Mohon tunggu...
Ahmad Junaedi
Ahmad Junaedi Mohon Tunggu... penyunting naskah -

seorang pecinta sejarah NKRI, sastra Arab, selalu antusias dengan segala hal yang berbau sejarah (kecuali perdukunan) dan pelintas dimensi kultur kuno hingga modern

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gili Labak, Gili di Selat Madura yang Bikin Mata Terbelalak

31 Januari 2017   15:50 Diperbarui: 31 Januari 2017   19:49 2807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumenep merupakan kabupaten yang berada paling timur di Pulau Madura. Kota ini, meski berpenduduk tak lebih dari 1,1 juta jiwa, tetapi memiliki daya tarik wisata yang kuat. Magnet pariwisata yang ada di Sumenep memang lebih didominasi oleh wisata perairan dan gugusan pulau yang tersebar di seantero timur Pulau Madura, seperti Pulau Gili Raja, Gili Iyang, Pulau Sapeken, Karaton Sumenep dengan Labeng Mesem-nya, Pulau Kangean, Pulau Raas, dan tentu saja, surga indah yang satu ini, Gili Labak.

Jumat 27 Januari 2017 lalu, saya dan saudara-saudara sepupu berkesempatan berwisata ke Gili Labak. Pulau yang berada di timur jauh dari dermaga Kalianget ini memang rupawan, eksotik, dan mengundang decak kagum bagi siapapun yang menginjakkan kedua kakinya di atas hamparan pasir putihnya yang bersih.

Perjalanan wisata kami awali dari Surabaya sekitar pukul sepuluh malam. Jalan raya Surabaya menuju Jembatan Suramadu terbasahi rinai-rinai hujan. Sebab baru saja, hujan deras mengguyur kota kami. Aroma tanah basah menguar, hinggap, dan menusuk di sela-sela rongga hidung. Hawa dingin pun menyeruak, menelusup sekujur tubuh kami.

Kami menikmati perjalanan malam yang dingin dengan canda tawa, gurauan, dan sesekali membicarakan tentang spot wisata yang akan kami jujuki nanti, yaitu Gili Labak.

Mobil yang kami tumpangi melaju cukup cepat. Tak banyak kendaraan yang melintasi jalan provinsi Bangkalan-Sumenep yang beraspal mulus itu. Melainkan hanya beberapa gelintir saja yang berlalu lalang. Hingga tak terasa angka dua belas lewat seperempat telah tertera di penunjuk waktu ponsel. Tak berselang lama, gerbang kota Sampang pun kami lewati di awal waktu dini hari itu. Bersamaan dengan itu, kami putuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah masjid yang berada di Sampang kota, tak jauh dari sebuah pasar tradisional.

Dua puluh menit berlalu, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Dua kota lagi, kami akan tiba di sana. Ya, di sana, di Kalianget Sumenep yang merupakan titik awal kepergian kami berlayar mengarungi lautan, pun melewati hadangan gulungan ombak.

Sampang malam itu yang menjadi titik awal jeda kami, terlihat sepi. Senyap. Bahkan ada sebuah sudut dalam kota yang benar-benar dirayapi suasana lengang, tak terbilang. Namun, saat kami memintasi pasar perkotaan, geliat orang-orang tampak telah menyibukkan diri mempersiapkan dagangan mereka, membuka lapak barang, ataupun menurunkan berkilo-berkilo sayur-mayur dari atas bak mobil pikap. Kesibukan yang memecah keheningan kota, di pagi buta itu.

Jalan raya yang menjadi trek perjalanan kami, merupakan jalur selatan dan langsung terhubung antara Bangkalan hingga Sumenep di belahan timur sana. Sejauh mata memandang, hanya kegelapan malam nan kelam yang tampak, lalu seketika tersibak sorot-sorot nyala lampu mobil kami, hingga sekian detik kemudian kembali menjadi gulita seperti mula.

Perjalanan malam yang menyenangkan!

Kota Sampang telah kami lalui. Kota ketiga dalam perjalanan malam kami, yaitu Pamekasan. Di kota ini, rute jalan sebenarnya tak ada beda dengan dua kota sebelumnya. Jalanan beraspal mulus dengan kanan kiri berupa permukiman penduduk, dengan areal hutan maupun perkebunan milik warga terhampar. Menyusuri jalanan Pamekasan, juga disuguhi view pantai Selat Madura. Sayangnya, malam yang gelap, benar-benar menghalangi arah pandang kami kesana.

