Penjara telah membuat Srintil kehilangan kepercayaan diri. Menjatuhkan martabat dan harga dirinya ke titik terendah. Srintil tak berani menatap lagi dunia di luar dirinya. Tak henti-hentinya dihantui rasa bersalah dan terhukum. Mengubahnya menjadi pemurung meski kecantikannya masih mampu menjerat para lelaki. Ia kini bukan lagi ronggeng. Ia ingin meninggalkan dunia masa lalunya. Ia punya mimpi lain menjadi seorang istri dari seorang lelaki baik-baik. Tak ada lagi Srintil si penakluk lelaki. Yang tertinggal adalah seorang perempuan dengan kerinduan pada kehidupan normal.
Seorang perempuan yang ingin menjadi manusia biasa. Namun, jalan lurus menuju kebaikan itu, amatlah terjal. Bahkan bagi perempuan dengan cita-cita sederhana seperti Srintil. Harapan muncul ketika ia betemu Bajus. Namun jiwanya terhempas ke titik nadir yang paling bawah ketika Bajus yang demikian diharapkannya mampu membawanya ke harkat yang lebih tinggi, malah menyerahkannya ke atasannya. Srintil gila. Namun Rasus dengan segala kebesaran hatinya, bersedia mengakui Srintil sebagai (calon) istrinya. Ia bertemu kembali dengan Rasus, cinta kanak-kanaknya yang kekal, ketika kejernihan jiwanya telah pergi.
“Bulan berkalang bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.
Â
Cuthel
Jakarta Timur, 01/11/15Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H