Mohon tunggu...
Junialdi Sabastian Fauzi
Junialdi Sabastian Fauzi Mohon Tunggu... Penjahit - ---

Wake up! You need to make money!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ling-Ling

15 Oktober 2020   23:08 Diperbarui: 15 Oktober 2020   23:20 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski bukan pertama kalinya, namun ini kali pertama aku memasuki rumah ibadah agama lain di hari ibadahnya. Setelah hampir seharian tidak beranjak dari tempat tidur, sisa akhir pekan kali ini ingin aku ajak berkeliling dengan sepeda. Belum jauh, aku menjumpai gereja yang mulai ramai didatangi jemaatnya. 

Petugas keamanan menyambut jemaat yang berdatangan dengan ramah, tidak terkecuali aku yang bukan jemaat. Dari yang berkendara hingga hanya beralas kaki, dari anak-anak hingga yang bersamanya atau tidak, semua berpakaian rapih.

Aku, mahasiswa tingkat akhir yang tengah sibuk (padahal terlalu santai) mengerjakan skripsi. Sekadar ingin mengetahui bagaimana sebuah lembaga pendidikan keagamaan menanamkan nilai-nilai agama kepada peserta didiknya yang masih sangat muda itu kemudian membentuk mereka menjadi pemimpin agama. Dalam hal ini adalah agama Katholik dengan Seminari sebagai sekolah keagamaan.

Setelah memarkir sepeda, aku berkeliling dengan langkah sedikit was-was, mungkin malah terlihat mencurigakan. Rumah ibadah yang aku datangi cukup luas dengan beberapa bangunan di dalamnya. Bagian altar nampak sudah cukup ramai, dan sepertinya peribadatan akan segera dimulai. Ketika masih memperhatikan keramaian altar, terdengar suara lembut dari samping bertanya,

"Enggak masuk, mas?"
"Enggak, mbak." Jawabku singkat sembari menoleh,
"Mbaknya kok enggak masuk?"

Berdiri seorang perempuan, dengan paras keturunan Tionghoa nampak seumuran denganku. Mata sipit dipayung alis dan bulu mata melengkung seperti pelangi yang muncul setelah hujan, padahal masih mendung. 

Rambut hitam lurus menyandar di bahu terurai di hembus angin terlihat lebih indah dari debur ombak laut di pantai. Senyum bibir tipis sedikit kering tanpa lipstik yang lebih manis ketika kedua ujungnya naik dan saling berjauhan,

"Saya sudah (ibadah) tadi pagi. Kalau gitu, saya permisi, mas." Jawab perempuan itu seraya meninggalkan obrolan.

Seakan tidak rela matahari terbenam lebih cepat, aku memutar mundur jarum jam dan menawarkan bantuan untuk beberapa sekardus barang yang sepertinya cukup merepotkan ia bawa sendirian,

"Ini mau dibawa ke mana, mbak? Biar saya bantu."

"Oh, ini mau ke..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun