Mohon tunggu...
SIAHAAN JUNIOR TERNAMA
SIAHAAN JUNIOR TERNAMA Mohon Tunggu... Freelancer - aku adalah Tanah

Baca dengan mata/rasa dengan pikiran/karena aku adalah tanah yang mendambakan bacaan dan tulisan/ karya sastra sebagai bumbu kehidupan///Onesimus

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi │Hampa, Kaku, Bisu jadi Satu

30 Agustus 2018   09:04 Diperbarui: 30 Agustus 2018   09:30 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lonceng Gereja.sumber: avemariaradio.net

air mata mengalir

sekujur  tubuh kedinginan

terombang-ambing oleh angin malam

duka mendalam

 

"Lonceng Gereja berbunyi Kamis lalu" sambut sahabat Ibu padaku

Undangan untuk para Ibu berlatih menyanyikan lagu syahdu memuji Tuhan

Alunan setiap alunan gesekan ladang ilalang di seberang jalan

Penyelarasan duka dan suka penduduk dusun Desa

Penyakit tlah bersarang bertahun-tahun lamanya

Sedihku ketika aku terdiam kaku

Tak mampu membawa Ibu ke tangan Dokter

Rumah sakit tak jauh dari rumah Ibu

Keadaan membuat kami semua membisu

Seakan-akan membiarkanmu lemah tubuh

Jauh dari kemewahan

Maaf Ibu

Kami mengecewakanmu

Tangisku ketika aku melihat tubuhmu sudah kaku

Hancurku ketika mendengar langsung bahwa Ibu telah pergi sangat jauh

Pilu menghampiri kehidupanku saat-saat kumandikan zenajahmu

Kaku, bau formalin sedikit anyir menusuk paru-paruku lewat batang hidungku

Benar-benar bisu

"Ich liebe dich" lidahhku

Mata Ibu tertutup lembut

Sudah lima hari dagingmu membeku

Menunggu bungsumu datang melayat kehidupan baru

Pesan terakhirmu, "bersyukurlah, hiduplah dengan rasa syukurmu. Jangan malu dengan kondisi keluargamu. Majulah...majulah, engkau kuat menanggung wibawamu. Hidup dengan perjunganmu. Maafkan penderitaan yang kuwariskan kepadamu, teruntuk anakku si Bungsu."memo yang terus kukenang saat aku menjengukmu enam bulan lalu.

Nyanyian para Ibu

Antara menghibur yang hidup

Menangisi kepergian kekalmu

Kami semua menunduk mengheningkan kenangan

Peti mati biru

Ulos hitam dari adik lelakimu menyelimuti kekakuanmu

Ibuku

Aku rindu masa lalu bersamamu

Malam menimbulkan perih

Sebelum engkau pergi ke rumah barumu

Biarkan aku menangisimu

Biarkan aku merenggut malu

Biarkan aku hancur tak berbentuk

Biarkan aku biarkan aku pergi bersamamu

"Ibu, aku lapar dan haus. Apa masakan Ibu hari ini?"

Sunyi

"Mak, aku butuh sangu, besok pergi ke Museum bersama teman-temanku"

Sunyi

Menjerit jerit aku memanggilku

Tak ada jawaban

Tangisan sesalku kehilangan waktu bersamamu

Ayah pun telah mendahului lebih dulu

Sama, kalian pergi tanpa sentuhan tangan mereka

Ke mana aku kan mengadu

Semua mata tertuju kepadaku

Si bungsu dibakar malu

Janjiku menikah dengan gadis ayu

Tak tersampaikan ke hadapanmu

Merdeka

Merdeka, Ibu tlah merdeka dari penjajahan egois dan sangkar penyakit

Mistis

Aku harus ihklas halus

Bahwa Ibu telah bahagia penuh

Asap membumbung tinggi

Lonceng Gereja berdering kencang

Pak pendeta memerintah menutup pintu rumah barumu

Kotak dimasukkan ke lubang itu

Kami lempari pembungkus tubuhmu dengan gumpalan tanah penuh

Wajah lepas

Tersenyum bebas

Engkau ihklas

Perjuanganmu tak terbatas

Tinggallah kami anak cucumu

Menapaki kehidupan

Dunia yang penuh kefanaan

Hiduplah dalam sanubariku

Ibu

Aku masih menangisi kepergianmu

Bersama puisi tak terucap padamu

Belum sempat kuucapkan maaf atas dosa salahku

Aku telah kehilangan sosok pengampuh dalam kehidupan penuh

Hak hakku sebagai anak telah hitam dalam catatan pilu

Kehendak-Nya telah memutuskan duniaku dan Ibu

Ayah

Ibu telah menemuimu di Sana

Jaga Ibuku

Dekap tubuhnya

Satukan rindumu

Aku mencintai kalian menjadi satu bagian yang tak terpisahkan

Kematian dan kehidupan kekal

derita terdalam anak bungsu kalian

Yogyakarta, 30 Agustus 2018 air mata mengalir begitu derasnya, TITIK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun