Uraian yang terinsipirasi kuliah Prof. Glashow di atas mengajak kita untuk mengapresiasi keragaman di sekitar dunia penelitian dan pendidikan di perguruan tinggi pada umumnya. Dengan perkataan lain, ada hal-hal yang patut kita toleransi (Seperti: Baik saja jika mahasiswa bimbingan karya ilmiah mengatakan bahwa ia 'hanya' "ingin mengetahui hubungan antara variabel X dan Y" dan memiliki kemampuan mempertanggungjawabkan metode ilmiahnya, meskipun ia belum bahkan tidak dapat mengemukakan manfaat praktis dari penelitiannya itu). Tulisan rekan Kompasianer, "Ingat, Quick Count Punya 3 'Error', Jadi Hasilnya Mungkin dan Boleh Berbeda", juga memperlihatkan keragaman dalam penelitian, tetapi bukan berarti segala sesuatu menjadi relatif. Sebagai contoh, "haram" untuk tidak transparan atau menutup-nutupi proses penelitian.
Di tengah-tengah keragaman, tetap ada juga hal-hal yang tidak dapat kita toleransi. Dalam kabar dunia politik, saat menulis artikel ini, saya teringat tulisan seorang rekan Kompasianer, Rian Ernest, sebagai berikut:Â
"Sayangnya, sampai dengan akhir masa kerja, hal ini tidak terjadi. Mungkin saja Pak Anies sudah mendelegasikan mayoritas kerjanya kepada PW. Namun delegasi kerja tidak mungkin total menyerahkan semuanya kepada orang lain, tanpa hadir memberikan panduan dan arahan konkret kepada kami. Seandainya Pak Anies lebih intensif hadir dan memimpin kami, tentu produk akhir Deputi D akan lebih baik lagi.Pada titik ini, saya menyadari bahwa peranan dan keunggulan Pak Anies adalah mengajak dan menginspirasi orang untuk mau ‘turun tangan’ dan melakukan sesuatu untuk republik ini. Ini adalah peranan yang sangat penting di tengah apatisme generasi muda untuk berpolitik dan bernegara, dan peranan yang memang paling pas untuk dijalankan Pak Anies. Tetapi menjadi pemimpin dengan kemampuan manajerial yang mumpuni? Ini yang belum bisa dilihat dari Pak Anies."
Saya tidak hendak mengomentari Dr. Anies Baswedan maupun kinerjanya dalam tulisan ini. Namun, ada hal lain yang ingin saya soroti, mirip dengan situasi yang diceritakan oleh Rian Ernest di atas. Dalam persepsi tekanan dan obsesi menelurkan banyak publikasi ilmiah di kalangan dosen (misalnya, untuk menjaga keberlangsungan tunjangan Sertifikasi Dosen, atau mengejar jabatan akademik Guru Besar/Profesor), perlu diakui bahwa ada sebuah gejala subtil dalam dunia pendidikan tinggi kita yang sangat memprihatinkan. Gejala itu adalah "Gift Authorship", yaitu menempatkan nama seseorang sebagai penulis sebuah artikel padahal ia tidak mengerjakan penulisan itu (Yang mengerjakan adalah total orang lain). Hal ini sangat potensial terjadi dalam relasi kekuasaan akademis yang bersifat asimetris (misalnya, antara dosen pembimbing dengan mahasiswa bimbingannya), dan seyogianya tidak boleh kita toleransi.
Sebuah contoh kasus; seorang dosen meminta mahasiswa untuk menulis artikel berdasarkan penelitian dengan menempatkan namanya (nama dosen tersebut) dalam posisi sebagai penulis (entah sebagai penulis pertama atau penulis dalam urutan kesekian), padahal gagasan penelitian berasal dari mahasiswa yang bersangkutan dan 100% dikerjakan dan dituangkan secara verbal oleh mahasiswa tersebut. Sang dosen berkontribusi memberikan wadah, dana, alat, koneksi, organisasi, motivasi, dan sedikit komentar yang tidak banyak mendalamkan substansi penelitian atau penulisan (dan: tidak menulis juga); namun mempersuasi mahasiswa untuk menuliskan namanya sebagai Penulis (Author) dalam artikel tersebut. Ada lagi; dosen memberikan arahan tugas kuliah kepada mahasiswa berupa menulis paper, lalu artikel-artikel yang ditulis oleh mahasiswa dikompilasi menjadi sebuah buku dengan penulis tunggal: namanya sendiri!Â
Dosen membetulkan beberapa hal salah-ketik dan tata-tulis, dan nama-nama mahasiswanya diletakkan pada sebuah halaman Kata Pengantar sebagai pihak-pihak yang diucapi terima kasih. Dalam hal-hal tersebut, sesungguhnya dunia riset telah dijungkirbalikkan. Mahasiswa telah "dikorbankan" (tetapi secara halus) untuk memberikan "gift" (hadiah) kepada dosen berupa tempat "yang tidak seharusnya" dalam artikel, sebagai pengarang/penulis/author. Bukankah ini merupakan salah satu wajah "korupsi akademis" kita?
Tinjauan Smith dan Williams-Jones (2012) mengenai etika kepengarangan mengatakan bahwa kata "author" (penulis) berasal dari bahasa Perancis Kuno "auctor" yang berarti "creator, originator" (pencipta), dan harus dibedakan dari kontributor penelitian yang ditempatkan namanya dalam subjudul Acknowledgment (Ucapan Terima Kasih) dalam artikel jurnal ilmiah atau buku. Perlu disadari bahwa meskipun ragam peran dapat terlibat dalam sebuah penelitian, inspirator dan contributor bukanlah author, dan etika kepengarangan hendaknya tetap dijaga.
Kesimpulan
Keragaman dalam penelitian, dan dunia pendidikan tinggi pada umumnya, penting diperhatikan sampai dengan kegiatan-kegiatannya yang paling halus. Kuliah umum dari Nobel Laureate, Prof. Sheldon Lee Glashow memberikan fondasi yang kokoh kepada kita guna mencegah "hegemoni akademis tak terlihat" yang justru bertentangan dengan semangat sains dan keragaman yang didengung-dengungkan sendiri oleh pendidikan tinggi.Â
Apresiasi terhadap keragaman tidak perlu membuat kita melupakan sifat etis dari tindakan kita selama berproses dalam penyelidikan ilmiah. Kita menolak praktik yang tidak etis; hal ini bukanlah intoleransi, melainkan demi menjaga kesejahteraan insan ilmiah dan publik dari dampak korupsi akademik.
Referensi