Mohon tunggu...
Bentara Manusia
Bentara Manusia Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Kayu

Lelah, jalani saja, Tuhan tahu waktuNya, kudibawah kendaliNya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

[Jurnal Harian] Semangat Membaca!

5 Oktober 2018   18:11 Diperbarui: 9 Oktober 2018   08:52 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuantarkan koran itu ke bawah meja di ruang bersofa dan megah yang diperuntukkan hanya untuk orang-orang berpangkat dan pejabat serta tamu istimewa. "Ibu berbaju hitam, bongsor dan berambut sebahu itu menyulam dalam kalimatnya, kan saya hanya melaksanakan tugas, Mas." Tak kujawab, kudiamkan saja, mbok lostlah, mikirnya kolot.

Sumber: pixabay.com
Sumber: pixabay.com
Aku diam dan keluar sambil menyandang tas ransel milikku, dalam hati aku mendendam, "awas saja aku jadi pejabat negara,. Enam atau tujuh tahun lagi, pasti, kuamini dalam hati. Kubiarkan pengemis dan orang gila duduk di kursi kerjaku.

Biar mereka merasakan sejuknya udara ruang tamu, ruang rapat, ruang kerjaku. Sombong sekali, ruang sunyi, koran tak tersentuh menjadi aset yang ditidurkan, tak berguna. Andai saja aku lapar, kulahap semuanya dengan emosi terbakar.

Aku hanya seorang mahasiswa dengan bantuan dari Pemerintah, aku dihalang untuk berbuat semena-mena. Suakaku akan dicabut jika lakuku keluar dari rencana. Pasport hijau itu harus kujaga. Besok aku akan membaca koran dan terus membaca. Tiba saatnya aku bergerak melawan kesewenang-wenangan kaum pelit."

Aku berjalan ke arah Timur. Meninggalkan gedung utama yang dijaga dua perempuan yang tak bersalah, melarangku duduk di atas sofa. Sanubariku terluka, niatku menambah data rakyat Indonesia untuk gerakan membaca dihalangi oleh aturan yang tak tertulis dan yang tak kuketahui sama sekali sejak dua tahun aku menimba ilmu di sini.

Aku masih mencintai Kampusku dan segala isinya, kali ini aku terluka. Untuk membaca sebuah koran yang tak berdosa saja aku dilarang. Kutuliskan kisah nyata ini, ambillah sebuah keputusan yang bijaksana, peduli terhadap sesama jangan hanya sebuah kalimat indah yang gencar disuarakan, tanpa memperhatikan implementasinya di ruang demokratis Kampus akademik. 

Lalu, kepada siapa aku mengadu dan mencurahkan isi hatiku? Aku tak tahu, hanya Ms. Word yang mampu menampung kenyataan yang kutelan pahit dan kuhadapi hari demi hari dalam perjalanan menuju negeri permai yang kuimajinasikan kelak nanti.

Muak/ aku muak dengan peraturan tanpa alasan dan landasan/ kejujuranku tertanam/ aku tak setuju aturan sofa dan ruang megah hanya untuk mereka yang memiliki pangkat dan jabatan di struktural/ kami/ saya/ mahasiswa hanya diperas membiayai anak cucu mereka/ keegoisan di lingkungan kita/ secara sadar menyajikan hal-hal yang menjijikan/ tergantung aku dan engkau/ apakah kita akan meniru/ atau apakah kita menjadi generasi penerus/ penerus kejahatan dan keburukan/ membukakan pikiran-pikiran yang tak masuk akal/ atau aku dan kamu akan menjadi generasi baru/ dengan ide-ide inovasi baru/ lebih berpihal pada rakyat kecil/ walaup pangkat besar di pundak menganga/ Tuhan lah yang adil di Bumi Pertiwi ini///

Yogyakarta, 5 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun