Mohon tunggu...
Usama Juniansyah Fauzi
Usama Juniansyah Fauzi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Berpikir dan bertindak global sebagai bagian dari warga dunia...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia yang Bagaimanakah yang Sebenarnya Diinginkan?

8 Juni 2013   15:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:21 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya perkenalan dari saya. Saya sesungguhnya sudah lama bergabung dengan kompasiana tapi belum aktif menulis. Lebih kepada kepada silent reader. Membaca tulisan2 yang bagus di kanal Politik dari Om Jack Soetopo, Pakde Kartono, Prayitno Ramelan, Ira Oemar, bung Ninoy, dkk. Dengan munculnya cyber Armi PKS selama 3 bulan ini, saya juga mulai membaca tulisan2 yang bagus dari para PKS lover seperti Akh Fajar, dan Akh Astocha sambil mengabaikan para akun cloningan yg muncul cuma untuk caci maki. Mengikuti tren perang PKS ini, merangsang banyak akun jadi aktif, termasuk saya. Saya juga ingin menulis tapi saya bukan ingin ikut dalam perang PKS ini. Saya ingin bertanya kepada semua orang yang baca, kubu Nasionalis, Agamis, Materialistis, Buruh, kubu SARA, dll.

Indonesia yang bagaimanakah yang sebenarnya diinginkan?

Saya akan coba share pengalaman saya, bagaimana saya melihat Indonesia, dan berharap ada perubahan positif dari negara ini.

Perang ideologi dan berbau SARA tidak pernah berhenti di bumi Indonesia. Dan biasanya jika bersatu, itu merupakan koalisi kepentingan atau masalah materialistis. (Pendapat Pribadi, betul ga ya?). Saya coba flashback masa lalu dan pengalaman pribadi. Saya lahir dari keluarga PNS, ya keluarga yang mendapat jaminan security welfare dari Rezim Soeharto. Tidak bisa kaya memang, tapi paling tidak orang tua saya dapat mensekolahkan kami anak2nya sambil berdoa, anak2nya bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Besar dengan hirup pikuk Reformasi, Orde Reformasi muncul ketika saya lulus SD. Ingatan saya ketakutan dimana2, banyak rumah2 dan toko org Tionghoa dibakar. Kemudian melanjutkan pendidikan smp dan sma dengan berganti kurikulum terus menerus. Dan akhirnya, dengan rasa syukur dapat melanjutkan pendidikan kuliah S1 di Pulau Jawa.

Kuliah di Pulau Jawa memang berbeda dengan kuliah di tempat kampung kelahiran saya di Palembang. Di sini begitu gaduh dengan politik, khususnya di kampus saya yang jumlah beda agama, suku, maupun latar belakang campur aduk. Dimulai dengan Orientasi Kampus (Ospek), dikenalkan dengan kalimat2 yang menumbuhkan rasa bangga. Hanya disini saya juga mulai melihat, bagaimana mereka yang kaya padahal tidak saling kenal, dengan mudah menyumbangkan makanan, mobil, bahkan rumahnya. Disini saya jadi kaget, kok ada orang yg begitu kaya, padahal sama2 anak PNS. Baru sadar bahwa ada namanya daerah basah dan dinas basah. Tapi ini baru awal, ketika mereka anak yg tajir, ga dapat posisi yang penting dalam ospek, mereka mulai pelit.. hee,, standar ada maunya..Beda memang dulu waktu saya masih sekolah, jabatan2 politis, organisasi, macam OSIS maupun ketua kelas, biasanya ditunjuk guru, dan rata2 siswa juga ga mau. dan biasanya guru yang memilih yang badannya tinggi atau ganteng. Di kampuslah, saya melihat orang berebut mendapatkan perhatian demi jabatan walau cuma jabatan ketua pleton ospek.

(1) Pelajaran pertama, politik bisa menggunakan kemampuan materiil.

