Mohon tunggu...
Juni
Juni Mohon Tunggu... Administrasi - Administrasi

Pecinta Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sekali lagi: Ronggeng Dukuh Paruk

1 November 2015   18:01 Diperbarui: 1 November 2015   18:01 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selanjutnya kisah tentang pencarian Rasus terhadap figur ibu yang tak pernah dilihatnya, di samping cerita awal Srintil menjadi ronggeng. Ibunya, seperti juga orang tua Srintil, meninggal ketika ia masih belum bisa mengingat apapun. Ia hanya tahu dari cerita nenek dan tetangga-tetangganya bahwa ibunya mati karena keracunan tempe bongkrek. Ia mencarinya dalam sosok teman kecilnya, Srintil, tetapi Srintil menghancurkan citra ibu yang didambakannya karena menjadi ronggeng. Tak sanggup Rasus membayangkan ibunya sebagai ronggeng.

Sama tak sanggupnya membayangkan ibunya lari dengan laki-laki lain. Ia pun pergi dari kampung yang melahirkannya dengan membawa kekecewaan dan luka hati. Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk untuk kemudian menjadi tentara. Rasus juga menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, karena ia tahu Dukuh Paruk lebih membutuhkannya.

 

Dalam buku kedua “Lintang Kemukus Dini Hari” yang terdiri atas lima Bab, diceritakan bagaimana Dukuh Paruk dengan segala keluguan dan kebodohannya terseret dalam tragedi 1965. Mereka tidak pernah mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka mudah diprovokasi, dan Srintil menari dalam kemarahannya sendiri, tak pernah mengerti apa itu revolusi.

Ketika sang ronggeng di puncak kejayaannya, beribu pentas membawa Srintil ke tangga ketenaran paling atas, kemashuran. Beribu lelaki telah dipuaskannya. Kesenangan hidup dengan cepat diraihnya. Sampai suatu ketika petaka itu datanglah. Saat itu tahun 1965, tahun penuh gejolak politik, tak terkecuali di Dukuh Paruk. Memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuan orang-orang Dukuh Paruk akan segala riuh rendah gemuruh dunia politik, PKI menyebarkan propaganda di sana. Menggunakan ketenaran Srintil untuk menghimpun masa di setiap rapat akbar partai tanpa dipahami sepenuhnya oleh gadis itu.

Srintil hanya tahu bahwa ia sekadar melakukan tugasnya sebagai ronggeng. Saat pecah huru-hara G 30 S/PKI. Keadaan berbalik, PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding sebagai antek-antek komunis. Lintang kemukus berpijar di angkasa menandakan sebuah malapetaka. Mereka diburu dan ditahan tanpa pengadilan atau dibantai. Tak terkecuali Srintil.

Srintil yang waktu itu berusia duapuluh tahun akhirnya ditangkap, dianggap terlibat partai terlarang itu dan dipenjara selama dua tahun. Walhasil srintil terpenjara secara fisik dan psikis, dan roh indang terbang dari tubuhnya.
Dukuh Paruk dibakar tentara karena keterlibatannya dengan Partai Komunis. Walaupun keterlibatan Dukuh Paruk ‘hanya sebatas’ meronggeng pada saat Partai Komunis mempropagandakan program Land Reform1. Para tetua Dukuh Paruk termasuk maskotnya, Srintil, ditangkap. Dukuh Paruk kehilangan sekaligus mendapatkan ‘hadiah’. Kehilangan ronggeng yang menjadi jiwanya dan mendapat ‘hadiah’ sebuah stigma sebagai pedukuhan komunis. Pasca ’65, orang-orang Dukuh Paruk menuai buah kekerasan masa lalu, teror tak berkesudahan yang mendera hidup tanpa henti.

Keadaan yang tercipta di Dukuh Paruk pasca ’65 adalah suatu keadaan yang penuh ketakutan dan teror dalam bayang-bayang masa lalu. Nyi Kartareja (tokoh dukun ronggeng Dukuh Paruk) berusaha ‘menyembuhkan’ dirinya, menekan ketegangan yang menghantuinya dengan berusaha ‘menjual’ Srintil pada seorang mantri (sebuah usaha yang tidak berhasil). Dengan ‘harapan’ jika Srintil mau diperistri oleh si mantri, maka dia (dan Dukuh Paruk) akan sedikit aman menapaki hidup karena kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki si mantri. Kekuasaan yang kemungkinan bisa membuat Dukuh Paruk terlepas dari ‘ikatan’ stigma komunis. Karena Srintil menolak ‘dijual’ oleh Nyi Kertareja, ketakutan tetap menjadi sahabat terdekat Dukuh Paruk. Dia tunduk pada ketakutan yang diciptakan untuknya, patuh pada kuasa yang yang mengharuskannya menjadi the other dengan stigma komunis.

Seperti ketika ada petugas yang bertugas mengukur tanah pertanian yang akan dilewati oleh pembangunan bendungan. Orang Dukuh Paruk mengira petugas pengukur tanah itu adalah tentara yang akan kembali menghanguskan pedukuhan mereka. Dalam ketakutan yang mendera, mereka bertanya-tanya apa ada salah seorang dari mereka yang melakukan ‘kesalahan’? Mereka bersiap-siap menyembunyikan diri, sampai seorang kamitua menangkap kenyataan bahwasanya yang mereka pikir adalah tentara ternyata ‘hanya’ petugas pengukur tanah.

 

Dalam buku ketiga “Jantera Bianglala”, Srintil yang telah kehilangan roh indang dan telah merasakan pilunya menjadi seorang tahanan politik, berusaha memperbaiki citra dirinya, ingin menjadi wanita seutuhnya yang bermartabat. Buku ketiga ini adalah klimaks dari tragedi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun