Pertama, dosen/peneliti menerbitkan artikel di jurnal/prosiding/buku terindeks di Scopus, akan tetapi:
(a) tidak diakui kinerjanya oleh lembaga tempat bernaung. Akibatnya, ia tidak dapat menggunakan artikel tersebut untuk naik jabatan akademik;
(b) tidak menambah pengakuan akan kepakarannya oleh asosiasi keilmuan/profesinya.
Kedua, Lembaga donor/funder/sponsor pemberi dana hibah penelitian 'kelolosan' mendanai seorang dosen/peneliti berdasarkan riwayat publikasi Scopus (jumlah artikel terindeks dan besar angka H-index), padahal dosen/peneliti tersebut sesungguhnya tidak se-qualified itu. Akhirnya tidak ada terobosan yang dapat diharapkan dari hibah itu.Â
Hal ini karena banyak dari riwayat jurnal/prosiding/buku tempat dosen/peneliti tersebut mempublikasikan penelitiannya problematik (bermasalah) meskipun terindeks di Scopus.
Ketiga, sebuah kampus/perguruan tinggi membayarkan biaya pemrosesan/penerbitan artikel (article processing/publishing charge/APC) jurnal terindeks Scopus dari dosennya, bahkan memberikan hadiah/insentif, kepada dosen tersebut, padahal tidak memberikan nilai tambah bagi kemajuan pengetahuan karena komunitas keilmuannya tidak memberikan bobot yang baik kepada jurnal tersebut.
Keempat, Tim Penilai Angka Kredit Kementerian/Badan Riset merekomendasikan pengangkatan sebagai Guru Besar/Profesor kepada dosen/peneliti yang menggunakan artikel terindeks Scopus sebagai syarat khusus padahal jurnalnya tidak direkognisi sebagai jurnal yang baik menurut konsensus komunitas bidang ilmunya.
Kelima, seorang peneliti melakukan analisis bibliometrik dan systematic literature review tidak menyadari bahwa ia menggunakan data literatur terindeks Scopus yang masih memuat data deretan jurnal ilmiah yang diragukan kredibilitasnya, sehingga kesimpulan analisisnya pun mengandung bias yang besar.
Keenam, seorang dosen/peneliti tidak berkembang kemampuan meriset dan menulis ilmiahnya karena terbiasa mengandalkan jalur jurnal yang "mudah" (meskipun jurnal terindeks Scopus peringkat Q1), atau bahkan bersandar pada joki.
Ketujuh, Kementerian mengangkat akreditasi sebuah jurnal menjadi terakreditasi ARJUNA peringkat SINTA 1 karena jurnal tersebut terindeks Scopus. Prestise ini lalu justru "disia-siakan" oleh pengelola jurnal dengan melonggarkan tinjauan sejawat (peer review) dan mencari laba rupiah atau US Dollar sebesar-besarnya dari para calon penulis.
Kedelapan, pejabat publik menerbitkan artikel terindeks Scopus, namun ternyata jurnalnya bukanlah jurnal yang sesuai dengan topik artikelnya (topik artikel = A, topik jurnal = B), sehingga justru tidak meningkatkan, melainkan merusak, reputasi beliau.