air mata mengalir
sekujur tubuh kedinginan
terombang-ambing oleh angin malam
duka mendalam
"Lonceng Gereja berbunyi Kamis lalu" sambut sahabat Ibu padaku
Undangan untuk para Ibu berlatih menyanyikan lagu syahdu memuji Tuhan
Alunan setiap alunan gesekan ladang ilalang di seberang jalan
Penyelarasan duka dan suka penduduk dusun Desa
Penyakit tlah bersarang bertahun-tahun lamanya
Sedihku ketika aku terdiam kaku
Tak mampu membawa Ibu ke tangan Dokter
Rumah sakit tak jauh dari rumah Ibu
Keadaan membuat kami semua membisu
Seakan-akan membiarkanmu lemah tubuh
Jauh dari kemewahan
Maaf Ibu
Kami mengecewakanmu
Tangisku ketika aku melihat tubuhmu sudah kaku
Hancurku ketika mendengar langsung bahwa Ibu telah pergi sangat jauh
Pilu menghampiri kehidupanku saat-saat kumandikan zenajahmu
Kaku, bau formalin sedikit anyir menusuk paru-paruku lewat batang hidungku
Benar-benar bisu
"Ich liebe dich" lidahhku
Mata Ibu tertutup lembut
Sudah lima hari dagingmu membeku
Menunggu bungsumu datang melayat kehidupan baru
Pesan terakhirmu, "bersyukurlah, hiduplah dengan rasa syukurmu. Jangan malu dengan kondisi keluargamu. Majulah...majulah, engkau kuat menanggung wibawamu. Hidup dengan perjunganmu. Maafkan penderitaan yang kuwariskan kepadamu, teruntuk anakku si Bungsu."memo yang terus kukenang saat aku menjengukmu enam bulan lalu.
Nyanyian para Ibu
Antara menghibur yang hidup
Menangisi kepergian kekalmu
Kami semua menunduk mengheningkan kenangan
Peti mati biru
Ulos hitam dari adik lelakimu menyelimuti kekakuanmu
Ibuku
Aku rindu masa lalu bersamamu
Malam menimbulkan perih
Sebelum engkau pergi ke rumah barumu
Biarkan aku menangisimu
Biarkan aku merenggut malu
Biarkan aku hancur tak berbentuk
Biarkan aku biarkan aku pergi bersamamu
"Ibu, aku lapar dan haus. Apa masakan Ibu hari ini?"
Sunyi
"Mak, aku butuh sangu, besok pergi ke Museum bersama teman-temanku"
Sunyi
Menjerit jerit aku memanggilku
Tak ada jawaban
Tangisan sesalku kehilangan waktu bersamamu
Ayah pun telah mendahului lebih dulu
Sama, kalian pergi tanpa sentuhan tangan mereka
Ke mana aku kan mengadu
Semua mata tertuju kepadaku
Si bungsu dibakar malu
Janjiku menikah dengan gadis ayu
Tak tersampaikan ke hadapanmu
Merdeka
Merdeka, Ibu tlah merdeka dari penjajahan egois dan sangkar penyakit
Mistis
Aku harus ihklas halus
Bahwa Ibu telah bahagia penuh
Asap membumbung tinggi
Lonceng Gereja berdering kencang
Pak pendeta memerintah menutup pintu rumah barumu
Kotak dimasukkan ke lubang itu
Kami lempari pembungkus tubuhmu dengan gumpalan tanah penuh
Wajah lepas
Tersenyum bebas
Engkau ihklas
Perjuanganmu tak terbatas
Tinggallah kami anak cucumu
Menapaki kehidupan
Dunia yang penuh kefanaan
Hiduplah dalam sanubariku
Ibu
Aku masih menangisi kepergianmu
Bersama puisi tak terucap padamu
Belum sempat kuucapkan maaf atas dosa salahku
Aku telah kehilangan sosok pengampuh dalam kehidupan penuh
Hak hakku sebagai anak telah hitam dalam catatan pilu
Kehendak-Nya telah memutuskan duniaku dan Ibu
Ayah
Ibu telah menemuimu di Sana
Jaga Ibuku
Dekap tubuhnya
Satukan rindumu
Aku mencintai kalian menjadi satu bagian yang tak terpisahkan
Kematian dan kehidupan kekal
derita terdalam anak bungsu kalian
Yogyakarta, 30 Agustus 2018 air mata mengalir begitu derasnya, TITIK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H