Pukul dua dini hari…

Mobil yang kami tumpangi mulai memasuki gerbang Kota Sumenep. Dari arah kota, kami meneruskannya hingga Dermaga Kalianget. Di sana, sudah ada Mas Soni yang sudah menunggu kedatangan kami semua. Mas Soni adalah seorang juru atur perjalanan wisata kami ke Gili Labak. Dialah yang mengatur segala keperluan kami selama berwisata. Mulai menentukan waktu keberangkatan penyeberangan kami menuju pulau terumbu karang itu, hingga menyediakan perangkat pengaman bagi kami, seperti pelampung air. Setiba di Kalianget, kami langsung disambut ramah oleh Mas Soni, lalu diajak ke rumahnya untuk sejenak melepas peluh. Kami bisa menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk beristirahat hingga pagi hari, jelang berangkat mengarungi Selat Madura menuju spot Gili Labak.

Azan subuh bertalu pukul empat pagi. Hawa dingin masih merayapi setiap tubuh kami bersembilan. Seketika Mas Soni membangunkan kami semua. Dia meminta kami bersiap-siap diri jelang berangkat ke Gili Labak. Menurutnya, kondisi cuaca saat itu sedang tidak baik. Dia mengkhawatirkan bila keberangkatan kami berlangsung hingga pukul tujuh, bahkan lebih, maka akan ada ombak besar yang bisa membahayakan keselamatan kami di lautan. Tak pelak, kami mau tak mau harus mematuhi arahannya.

Yeeaah..persiapan akhir sebelum berangkat. Dua bocah terlihat girang begitu tahu perahu motor sudah menanti di bawah.
Yeeaah..persiapan akhir sebelum berangkat. Dua bocah terlihat girang begitu tahu perahu motor sudah menanti di bawah.
Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, kami pun lekas-lekas menuruni bukit kecil berbatu yang berada di belakang rumah Mas Soni, menuju perahu motor yang sedang bersauh. Di sana sudah ada dua orang kru kapal yang sedang menunggu kami. Mereka berdua adalah anak buah Mas Soni yang bertugas mengemudikan perahu motor dan mengantarkan keberangkatan kami ke pulau berpasir putih nan indah itu. Perahu motor yang kami naiki tak hanya membawa rombongan kami saja. Di sana, juga ada sekelompok, mungkin sekitar enam orang, anak muda lain yang bertujuan sama. Pukul lima pagi lewat sepuluh menit, mesin kapal meraung-raung. Keheningan yang sesaat sebelumnya terasa, pecah seketika. Dua orang kru melepas jangkar yang tertambat di dasar air, lalu menariknya dan ditaruhnya di atas geladak kapal, tepat berada di bagian paling atas di antara tumpukan tali-tali tambang. Wajah-wajah periang di atas perahu bermunculan. Harapan ingin segera menikmati alam yang terhampar di Gili Labak, membuncah ruah. Tak tertahankan.

Ternyata apa yang dikatakan Mas Soni tentang kondisi cuaca yang sedang tidak baik, memang benar adanya. Selama perjalanan laut, perahu motor berkali-kali terombang-ambing ombak laut. Sejak lepas sauh hingga perairan bagian tengah, perahu seperti sedang menahan amarah laut. Angin kencang di pagi hari yang mendung itu menyergap kami semua. Atap perahu yang berbahan terpal pun, harus menahan kuat-kuat terpaan kencangnya. Belum lagi suara hantaman ombak ke lambung perahu, yang benar-benar terdengar keras. Gulungan ombak pun kian deras menghempas. Tak ayal, perahu motor tumpangan kami acapkali oleng ke kanan, maupun ke kiri. Baru kali ini saya, terutama, naik perahu motor dengan jarak cukup jauh, dengan iringan cuaca yang tidak mendukung. Walhasil, rasa takut menyergap tiba-tiba. Terlebih perjalanan yang kami tempuh butuh waktu yang tak singkat; dua jam. Doa-doa kami panjatkan, sebisa kami masing-masing. Semua demi meraih keselamatan dan kenyamanan saat berlayar.

Sebuah Bagan Tancap, alat penangkap nelayan tradisional, yang berdiri kokoh di antara puluhan alat serupa di sepanjang jalur berlayar kami menuju Gili Labak.
Sebuah Bagan Tancap, alat penangkap nelayan tradisional, yang berdiri kokoh di antara puluhan alat serupa di sepanjang jalur berlayar kami menuju Gili Labak.

Setelah sekian lama bersabar menghadapi gemuruh ombak, tibalah kami semua di pulau dengan hamparan padang yang berpasir putih bersih. Gili Labak. 

***

Sejauh pandangan mata, hanya terlihat perairan, tidak lagi tampak daratan Madura, meski hanya berupa siluet tipis.
Sejauh pandangan mata, hanya terlihat perairan, tidak lagi tampak daratan Madura, meski hanya berupa siluet tipis.
Gili Labak memang hanya sebuah pulau kecil di perairan Selat Madura. Dari kejauhan, pulau ini menghadirkan rasa kagum. Sejauh mata memandang, Gili Labak bagai sebuah benda besar yang mengapung-apung di lautan lepas. Di bagian bawah, ada garis putih memanjang mengitari sekujur tubuhnya yang tampak mungil tersebut. Itulah padang luas yang berpasir putih nan indah.

Dua orang bocah ini, selalu terlihat senang bermain-main dengan air.
Dua orang bocah ini, selalu terlihat senang bermain-main dengan air.
Setiba di sana, hal pertama yang kami lakukan, yaitu berfoto-foto sebentar. Ada banyak titik yang bisa dijadikan jujukan obyek fotografi. Titik paling riuh untuk bahan berfoto selfie, yaitu di bawah plakat tulisan “Gili Labak”, pada sebuah kayu berlukis warna, yang disusun secara berkait menjadi tiga buah menggunakan tali tampar dan saling terikat pada dua buah pohon. Saat kami tiba, waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Menit ke sepuluh. Tak lebih, dan tak kurang. Langit di atas pun masih menyembunyikan pendaran mentarinya yang hangat.

Sarapan dulu...
Sarapan dulu...
Usai berfoto, kami melanjutkannya dengan menikmati sarapan pagi. Selain ransum makanan yang telah kami bawa, di sana kami juga membeli sarapan. Sepiring nasi bercampur mie goreng instan, ditambah telur ceplok sebagai sajian pelengkap, sudah cukup mengenyangkan perut. Untuk memupus dahaga, sajian Degan segar dengan pangkasan di bagian sabut, lalu dihidangkan secara langsung, semakin memanjakan kami bersembilan orang ini. Harga kedua menu tersebut berbilang sama, yaitu sepuluh ribu.

Wisatawan yang berkunjung sepagi itu, masihlah sepi. Namun, beberapa jam kemudian, Gili Labak menjelma bak sebuah magnet besar, menarik kuat-kuat banyak orang untuk mendatanginya. Sebab meskipun kulihat ombak di tengah laut sedang “mengamuk”, tetap saja banyak perahu motor yang bersedia mengantarkan para penikmat wisata pantai itu mendatangi pulau yang berpenduduk tak lebih dari 35 kepala keluarga.

img-20170131-083523-5890425cab927314079f24d6.jpg
img-20170131-083523-5890425cab927314079f24d6.jpg
Senangnya rame-rame...
Senangnya rame-rame...
Di Gili Labak, kami bisa bersenang-senang; dengan air pantainya yang bening hingga apapun yang ada di dasarnya, terlihat jelas. Kumpulan terumbu karang, ikan-ikan yang berwarna-warni, dan bintang laut yang menggemaskan. Kami pun bisa menikmati kesenangan itu bersama keluarga tercinta. Itu memang pengalaman luar biasa. Selain bermain air pantai bersama keluarga, di sana kami bisa pula berayun kaki mengelilingi pulau yang masih perawan tersebut. Gugusan pasir yang berwarna putih bersih, benar-benar memanjakan kami.

Bintang laut yang masih hidup, terdampar di padang berpasir putih nan bersih.
Bintang laut yang masih hidup, terdampar di padang berpasir putih nan bersih.
Di Gili Labak, tak lebih dari seratus orang warga yang mendiaminya. Sepanjang yang kami amati, memang terdapat permukiman penduduk. Beberapa di antaranya, dilengkapi pula dengan antena parabola yang dialiri arus listrik melalui sebuah piranti panel surya yang terpasang pada hampir rumah-rumah penduduk. Tak hanya berfungsi sebagai penghantar listrik bagi parabola. Alat tersebut juga berfungsi sebagai tenaga listrik untuk penerangan terutama saat malam hari. Maklum saja, di sana belum ada aliran listrik yang bisa mengakomodasi kebutuhan sehari-hari penduduknya.
Panel surya terpasang di atas genting salah satu rumah penduduk
Panel surya terpasang di atas genting salah satu rumah penduduk
sebuah antena parabola, berdiri kokoh di depan sebuah rumah.
sebuah antena parabola, berdiri kokoh di depan sebuah rumah.
Seorang penduduk terlihat sibuk mengolah lahan jagungnya.
Seorang penduduk terlihat sibuk mengolah lahan jagungnya.
Balai-balai bambu yang juga difungsikan untuk tempat bersantai wisatawan, sekaligus tempat alat melaut nelayan setempat ditempatkan.
Balai-balai bambu yang juga difungsikan untuk tempat bersantai wisatawan, sekaligus tempat alat melaut nelayan setempat ditempatkan.
Ladang jagung milik penduduk setempat
Ladang jagung milik penduduk setempat
Sehari-hari, penduduk Gili Labak bekerja di sektor nelayan. Hasil tangkapan melaut mereka jual pada pengepul yang biasa datang ke sana. Selain ikan, tentu saja ada rajungan sebagai hasil olah tangkap lautnya. Dalam sehari, enam hingga lima belas kilogram rajungan berhasil mereka tangkap. Sebagai alat tangkap, mereka menggunakan perangkap rajungan yang bernama bubu. Meski pekerjaan mereka sebagai pelaut, di beberapa tanah tegalan milik penduduk juga tertanami jagung, maupun buncis.

Gili Labak memang memesona. Daya tariknya mampu membuat puluhan bahkan ratusan pasang mata yang kesana, untuk tak tahan ingin memotret segala penjuru tempatnya. Surga di timur Madura itu kini menjelma sebagai ikon wisata Madura. Bukan hanya bukit kapur Jeddih dengan danau air birunya di Bangkalan, bukan pula Pantai Slopeng dan Pantai Lombang di Sumenep utara, atau air terjun Toroan di Ketapang, Sampang. Gili Labak dengan segala potensi wisatanya, diharapkan bisa menjadi pemberdaya ekonomi penduduk sekitar, utamanya bagi mereka yang bekerja sebagai penyewa perahu motor yang bisa digunakan sebagai moda transportasi wisatawan menuju ke sana.

dscn4653baru-58904ecf4f7a617532cafee9.jpg
dscn4653baru-58904ecf4f7a617532cafee9.jpg
dscn4668baru-58904f85109773d106fa4638.jpg
dscn4668baru-58904f85109773d106fa4638.jpg
Pukul setengah sebelas, kami meninggalkan pulau kecil nan indah itu, sesuai saran juru kemudi perahu motor kami. Seperti halnya saat berangkat, kepulangan kami menuju Kalianget juga disambut gulungan ombak-ombak cukup tinggi. Angin kencang tetap tak mau berhenti, barang sejenak saja. Atap terpal perahu motor mengibas-ibas keras, terpontang-panting oleh angin yang sedang memuntahkan “amarah”-nya. Suasana sedikit mencekam menghampiri kami, saat awan mendung hitam berarak pelan tepat di atas perahu kami. Bayangan hujan deras di tengah ombak air laut dalam, bergelayut dalam benak kami. Tetapi, untung saja, tak ada gemuruh petir, ataupun sambaran kilat yang bisa mengagetkan kami semua. Guncangan ombak yang kian kuat telah membunuh ketenangan kami selama berlayar kembali menuju dermaga. Benar-benar pengalaman yang susah dilupakan. Tetapi, pengalaman berperjalanan seperti itu, memang mengasyikkan, adrenalin menjadi teruji, dan mental berlayar pada kondisi cuaca demikian bisa terlatih.
dscn4674baru-58904d77f37a618507f1d96c.jpg
dscn4674baru-58904d77f37a618507f1d96c.jpg
Keping-keping kenangan tentang keindahan Gili Labak, bertebaran dan menyesaki ruang ingat. Datang tiba-tiba. Dan rupanya, sekarang pun masih enggan untuk beranjak keluar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun