerah di Indonesia. Mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. La Cheo Joe sebagai penyuka olahraga selam, masak,icip-icip makanan, traveling, dan naik gunung ini, bercita-cita punya “tempat makan” sendiri dan ingin segera merampungkan salah satu bukunya yang sempat tertunda lama. Untuk mengenal lebih jauh dengannya, dapat dihubungi via email: junjoe.gen@gmail.com atau di nomor telepon 0857 1586 5945.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dialah Pemercik di Pura Bukit Mentik

14 April 2016   12:52 Diperbarui: 14 April 2016   15:05 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidaklah mudah menjadi Jero (Pemangku) dalam hierarki agama Hindu di Bali. Menjadi Jero di usia belia.

Ketika kaki menjejak di Bumi kelahirannya, Desa Batur, Kintamani, Bangli-Bali, serasa antara percaya dan tidak percaya. Betapa tidak, selama ini keindahan tanah kelahiran sang Jero hanya terlihat dari layar kaca, kini nyata di depan mata.

Boleh dibilang, bale inilah tempat istirahat, menerima tamu, dan tidurnya Jero Wacik saat pulang ke Batur-Bali

 

Adalah salah satu (mantan) petinggi negara (menteri) di negeri ini, Jero Wacik. Anak desa yang hidup dari “keras”nya perjuangan pelosok desa. Tak pernah mengenal keluh kesah pada Sang Hyang Widi Wasa (pemberi hidup dan kematian). Tekad yang kuat berjuang untuk lepas dari kesulitan ekonomi dilakoni.

Bertuturlah I Ketut Mardjana tentang sosok Jero Wacik saat cilik begitu pula I Wayan Simpen (Carma). Mardjana mengenal sosok Wacik kecil sebagai pribadi pintar dan disenangi banyak teman. Tanda-tanda itu memang sudah terlihat. “Saat Wacik berkata-kata, semua orang tersihir pada percakapannya. Dia sangat pandai bicara. Orang seperti terhipnotis mendengarkannya”, tuturnya.

Wacik dan Mardjana bersahabat sejak kecil. Keduanya saling mempengaruhi. “Wacik di sekolah terkenal dan pintar, Wacik pinter ngomong”, ucap Mardjana.

“Wacik memiliki kepintaran yang luar biasa”, tandas Carma.

Wacik kecil menempuh pendidikan di sekolah dasar Toya Mampeh. Terletak tidak  jauh dari kaki Gunung Batur. Memasuki kelas 2 sekolah dasar, dia pindah sekolah ke Desa Batur. Sementara, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atasnya dia lanjutkan di Singaraja.

Wacik menjadi pendobrak masyarakat desa untuk mencari ilmu pengetahuan lebih jauh dan tinggi lagi. Dialah pemuda pertama dari Kintamani yang berhasil lolos di Universitas ternama di Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Masa-masa menempuh pendidikan di ITB dijalani dengan suka cita. Dia membuat bimbingan belajar untuk menambah uang saku. Terlihat, dari situ terlihat, bakatnya untuk menjadi seorang pengusaha  selama masa kuliah sudah muncul. Itu juga dia lakukan untuk meringankan ekonomi kedua orang tuanya.

Jero Wacik begitu bangga mengenakan jaket kampus berwarna biru itu. Ada nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya untuk membangkitkan semangat pemuda-pemudi Kintamani untuk melihat dunia jauh ke depan dengan menempuh pendidikan tinggi. Semangat itu yang dikobarkan Jero Wacik hingga kini, belajar dan terus belajar.

Tetumbuhan di kaki Gunung Batur me-mentik (red-tumbuh-Bali). Menghias seluruh permukaan kaldera. Wewangian bunga merekah aneka warna menyaput alam Kintamani. Selang beberapa lama, hijaunya daun dan wanginya bunga mulai menguning dan menua, layu dan gugur ke bumi.

Begitu pula dengan kehidupan orang tua Jero Wacik. Saat-saat Wacik berkuliah dan ingin memberikan tanda mata kepada orang tua tercinta--I Nyoman Sudiri--sang Ibu dipanggil oleh Sang Hyang Widi Wasa untuk selamanya. Tak sampai di situ, setahun setelah kepergian ibundanya, ayahnya pun—I Nyoman Bakat, biasa dipanggil Guru Nyoman Shanti—dipanggil  ke ribaan zat yang memberi hidup dan kematian. Tetapi, Wacik tetap gigih berjuang hingga menyelesaikan sarjananya.

Menurut  Mardjana, Kintamani ini subur, bisa menghidupi seluruh warga desanya. Jadi, untuk apa pergi jauh-jauh dari Kintamani. Alam sudah memberikan segalanya. Orang-orang tua di Kintamani melarang anak-anaknya pergi merantau. Tetapi lain dengan Jero Wacik. Wacik yang pintar berhasil menepiskan hal itu. Dia punya prinsip yang dipegang teguh sampai kapanpun.

Melihat kehidupan masa kecil Jero Wacik yang tak terbilang senang, membuat dirinya menjadi pribadi kuat, tangguh, dan pekerja keras. Sedari SD, dia sudah pandai berdagang, berjualan es dan mengajar teman-temannya di kelas. Tanpa ada rasa malu atau merendahkan dengan lainnya.

Menguak lebih jauh, kenapa  Jero Wacik--orang Kintamani-- pintar dan cerdas? Ada hal tersembunyi yang dicuatkan oleh Mardjana tentang hal ini. Orang-orang Kintamani sebagainya layaknya penduduk desa, memanfaatkan apa yang ada di alam. Biasanya mereka suka mengonsumsi jangkrik, laron, juga simper berwarna hijau yang digoreng. Jero Wacik dan sahabat-sahabat kecilnya juga suka ke hutan, bertualang. Biasanya mereka mencari terong Belanda dan jambu biji untuk dikonsumsi.

Alam Kintamani memberikan dan menyediakan bahan pangan sangat banyak untuk kehidupan Jero Wacik, sahabat, dan penduduk desanya.

Bagaimana Jero Wacik Jadi Pemangku atau Pandita?

Bali, salah satu provinsi di negeri ini (baca = Indonesia) yang telah menjejakkan tapak di jagat raya mengitari mancanegara. Di sinilah Jero Wacik mengarungi hidup, dari sebuah desa di Batur, Bangli-Bali.

Sesiapa jika pemberi kehidupan dan  kematian sudah bertindak, kita tak dapat berbuat apa-apa. Begitulah hal yang sama terjadi dengannya. Wacik beroleh anugrah dari Sang Hyang Widi Wasa untuk dititahkan menjadi Pemangku. Tak sembarang orang dapat memenuhi hal ini. Artinya, beliau menjadi orang terpilih dan diberi petunjuk olehNya.  

Dia diamanatkan menjadi pemangku saat masih sangat belia, sekitar usia 6 tahun. Nama beliau pun sebenarnya sangat singkat, “Wacik”. Akan tetapi, setelah ditetapkan sebagai pemangku, nama tersebut ditambahkan kata “Jero”.

Jero sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang memang sepantasnya dihormati dan diberkati. Ketika saya memasuki salah satu pura, tempat biasanya Jero Wacik memimpin sembahyang untuk melayani warganya, Pura Bukit Mentik, terlihat beberapa Jero dengan rambut yang terbilang panjang, salah satunya Danejero Penyarikanduuran Pbmsisyawan.

Pun selamanya menjadi pemangku, Jero Wacik juga berambut panjang. Rambutnya dipotong ketika akan menempuh pendidikan tinggi di Bandung. Akan tetapi, untuk memotong rambut itu pun tidak dapat dilakukan secara asal, perlu izin.  

Di Pura Bukit Mentik ini toleransi keagamaan sangat kuat. Agama lain pun boleh beribadah sesuai dengan  keyakinan yang dianut. Hebat!

Integritas Tinggi

Pemangku dan Menteri, dua jabatan yang pernah diemban Sang Pemercik ini. Sibuknya dahulu sebagai seorang petinggi negara, membuatnya jarang-jarang pulang ke Batur. Tetapi, pada dasarnya beliau orang yang sangat mencintai keluarganya. Keluarga cukup mengerti dengan kesibukan yang diamanatkan kala itu.

Integritasnya sangat tinggi ketika menjabat sebagai menteri. Jero Wacik memang menjadi orang yang tepat menggawangi Kemenbudpar saat itu. Ketika situasi negeri ini penuh dengan ancaman dan di tengah ketegangan serta menurunnya jumlah wisatawan yang datang.

Banyak prestasinya ketika menduduki kursi kemenbudpar. Kunjungan wisatawan mancanegara meningkat tajam dan negara mengantongi devisa sebesar 7,65 miliar dolar dari 6,4 juta pengunjung. Sungguh prestasi yang luar biasa. Tak lepas pula wisatawan dalam negeri yang melakukan perjalan mengitari republik ini.

Tetapi kini, beliau berada di balik bui dengan  satu kata “pemerasan” yang disangkakan  oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari rekanan perusahaan kementerian. Seharusnya, tuduhan tersebut gugur atas nama hukum. Bagaimana tidak, karena rekening dana kickback sudah ada sejak tahun 2010. Dan bila dilihat dari perjalanan beliau menjadi menteri, itu pada 2011. Sebenarnya, ada apa di balik ini semua? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun