Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Guru Besar Psikologi Sosial BINUS; Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI); Editor-in-Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Butuh Kesadaran Kritis Mengenali Jurnal Predator: Implikasi Terhadap Integritas Akademik

22 Maret 2021   10:25 Diperbarui: 22 Maret 2021   14:18 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sangat menyadari bahwa beberapa orang memandang filsafat sebagai pencarian kebenaran. Pada beragam masalah, mereka yakin, pada awalnya, bahwa terdapat beberapa pandangan. Seiring waktu, pandangan-pandangan tersebut semakin memperoleh bantahan. Ketika hal ini terjadi, pandangan yang dimaksud akan dijatuhkan dari percakapan/diskusi. Siapa pun yang mencoba untuk membawa pandangan-pandangan tersebut akan dilihat sebagai mencoba untuk menghidupkan kembali orang mati, yang tentu saja sia-sia. Hal ini bukanlah pandangan saya tentang filsafat sama sekali. Tidak ada pandangan yang benar-benar pernah terbantahkan atau mati, jika hanya karena alasan bahwa ada argumen baru dan menarik yang dapat dibangun. Dilihat dengan cara ini, egoisme etis (ethical egoism) masih hidup dan dalam kondisi baik serta harus terus dibahas dalam literatur filosofis. (Saya akan melangkah lebih jauh dari ini:  Egoisme etis akan selalu hidup dan baik (alive and well), selama ada manusia.) Agar anda tidak berpikir bahwa artikel saya ditolak karena kurang layak, saya perlu segera menyampaikan bahwa artikel saya tentang egoisme etis itu telah diterima untuk penerbitan segera oleh jurnal yang sangat baik,  Ethical Theory and Moral Practice. Penyunting jurnal itu tidak bias/bengkok seperti editor jurnal yang pertama. Mungkin Anda akan ingin membaca artikel saya untuk diri sendiri untuk menentukan apakah bias editor pertama membuatnya salah dalam menilai. Sayangnya,  artikel itu berada di balik dinding bayaran (paywall), jadi saya harap Anda memiliki akses institusional ke sana.

Saya berharap dapat mengatakan bahwa kasus di atas itu adalah satu-satunya pengalaman saya dengan editor/penyunting yang bias (bengkok), tumpul, atau menjengkelkan. Sayangnya, tidak. Setahun yang lalu, saya mengajukan artikel berjudul "Cara Mencegah Penembakan di Sekolah dan Pembunuhan Massal Lainnya" ("How to Prevent School Shootings and Other Mass Homicides") kepada sebuah jurnal filsafat yang terkemuka. Saya telah mengerjakan artikel ini selama lebih dari setahun  dan telah memolesnya ke sampai kepada status seperti permata. Saya masih menganggapnya sebagai salah satu karya terbaik yang pernah saya  tulis dalam karier saya, dan juga, secara praktis, merupakan salah satu karya saya yang paling penting. Berikut ini adalah abstrak artikel itu:

"Pembunuhan massal, di mana penembakan di sekolah adalah sebuah spesies (bagian)-nya, terlalu umum terjadi. Hal yang membuat fenomena ini menarik secara filosofis adalah bahwa hukuman biasa (usual punishments) untuk kejahatan semacam itu tidak efektif. Bagaimana kita bisa menjerakan seseorang yang berniat untuk membunuh dirinya sendiri setelah menyelesaikan sebuah pembantaian? Setelah mengklarifikasi konsep-konsep prevensi/pencegahan, penjeraan (deterrence), dan penghukuman, saya menggambarkan berbagai modus hukuman. Jika kita serius untuk mencegah pembunuhan massal, kita tidak boleh mengenyampingkan modus hukuman apa pun secara berprasangka (a  priori). Saya menyarankan beberapa hukuman, seperti penyiksaan (torture) dan pemenjaraan dengan kerja keras (imprisonment with hard labor), yang dapat menurunkan niat calon pembunuh massal. Tujuannya adalah untuk menemukan  sebuah hukuman yang ditakuti oleh calon pembunuh massal lebih daripada kematian. Saya juga merekomendasikan koreksi teisme untuk ditanamkan berulang-ulang (yaitu, kepercayaan akan dewa pembalasan) sebagai sarana untuk mencegah pembunuhan massal."

Baiklah! Artikel tersebut bertemu dengan sebuah dinding penolakan. Artikel itu ditolak beberapa kali, sering tanpa dikirim ke mitra bestari. Sungguh, saya tidak paham apa alasannya. Saya tidak pernah kesulitan menemukan outlet untuk karya-karya filosofis saya [16]. Kecurigaan saya dalam kasus ini, berdasarkan komentar tertentu yang saya terima dari editor dan peninjau, adalah bahwa Seseorang Dilarang untuk Membela (atau bahkan mengatakan apa pun yang menguntungkan) Penyiksaan (One Must Not Defend Torture). Hanya satu pandangan tentang topik itu yang, ternyata, dapat diterima, dan artikel saya adalah perlawanan yang tegas terhadap pandangan tersebut [17]. Setelah penolakan keempat atau kelima, saya menyimpulkan bahwa tidak ada jurnal "bereputasi" yang akan menerbitkan artikel saya itu. Saya akhirnya mengirimkannya ke Beijing Law Review (yang beberapa orang anggap sebagai jurnal "predator"), di mana artikel ini diterima (dan diterbitkan) segera. Kasus ini menjadi titik mula saya berpikir serius untuk memboikot jurnal "terkemuka/bereputasi". Saya memiliki sedikit toleransi untuk  kebodohan, dan tidak ada toleransi sedikit pun untuk bias (I have little tolerance for stupidity, and none whatsoever for bias), terutama dalam disiplin (filsafat) yang membanggakan identitasnya pada ketidaktakutan (fearlessness), keberanian (boldness), dan pikiran terbuka (open-mindedness).

Bukan untuk memperpanjang  topik ini, tetapi masih ada masalah lain pada penyunting/editor dan penelaah/peninjau/mitra bestari selain bias/kebengkokan. Masalah itu adalah clubbiness (yang mungkin dapat dianggap sebagai bentuk kebengkokan pribadi/personal bias). Beberapa bulan yang lalu, saya menyelesaikan sebuah artikel panjang berjudul "Kelaparan, Kemakmuran, dan Kemunafikan" ("Famine, Affluence, and Hypocrisy") di mana saya telah bekerja, secara putus-sambung (off and on), selama beberapa tahun. Berikut ini adalah abstraknya:

"Pandangan baku di kalangan para filsuf adalah bahwa kemunafikan seorang/arguer (yakni kegagalan arguer untuk mempraktikkan hal yang dikhotbahkan/diajarkannya sendiri) tidak memiliki kaitan dengan kelayakan argumennya maupun penerimaan terhadap kesimpulan argumennya. Saya menantang pandangan ini. Dengan menggunakan kasus Peter Singer, yang telah terkenal berdebat tentang kewajiban moral untuk meredakan kelaparan, tetapi yang--menurut pengakuannya sendiri--tidak hidup sesuai dengan standar yang ia ajarkan/promosikan, saya menjelaskan mengapa (dan bagaimana) masalah kemunafikan seorang/arguer itu penting (terhadap kelayakan dan penerimaan argumennya). Jika saya benar, maka pandangan baku tentang hubungan antara arguer dan argumen harus direvisi."

Mungkin saya naif,  atau bahkan narsisistik, namun saya berpikir artikel tersebut adalah terobosan (pathbreaking essay) yang akan merangsang perdebatan filosofis selama bertahun-tahun yang akan datang. Pada satu sisi, saya menantang sebuah dogma filosofis yang sudah lama berdiri (tentang tidak relevannya kualitas pribadi seseorang/arguer terhadap kelayakan atau keberterimaan argumennya). Pada sisi lain, saya menyediakan taksonomi kemunafikan yang orisinal yang tidak hanya membedakan tiga jenis kemunafikan, tetapi menggali hubungan logis antar ketiga jenis itu. Siapapun yang tidak tertarik pada Peter Singer --- contoh orang munafik yang saya sajikan--- dapat dengan mudah melewati bagian di mana saya mendokumentasikan kemunafikannya (Jika Anda bertanya-tanya, saya beritahu sekarang bahwa ia adalah seorang munafik dari ketiga jenis dalam taksonomi saya).

Saya terkejut dan kecewa dengan penyikapan (reception) terhadap artikel itu. Berkali-kali, selama banyak bulan, artikel itu ditolak, kadang-kadang dalam hitungan hari penyerahan artikel. Penolakan cepat mengatakan kepada saya bahwa artikel itu gagal melewati tinjauan awal oleh editor. Mengapa? Saya tidak bisa memastikan, namun saya percaya bahwa penolakan itu disebabkan karena saya menggunakan Peter Singer sebagai contoh orang munafik. Singer adalah sosok yang dihormati dalam filsafat, dan telah selama hampir setengah abad itu berlangsung. Saya mendokumentasikan dengan rincian yang cermat tentang kegagalan Singer untuk menghidupi standar moral yang tinggi yang ia ungkapkan dalam artikel-artikel dan buku-buku tentang peredaan kelaparan. Seperti yang saya jelaskan dalam artikel itu, saya biasanya (dulu) memberitahukan mahasiswa saya bahwa kemunafikan Singer (seperti itu) tidak relevan dengan kelayakan atau keberterimaan argumennya; tetapi sekarang saya percaya hal yang sebaliknya.  Tujuan dari  artikel ini adalah untuk menunjukkan secara persis mengapa, dan bagaimana, kemunafikan Singer berpengaruh.

Coba pikirkanlah fenomena clubbiness ini. Apakah Anda ingin menjadi seorang editor yang menerbitkan artikel di mana anggota tercinta dari klub Anda digambarkan (secara akurat) sebagai orang yang munafik? Bagaimana hal itu akan mempengaruhi  karir  Anda? Banyak pembaca jurnal ini sudah mengetahui hal ini: saya tidak memiliki kedekatan dengan sosok atau pengaruh Singer, di dalam maupun di luar disiplin filsafat. Seorang editor mungkin  berpikir bahwa artikel saya adalah sebuah artikel yang memukul (a hit peace), atau, setidaknya, bahwa artikel itu tidak peka (insensitif) atau menghina kolega/sejawat. Tapi kemunafikan Singer adalah masalah rekam jejak publik (a matter of public record). Memang, ia mengakui di banyak tempat --- selalu dengan catatan untuk mundur/keluar dari kemunafikan, dan dengan sumpah untuk melakukan hal-hal yang lebih baik --- bahwa ia gagal memenuhi standar moralnya yang tinggi. Yang saya lakukan adalah mengumpulkan ucapan-ucapannya dan menempatkannya bersama dengan fakta-fakta terkenal tentang kehidupan dan perilakunya. Saya dapat menggunakan contoh hipotetis (contoh yang diandaikan), untuk bisa lebih pasti, akan tetapi kadangkala contoh nyata membawakan kita poin-poin penting dengan cara yang tidak pernah dapat dilakukan dengan kasus yang (dapat) dibuat-buat. Sejujurnya, saya tidak dapat memikirkan contoh yang lebih baik (dan lebih terdokumentasi dengan baik) tentang orang munafik daripada Peter Singer.

Setelah beberapa penolakan artikel saya, dan dengan meningkatnya kecemasan, saya memutuskan untuk mengirimkannya ke jurnal "predator". Saya lelah  bermain dengan gim pecundang, dimana kita selalu terkalahkan (I was tired of playing a losing game) dan ingin agar artikel "terbit/keluar" dan lepas dari tangan saya. Jika Anda ingin membacanya,  kunjungi situs web jurnal Philosophy Study. Pikirkanlah tentang kelayakan artikel tersebut. Bahkan jika Anda tidak setuju dengan saya bahwa kemunafikan seorang penulis relevan dengan keberterimaan argumennya (dan jika Anda melakukannya, saya ingin mendengar dari  Anda), Anda mungkin menemukan taksonomi kemunafikan saya mencerahkan dan  berguna. Saya harus menambahkan bahwa saya mendedikasikan artikel itu untuk Peter Singer. Saya telah belajar banyak darinya selama bertahun-tahun, dan bahkan berkorespondensi dengan beliau beberapa kali pada berbagai topik (termasuk tentang peredaan kelaparan). Saya menyukai dan mengagumi Peter Singer. Saya percaya bahwa ia telah melakukan lebih banyak kebaikan untuk hewan non-manusia (non-human animals) daripada filsuf lain, baik di masa lalu maupun masa sekarang. Bagaimanapun, saya berharap bahwa ia akan berhenti berkhotbah tentang peredaan kelaparan jika ia tidak dapat mempraktikkan ihwal yang ia khotbahkan/ajarkan. Kemunafikannya, dalam penilaian saya, benar-benar membahayakan profesi filsafat. Untuk mengetahui mengapa, bacalah artikel saya itu.

Sejauh ini, saya telah berbicara tentang editor. Izinkan saya sekarang mengatakan beberapa hal tentang mitra bestari (peninjau / pengulas / penelaah / reviewers / referees). Hal yang akan saya katakan mungkin mengejutkan, tetapi kenyataannya adalah: Saya tidak pernah menerima komentar yang berguna dari mitra bestari---dalam hampir empat dekade penerbitan. Ketika artikel saya diterima, sangat sering saya diberitahu oleh editor untuk mengakomodasi saran pengulas (atau,  untuk membalas/menjawab keberatan pengulas). Saya melakukannya, tetapi hanya untuk memastikan bahwa artikel akan diterbitkan. Kadang-kadang, untuk mengatakannya secara blak-blakan, komentar pengulas itu bodoh. Karena pengalaman saya dengan komentar pengulas sangat buruk, saya bertanya-tanya apakah praktik untuk mengharuskan pengulas menyampaikan komentar dan sarannya harus dihentikan. Bukankah seharusnya peran pengulas adalah sesederhana untuk memberikan jempol ke atas (thumb's up) atau jempol ke bawah (thumb's down)? Jika pengulas memiliki komentar, bukankah seharusnya komentar-komentar itu juga dipublikasikan sebagai balasan terhadap artikel (a reply to the essay)?  Saya serius tentang hal ini. Pilihannya hanya dua: Entah artikel dapat diterbitkan apa adanya, atau artikel ditolak. Jika tidak dapat dipublikasikan, maka peninjau/mitra bestari harus merekomendasikan penolakan. Jika  dapat dipublikasikan,  maka pengulas harus mengatakan demikian dan membiarkannya diterbitkan. Hal yang saya tidak mengerti adalah pengulas mengatakan bahwa esai dapat diterbitkan, tetapi hanya jika perubahan tertentu dibuat (What I don't understand is a reviewer saying that an essay is publishable, but only if certain changes are made).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun