Mohon tunggu...
Junior Rachman
Junior Rachman Mohon Tunggu... Administrasi - Tidak bekerja

Humor terbaik adalah dirimu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Paticcasamuppada, Karma Universal dalam Hidup Manusia

12 April 2024   21:37 Diperbarui: 12 April 2024   21:38 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dengan adanya ini, terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu. Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu." - Khuddhaka Nikaya, Udana 40

Pagi yang baik adalah pagi yang dipenuhi rasa syukur dan optimisme. Setiap orang punya banyak cara untuk mengekspresikan hal tersebut, mulai dari berdoa, meditasi, atau dalam konteks yang lebih progressive, mereka memulai hari dengan menulis "to-do list", sesuatu yang harus mereka kerjakan pada hari tersebut.

Namun, bagaimana jika saat memulai pagi, justru kecemasan yang datang menghantui? pada kenyataannya, kebanyakan orang mengalami hal tersebut. Salah satu kecemasan pribadi yang kiranya mengganggu kita justru lahir dalam bentuk pertanyaan, "Apakah kita masih punya waktu sampai 20 tahun lagi?"

20 tahun mungkin terdengar lama sekali, namun kenyataannya tidak. Gen Z yang lahir di dekade 90-an (jika matematika saya tepat) seharusnya sudah berumur sekitar 24-27 tahun. Waktu berjalan begitu cepat hingga memori kanak-kanak hanya terasa seperti baru terjadi kemarin. Dalam waktu 20 tahun yang akan datang, umur para Gen Z ini sudah mencapai kepala 4, itupun jika mereka (dibaca:kita) cukup beruntung bisa mencapai umur tersebut.

Pertanyaan kedua yang lahir biasanya berbunyi "Apakah peranku sebagai Manusia sudah maksimal?"

"Peran" disini umumnya lebih mau mempertanyakan kembali esensi manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial (Zoon Politicon). Tentu tanpa melupakan kodrat kita sebagai makhluk yang "terbatas", lahir dari sesuatu yang "tidak terbatas"(Theism).

Dalam menanggapi 2 pertanyaan fundamental tersebut, kita perlu kebijaksanaan dan pemahaman menyeluruh. Kebijaksanaan tersebut dapat berwujud pemahaman bahwa ada sesuatu yang bergerak dalam kuasa kita, dan ada juga yang tidak.

Peran manusia disini tentu bisa dimaksimalkan jika kita sadar atas apa yang kita perbuat dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran inilah yang dalam Buddha, terus diupayakan. Kesadaran dalam dunia yang "abu-abu" ini harus terus-menerus diolah dan diperbarui dengan seksama supaya tetap relevan. Relevansi disini tentu menjadi metriks variable, tergantung terhadap apa dan siapa kita berperilaku.

"Mencari sebab-sebab adalah esensi berfikir" - Siddharta Gautama

Dalam hubungannya terhadap manusia sebagai makhluk sosial, ada 1 ajaran Buddha menarik yang bisa dijalankan oleh siapapun (terlepas dari apapun kepercayaan yang dianut), yaitu Interdepedensi, atau dalam bahasa pali biasa disebut paiccasamuppda

Interdepedensi disini secara harfiah dipahami sebagai hukum sebab-akibat yang saling bergantungan antar manusia. Dengan mempelajari dan merenungkan paiccasamuppda, Siddhartha Gautama (yang sebelumnya masih menjadi petapa Hindu, Brahmana) akhirnya mencapai pencerahan sempurna dan menjadi Buddha.

Dalam teorinya, paiccasamuppda dapat dijalankan dengan baik ketika seseorang dapat memahami dan menjalankan nyat (kekosongan) serta 12 Nidna. Namun pada praktiknya secara sederhana (di kehidupan urban dan plural ini), kita hanya perlu memahami bahwa setiap tindakan kita akan berdampak terhadap hal lain, baik ataupun buruk, apapun konteksnya (konsekuensi). Karma baik yang sebelumnya ditanam akan berbuah menjadi sesuatu yang lebih baik lagi, begitupun sebaliknya dan akhirnya menjadi Karma yang sifatnya universal.

Umumnya, kita akan menyadari nilai dan sifat asli kita pada saat ajal menjemput, itulah esensi kematian yang menarik. Meskipun dalam optimisme yang penuh, kebaikan/karma baik yang lahir seharusnya tidak berlandaskan pada kematian semata, namun pada esensi manusia sebagai makhluk sosial yang terbatas.

"Ketika terlahir, kita menangis sedangkan orang disekeliling kita tertawa. Maka buatlah kebaikan, agar ketika mereka bersedih di hari kematianmu, kita lah yang tertawa bahagia!" - Gus Dur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun