Aku disini, menanti pria dengan masa laluku yang menyedihkan. Aku disini, mengucap satu pesan yang tak sempat kuutarakan. Hari – hari akan berjalan, sebelum dan sesudah aku mencapai kematian. Mati, aku pernah berpikir menjemputnya beberapa waktu lampau, sebelum berpikir betapa berartinya sebuah kehidupan.
“Kau memintaku bertemu...” Pria itu tepat bersuara dibelakangku. Suara yang tak pernah bisa kulupa meski seringkali membuatku terbelenggu. “Sudah menunggu lama?” Kata David, sambil mengambil posisi duduk dihadapanku. Entah apa yang ada dikepala pria itu. Beraninya dia menatapku, seolah aku tak pernah membencinya dimasa lalu.
“Kau berhutang maaf” kataku tanpa sepatah kata pembuka. Kulihat sebuah keterkejutan dalam sorot matanya. David bersender, seakan mencari posisi nyamanya. Tapi aku justru menunduk, menatapnya tajam berusaha mengalahkan pertahanannya.
“Apa maksudmu?” Dia tidak tahu. Dia sudah melupakanku. Dia tidak punya masa lalu. Dan aku.....
“Kau bodoh!!!” kataku. “Aku harap istrimu akan segera melahirkan anak perempuan” David terperanjat membeku. Dia mencari arah, mencoba beralih dariku.
Dikota ini, aku dibesarkan. Ibuku meninggal saat aku masih terlalu kecil untuk bertahan. Ayahku menghilang seakan ia tidak punya tanggungan. Bersyukur punya bibi yang masih bisa diandalkan. Bibi membesarkanku hingga akhirnya merasakan sebuah kutukan.
David, sepupuku, satu – satunya anak yang keluar dari rahim bibiku. Waktu itu, aku masih kelas dua SMP dan dia berada ditingkat pertama kuliah seingatku. Tinggal bersama membuatku menganggap David sebagai abangku. Sebelum akhirnya perbuatannya merenggut kehormatanku.
Saat itu usiaku masih tiga belas. Ketika David menjamah tubuhku dengan baju yang terlepas. Aku tak punya kuasa membalas. David melakukannya lagi, dan lagi seakan tak pernah puas. Menggerogoti tubuhku yang sudah hancur jelas.
Pada siapa aku mengadu. Gadis kecil yang tak dipedulikan ayah, dan sudah kehilangan ibu. Siapa yang peduli padaku. Bibi pasti akan membela anaknya dan mengusirku. David memenangkanku atas segala ketakutanku. Hingga kusadari, ada janin bersarang dirahimku.
David segera tahu kondisiku, dia seorang mahasiswa kedokteran waktu itu. Bibi marah besar ketika David mengadu. Bibi berpikir aku bermain gila dengan teman priaku. Bibi membantu menggugurkan janin kemudian mengusirku.
“Apa aku perlu mengingatkanmu?” kataku tak kuasa menahan David yang terdiam. Mungkin dia tidak tahu, sejak saat itu mentariku menjadi kelam. Tak perlu kukatakan, sejak saat itu bagiku, dunia berubah kejam.
“Jadi sekarang kau mengancamku? Tidak akan ada yang percaya pada ucapanmu...” Kata David membuatku menjadi lebih jijik melihatnya “Kau takkan bisa merusak rumah tanggaku” Terdengar ketakutan dari suaranya.
“David... Percayalah, aku punya kehidupan yang jauh lebih baik kini. Tak perlu aku merusak hidupmu” kataku perlahan “kalau aku melakukannya, lalu apa bedanya aku dengan dirimu?” dia masih mendengar, namun tampaknya ada perkataan yang ditahan.
“Kau...” David berusaha bicara sekali ini. Tapi aku memutuskan untuk pergi.
“David... kau takkan pernah mengerti, sebelum kau sendiri yang merasakannnya” kataku saat mengehentikan langkah memberi peringatan padanya. Dia menatapku, tapi ketakutan lebih tergambar dikedua matanya. Aku menang, karena sudah mengatakan ini kepadanya. Sesuatu yang seharusnya aku ucapkan sejak lama.
David, aku memaafkannya. Hidupku tidak akan pernah sama. Tapi tanpa perlakuannya. Aku takkan pernah dapat memahami perjuangan kehidupan dan keindahannya.
Terinspirasi dari “Till It Happens To You” Oleh Lady Gaga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H