Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Guru Besar Psikologi Sosial BINUS; Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI); Editor-in-Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajaran dari Nobel Laureate tentang Keragaman dalam Penelitian

16 Februari 2017   17:27 Diperbarui: 17 Februari 2017   05:37 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manfaat yang teraba dari sebuah penemuan atas sebuah riset yang benar mungkin mengambil masa hingga puluhan, bahkan ratusan tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya kebutuhan, perang, dan missing technology (seperti tampak dalam Gambar 1, yang disajikan Prof. Glashow). Dalam konteks tertentu, anjuran bahwa penelitian mesti punya manfaat, bahkan bermanfaat sesegeranya (setelah riset selesai), mungkin benar. 

Namun dalam konteks yang lain, boleh jadi menjadi tidak benar. Tidak bijak untuk pukul rata. Manfaat dari penelitian karya seorang peneliti bisa juga ditemukan atau disimpulkan oleh orang lain, tidak mesti oleh penelitinya sendiri. Rasa ingin tahu dari peneliti itu sendiri (apalagi yang kemudian terjawab) sudah merupakan sebuah kemajuan tersendiri dalam sains. Tentu saja hal semacam ini sangat "challenging" bagi mindset yang terbiasa untuk bertanya, "Penelitian ini, apa manfaatnya?" (misalnya, pada kita para pembimbing karya ilmiah akhir mahasiswa) karena menganggap "Sains kok untuk sains lagi?". Padahal aggapan tersebut tidak bisa diverifikasi sepenuhnya hari ini, karena yang hari ini tampaknya hanya untuk diri Sains Sendiri ternyata bisa punya Dampak Sosial di kemudian hari bahkan secara berkelanjutan & akumulatif.

Gambar 1: Rentang Waktu dari Penemuan ke Perangkat (sumber: Dokumentasi Potret Penulis terhadap Materi Presentasi Prof. Glashow)
Gambar 1: Rentang Waktu dari Penemuan ke Perangkat (sumber: Dokumentasi Potret Penulis terhadap Materi Presentasi Prof. Glashow)
Inspirasi Keragaman

Nobel laureate sungguh menginspirasi saya mengenai diversitas. Bahwa menghargai keragaman dalam penelitian ilmiah dan sains itu sangat mendasar maknanya. Melalui slide presentasinya yang lain (Gambar 2), keragaman kembali ditekankan. Prof. Glashow memberikan pesan agar kita tidak menyepelekan sesuatu yang "aksidental" dalam perkembangan sains/keilmuan. [Kata aksidental malah saya taruh dalam tanda petik karena dalam masyarakat Indonesia yang dikenal religius, orang banyak bilang: Tidak ada hal yang kebetulan (Hanya tampaknya kebetulan)]. 

Kalimat beliau yang penting menyangkut Sejarah Ilmu, "Some technological advances, such as X-Rays and Pelicillin, arose from research that was unplanned and not directed toward any specific goal .... Others, like Streptomycin and Nuclear Weapons, resulted from carefully planned and specificially targeted research. The History of Science proves both methods to be essential." Jadi, riset yang disengaja maupun riset yang tak terencana bisa sama baiknya. Sejak awal beliau pun sudah menyampaikan bahwa ada lebih dari satu jalan untuk sampai pada dan melakukan riset (Gambar 3: perhatikan kata "well-defined goals" dan "more fun" di bawah ini). Yang penting tidak membatasi diri.

Gambar 2: Penemuan dapat Diniatkan atau Kebetulan (sumber: Dokumentasi Potret Penulis terhadap Materi Presentasi Prof. Glashow)
Gambar 2: Penemuan dapat Diniatkan atau Kebetulan (sumber: Dokumentasi Potret Penulis terhadap Materi Presentasi Prof. Glashow)
Hikmah Keragaman yang saya petik dari Prof. Glashow mungkin bukan barang baru. Sudah sejak zaman kuno, telah dimaklumi adanya jenis-jenis pengetahuan yang berbeda meskipun saling terkait, yaitu epistêmê (teori atau pengetahuan ilmiah murni), empeiria (praktik berdasarkan pengalaman), technê (perkakas, craft, art, termasuk pelatihan/training, pengobatan/terapi, legislasi, dll), serta phronêsis (kebijaksanaan praktis) (Bacaan lebih lanjut, lihat: Parry, 2014). Bahkan ada filsuf yang mengatakan bahwa tingkat tertinggi pencarian pengetahuan adalah epistêmê, bukan technê. Transformasi dari epistêmê menjadi technê sangat mungkin (lihat lagi Gambar 1), tetapi---sekali lagi---tidak perlu dijadikan orientasi, arahan mutlak, atau kewajiban untuk setiap penelitian. Seorang peneliti boleh memilih sampai di mana kontribusinya, kecuali ia terikat suatu perjanjian yang dibuatnya dengan sadar. 

Masih terkait dengan spirit diversitas, dalam bidang ilmu yang saya geluti, Psikologi sendiri mengakui posisinya ilmu tentang proses mental dan perilaku dengan sekumpulan paradigma/asumsi/pendekatan/filsafat/cara berpikir yang dengan demokratisnya hidup berdampingan. Memang benar, bahwa mazhab teori sosial kritis menyampaikan amanat kepada kita bahwa pengetahuan hendaknya bersifat emansipatoris, bertindak mengubah masyarakat, dan dikontribusikan sebagai nilai guna (utilitas) kepada masyarakat seluas-luasnya. Akan tetapi, kita juga perlu waspada untuk tidak terjebak pada "utilitarianisme", khususnya pada dimensi kelemahan/kekurangannya. Prinsip utilitarian, "mengusahakan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang," memang telah menjadi pegangan untuk proyek-proyek pembangunan di Dunia Ketiga (Sudiarja, 2006, halaman 44), tetapi juga bukannya tanpa risiko mengorbankan hal atau pihak yang minoritas atau bahkan nilai kemanusiaan itu sendiri (dalam contoh paling awal dari tulisan ini: Prioritas relevansi sosial mengalahkan, mengorbankan rasa ingin tahu individu).

Gambar 3: Dua Pendekatan ke Penyelidikan (sumber: Dokumentasi Potret Penulis terhadap Materi Presentasi Prof. Glashow)
Gambar 3: Dua Pendekatan ke Penyelidikan (sumber: Dokumentasi Potret Penulis terhadap Materi Presentasi Prof. Glashow)
Ketika berbicara tentang keragaman, seringkali yang kita ingat adalah persoalan identitas, konflik, dan kekerasan sosial. Padahal, dalam dunia pendidikan sendiri---khususnya yang sedang saya bicarakan: pendidikan tinggi---banyak persoalan sehari-hari terkait keragaman yang mesti diurus. Sebagai contoh, di samping persoalan yang saya kemukakan di atas, ada lagi soal-soal, sebagai berikut: Pertama, Prof. C. W. Watson dari Institut Teknologi Bandung memiliki kesan bahwa Kementerian Ristekdikti telah "menganaktirikan pengajaran" serta mengutamakan penelitian dan penulisan jurnal internasional demi mengangkat Indonesia agar masuk dalam peringkat 100 besar universitas berkelas dunia (tanggapan saya ada di sini). Seolah-olah Tridarma Perguruan Tinggi direduksi menjadi Penelitian dan "menafikan" keragaman darma yang lain, yakni Pengajaran dan Pengabdian Kepada Masyarakat. 

Kedua, Dr. Dasapta E. Irawan, juga dari Institut Teknologi Bandung, mengkritik kebijakan pendidikan yang menekankan "output artikel jurnal" dan yang mengandalkan "sejumlah kecil indeks ilmiah" (Scopus, ISI Thomson/Web of Science) bahkan mengadvokasi "penerbit besar". Bahwa kebijakan yang kita miliki kurang menghargai keragaman proses dan keragaman luaran penelitian. 

Sebagai contoh, Dr. Irawan mengangkat tentang "post publication peer review" (telaah rekan sejawat pasca publikasi) sebagai salah satu ragam kemungkinan untuk menjaga kualitas terbitan ilmiah, sebagai alternatif dari "pre publication peer review" yang telah kita kenal dan gunakan selama ini. Beliau juga menambahkan bahwa untuk mengukur dampak sebuah artikel, kita tidak sepatutnya menggantungkan diri pada Impact Factor Jurnal dalam mana artikel ilmiah itu berada/diterbitkan. Dengan perkataan lain, beliau menawarkan "penafsiran yang lain" bahwa impak publikasi bukanlah metrik formal yang dikeluarkan lembaga-lembaga tertentu atas majalah/berkala ilmiah, melainkan: seberapa banyak artikel dibaca serta disitasi (cited, dikutip) oleh masyarakat. Jadi, ada beragam cara untuk menilai reputasi seorang akademikus, bukan?

Tetap Etis di tengah Keragaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun