Terus menambang dan tak memikirkan alam bahkan kehidupan sekitarnya. Batubara sebagai bahan bakar untuk PLTU pun dijadikan alasan untuk terus menggali isi perut bumi Pulau Borneo.
Kita memang butuh energi untuk kehidupan bernegara. Dalam intro pembuka film terlihat pasangan muda yang sedang bergairah jatuh cinta, melakukan bulan madunya di dalam hotel berbintang nan mewah. Ada banyak peralatan listrik di sana juga dijelaskan berapa daya yang diperlukan.
Tak memunafikkan diri. Kita butuh listrik untuk hidup di era modernisasi secara terus menerus. Pertumbuhan manusia baru pun memaksa kita berpikir mencarikan solusi akan akar permasalahan.
Dalam film juga disebutkan bahwa ada sebuah rumah di Bali yang dihuni oleh keluarga yang menggunakan energi matahari sebagai pembangkit listrik.
Mulai dari perlengkapan rumah tangga, bahkan alat transportasi. Mungkin pemerintah harus setuju dengan saran solusi ini, yaitu mensubsidi harga PLTS untuk setiap kepala rumah tangga di Indonesia.
Tapi kan tidak berani. Mengapa? Ya karena mereka punya usaha di bidang energi, yaitu Batubara dan PLTU. Monopoli seperti itu adalah realita kita.
Dulu ketika kecil, penulis pun tinggal dalam kerajaan BUMN. Ayah seorang karyawan pelasana kala itu. Tinggal pada jarak radius 1,5 Km dari bangunan operasional pabrik Kelapa sawit. PKS VI Seibaruhur namanya.
Adapun power dari pabrik ini ialah boiler atau PLTU dengan kapasitas 24 jam kerja dapat mengerjakan 30 ton tandan buah segar Kelapa Sawit. Asap membumbung tinggi dari cerobong asap.
Ayah pernah cerita, jika boiler yang baru dibangun itu warna asapnya putih. Artinya itu buatan Jepang yang memiliki teknologi penyaringan asap hingga menjadi putih.
Padahal seharusnya berwarna hitam seperti boiler yang lainnya dengan berbahan bakar yang sama yaitu serabut sisa olahan janjangan tandan buah segar, biasanya disebut serat fiber. Namun, lanjut ayah, tetap saja berbahaya bagi kehidupan lingkungan sekitarnya dan kehidupan di mana asap tersebut kembali jatuh dan menempel.