Pengamatan berlanjut, sungguh beruntungnya kampus saya ini beneran Indonesia, begitu banyak perbedaan latar belakang. Boleh dibilang juga saya juga mengalami bahasa kerennya shock culture. Pelajarannya selanjutnya adalah waktu pemilihan ketua angkatan untuk ospek jurusan (sebelumny ospek kampus). Ya, disini saya mulai kenal adanya lobi2 politik. Kami oleh sebagian teman2 diarahkan untuk memilih ketua yang seagama. Diadakan kumpul kecil2, dengan beberapa senior dari unit agama kami. Disini ditekankan bahwa kalau bisa calon dari agama kami (mayoritas) cuma satu dan semua memilih calon tersebut. Sebagai mahasiswa baru, kita tidak kenal begitu dalam kecuali mereka yang dahulunya satu sma. Dan akhirnya calon cuma ada dua. Berbeda agama. Selain itu ada juga sentimen Suku dalam pemilihan ini, karena calon satunya merupakan agama minoritas juga berasal dari suku yang sering orang sebutkan kasar dan preman. So, ini merupakan deal2 politik yang saya pelajari dari kampus saya, dan seperti diduga, calon dari agama saya menang. Hanya yang disayangkan, sebenarnya banyak temen baru saya yang sebenarnya bagus, malah lebih baik, hanya tidak muncul karena sudah kesepakatan bersama untuk menggolkan satu calon. Dan ini akan terbukti, setelah beberapa tahun kedepan.

(2) Disini saya belajar, bahwa dalam politik Indonesia, bukan berarti anda pintar memanage atau menjadi leader yang jadi pemimpin. Akan tetapi secerdas apa kita dalam kalkulator politik. Jika, kita berasal dari  mayoritas, maka semua menjadi lebih mudah. Walau itu tidak selalu benar, cuma banyak pengalaman saya selanjutnya menunjukkan seperti itu.

Pengalaman berharga berikutnya adalah pemilihan Ketua Himpunan di jurusan saya. Ada dua pengalaman pemilihan yang menurut saya berkesan. Pertama pemilihan ketua dengan calon satu orang, jadi suara hanya dua yaitu kepilih atau tidak. Hampir saja abstain yang menang dan selisihnya hanya sedikit. Dan saya ikut memilih, saya memilih calon tersebut karena beliau adalah asisten salah satu mata kuliah yang baik dan ga reseh seperti asisten yang lain.hee.. Kedua adalah pemilihan ketua pada masa pengurusnya harusnya angkatan saya. Sebelumnya, bisa dikatakan selama 6 bulan, himpunan saya tidak ada ketuanya, hanya ketua pelaksana saja. Ini disebabkan para senior, tidak setuju tampuk kepemimpinan diserahkan ke angkatan kami akibat rendahnya partisipasi angkatan dalam acara2 himpunan. Dan akhirnya setelah berulang2 musyawarah yang ga pernah kourum akhirnnya, sekali saja musyawarah kourum dengan memaksa teman2 untuk datang dan absen, walau ga ikut musyawarah, akhirnya kepilih juga ketua yang baru dengan jabatan 6 bulan. Ketua yang tanpa dukungan sebenarnya (tidak legitimasi), mirip dengan banyak Gubenur, Bupati kita, yang walau menang di pemilu tapi sebenarnya beliau kalah dari yang gak milih (GOLPUT). Jokowi-Ahok saja sebenarnya hampir kalah dengan Golput. Calon Ketua himpunan saya ini juga bukan merupakan calon terbaik cuma karena hanya dia saja yang mau maju. Waktu itu, organisasi sedang krisis, partisipasi sangat rendah. hal ini menurut pendapat saya akibat dendam selama ospek yang lama sekali. Alhamdulillah generasi kebawah tidak mengalamai ospek, ini disebabkan kasus kematian mahasiswa STPDN dahulu menjadi titik balik dari hilangnya ospek dari kampus kami.

(3) Pelajaran lagi yang saya petik disini adalah, jika ingin menjadi ketua, bisa juga dengan memperbanyak orang golput sehingga yang minoritas yang terpilih.

Next, adalah pemilihan ketua BEM. Selama lebih lima tahun, ketua yang terpilih adalah ketua yang mendapat restu/bagian dari organisasi dari mesjid didepan Kampus kami. Saya sebenarnya malas milih waktu itu. Karena sudah tahu siapa yang bakal kepilih dan ga akan ada perubahan. Tapi, dari 3 calon ada satu yang berbeda, yaitu doi adalah perempuan, cantik, dan jago main biola. Btw, ga pakai jilbab (buat penegasan klo doi beda). Langsung saya coblos yang ini, sambil mengajak yang lain ikut milih juga. Dan perubahan muncul, setelah lebih 5 tahun calon yang terpilih adalah dari masjid didepan kampus menjadi orang yang diluar. Selisih suara sangat tipis hanya 20-an suara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun