Sumenep merupakan kabupaten yang berada paling timur di Pulau Madura. Kota ini, meski berpenduduk tak lebih dari 1,1 juta jiwa, tetapi memiliki daya tarik wisata yang kuat. Magnet pariwisata yang ada di Sumenep memang lebih didominasi oleh wisata perairan dan gugusan pulau yang tersebar di seantero timur Pulau Madura, seperti Pulau Gili Raja, Gili Iyang, Pulau Sapeken, Karaton Sumenep dengan Labeng Mesem-nya, Pulau Kangean, Pulau Raas, dan tentu saja, surga indah yang satu ini, Gili Labak.
Jumat 27 Januari 2017 lalu, saya dan saudara-saudara sepupu berkesempatan berwisata ke Gili Labak. Pulau yang berada di timur jauh dari dermaga Kalianget ini memang rupawan, eksotik, dan mengundang decak kagum bagi siapapun yang menginjakkan kedua kakinya di atas hamparan pasir putihnya yang bersih.
Perjalanan wisata kami awali dari Surabaya sekitar pukul sepuluh malam. Jalan raya Surabaya menuju Jembatan Suramadu terbasahi rinai-rinai hujan. Sebab baru saja, hujan deras mengguyur kota kami. Aroma tanah basah menguar, hinggap, dan menusuk di sela-sela rongga hidung. Hawa dingin pun menyeruak, menelusup sekujur tubuh kami.
Kami menikmati perjalanan malam yang dingin dengan canda tawa, gurauan, dan sesekali membicarakan tentang spot wisata yang akan kami jujuki nanti, yaitu Gili Labak.
Mobil yang kami tumpangi melaju cukup cepat. Tak banyak kendaraan yang melintasi jalan provinsi Bangkalan-Sumenep yang beraspal mulus itu. Melainkan hanya beberapa gelintir saja yang berlalu lalang. Hingga tak terasa angka dua belas lewat seperempat telah tertera di penunjuk waktu ponsel. Tak berselang lama, gerbang kota Sampang pun kami lewati di awal waktu dini hari itu. Bersamaan dengan itu, kami putuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah masjid yang berada di Sampang kota, tak jauh dari sebuah pasar tradisional.
Dua puluh menit berlalu, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Dua kota lagi, kami akan tiba di sana. Ya, di sana, di Kalianget Sumenep yang merupakan titik awal kepergian kami berlayar mengarungi lautan, pun melewati hadangan gulungan ombak.
Sampang malam itu yang menjadi titik awal jeda kami, terlihat sepi. Senyap. Bahkan ada sebuah sudut dalam kota yang benar-benar dirayapi suasana lengang, tak terbilang. Namun, saat kami memintasi pasar perkotaan, geliat orang-orang tampak telah menyibukkan diri mempersiapkan dagangan mereka, membuka lapak barang, ataupun menurunkan berkilo-berkilo sayur-mayur dari atas bak mobil pikap. Kesibukan yang memecah keheningan kota, di pagi buta itu.
Jalan raya yang menjadi trek perjalanan kami, merupakan jalur selatan dan langsung terhubung antara Bangkalan hingga Sumenep di belahan timur sana. Sejauh mata memandang, hanya kegelapan malam nan kelam yang tampak, lalu seketika tersibak sorot-sorot nyala lampu mobil kami, hingga sekian detik kemudian kembali menjadi gulita seperti mula.
Perjalanan malam yang menyenangkan!
Kota Sampang telah kami lalui. Kota ketiga dalam perjalanan malam kami, yaitu Pamekasan. Di kota ini, rute jalan sebenarnya tak ada beda dengan dua kota sebelumnya. Jalanan beraspal mulus dengan kanan kiri berupa permukiman penduduk, dengan areal hutan maupun perkebunan milik warga terhampar. Menyusuri jalanan Pamekasan, juga disuguhi view pantai Selat Madura. Sayangnya, malam yang gelap, benar-benar menghalangi arah pandang kami kesana.
Pukul dua dini hari…
Mobil yang kami tumpangi mulai memasuki gerbang Kota Sumenep. Dari arah kota, kami meneruskannya hingga Dermaga Kalianget. Di sana, sudah ada Mas Soni yang sudah menunggu kedatangan kami semua. Mas Soni adalah seorang juru atur perjalanan wisata kami ke Gili Labak. Dialah yang mengatur segala keperluan kami selama berwisata. Mulai menentukan waktu keberangkatan penyeberangan kami menuju pulau terumbu karang itu, hingga menyediakan perangkat pengaman bagi kami, seperti pelampung air. Setiba di Kalianget, kami langsung disambut ramah oleh Mas Soni, lalu diajak ke rumahnya untuk sejenak melepas peluh. Kami bisa menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk beristirahat hingga pagi hari, jelang berangkat mengarungi Selat Madura menuju spot Gili Labak.
Azan subuh bertalu pukul empat pagi. Hawa dingin masih merayapi setiap tubuh kami bersembilan. Seketika Mas Soni membangunkan kami semua. Dia meminta kami bersiap-siap diri jelang berangkat ke Gili Labak. Menurutnya, kondisi cuaca saat itu sedang tidak baik. Dia mengkhawatirkan bila keberangkatan kami berlangsung hingga pukul tujuh, bahkan lebih, maka akan ada ombak besar yang bisa membahayakan keselamatan kami di lautan. Tak pelak, kami mau tak mau harus mematuhi arahannya.
Ternyata apa yang dikatakan Mas Soni tentang kondisi cuaca yang sedang tidak baik, memang benar adanya. Selama perjalanan laut, perahu motor berkali-kali terombang-ambing ombak laut. Sejak lepas sauh hingga perairan bagian tengah, perahu seperti sedang menahan amarah laut. Angin kencang di pagi hari yang mendung itu menyergap kami semua. Atap perahu yang berbahan terpal pun, harus menahan kuat-kuat terpaan kencangnya. Belum lagi suara hantaman ombak ke lambung perahu, yang benar-benar terdengar keras. Gulungan ombak pun kian deras menghempas. Tak ayal, perahu motor tumpangan kami acapkali oleng ke kanan, maupun ke kiri. Baru kali ini saya, terutama, naik perahu motor dengan jarak cukup jauh, dengan iringan cuaca yang tidak mendukung. Walhasil, rasa takut menyergap tiba-tiba. Terlebih perjalanan yang kami tempuh butuh waktu yang tak singkat; dua jam. Doa-doa kami panjatkan, sebisa kami masing-masing. Semua demi meraih keselamatan dan kenyamanan saat berlayar.
Setelah sekian lama bersabar menghadapi gemuruh ombak, tibalah kami semua di pulau dengan hamparan padang yang berpasir putih bersih. Gili Labak.
***
Wisatawan yang berkunjung sepagi itu, masihlah sepi. Namun, beberapa jam kemudian, Gili Labak menjelma bak sebuah magnet besar, menarik kuat-kuat banyak orang untuk mendatanginya. Sebab meskipun kulihat ombak di tengah laut sedang “mengamuk”, tetap saja banyak perahu motor yang bersedia mengantarkan para penikmat wisata pantai itu mendatangi pulau yang berpenduduk tak lebih dari 35 kepala keluarga.
Gili Labak memang memesona. Daya tariknya mampu membuat puluhan bahkan ratusan pasang mata yang kesana, untuk tak tahan ingin memotret segala penjuru tempatnya. Surga di timur Madura itu kini menjelma sebagai ikon wisata Madura. Bukan hanya bukit kapur Jeddih dengan danau air birunya di Bangkalan, bukan pula Pantai Slopeng dan Pantai Lombang di Sumenep utara, atau air terjun Toroan di Ketapang, Sampang. Gili Labak dengan segala potensi wisatanya, diharapkan bisa menjadi pemberdaya ekonomi penduduk sekitar, utamanya bagi mereka yang bekerja sebagai penyewa perahu motor yang bisa digunakan sebagai moda transportasi wisatawan menuju ke sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H