Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bitcoin dan Fungsi Sebuah Mata Uang

1 Januari 2018   19:24 Diperbarui: 12 Mei 2022   22:38 9582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://economictimes.indiatimes.com

Hal yang paling sulit dipenuhi oleh bitcoin dalam fungsinya sebagai satuan hitung adalah kuotasi bitcoin untuk berbagai barang yang dilakukan dalam angka desimal panjang, bahkan lebih dari lima angka desimal. Misalnya, membeli baju seharga 0,000789 BTC (satuan bitcoin), lalu celana seharga 0,000567 BTC, ditambah minuman seharga 0,000453 BTC. Bayangkan bagaimana menghitungnya saat membayar. Saya rasa tidak ada mata uang di dunia yang perhitungannya sesulit itu.

Ketiga, sebagai alat penyimpan nilai (store of value). Saat sebuah mata uang berfungsi sebagai penyimpan nilai, pemiliknya tentu memiliki harapan bahwa mata uang yang dipegangnya dapat diperoleh dengan mudah dan dapat ditukarkan untuk barang atau jasa di masa depan sesuai kebutuhannya. Nilai ekonomis barang atau jasa yang dibeli di masa depan diharapkan sama dengan uang yang digunakan atau disimpan saat ini.

Sepanjang sejarah, memperlakukan uang sebagai penyimpan nilai secara esensial adalah juga melindunginya dari pencuri, baik dengan menyimpan secara fisik di rumah ataupun di bank. Bitcoin tidak bisa disimpan di brankas atau bank, karena bentuknya bukan fisik. Untuk menyimpan bitcoin, kita menggunakan "digital wallets" atau dompet digital. Namun aspek keamanan dari digital wallet tersebut saat ini menjadi sebuah perdebatan dan masih menjadi sebuah kesulitan besar dalam industri bitcoin. Apabila orang kehilangan dompet elektronik tersebut, termasuk lupa password dan kunci elektronik untuk masuk dompet, maka ia akan kehilangan bitcoinnya. Ini risiko besar dan kerap dialami oleh para pengguna Bitcoin.

Kesulitan lain dari bitcoin sebagai alat untuk penyimpan nilai adalah volatilitasnya yang sangat tinggi. Sulit melakukan mitigasi risiko dari nilai bitcoin yang bergerak secara volatile dan drastis. Dengan kondisi tersebut, kita tidak bisa melakukan lindung nilai (hedging) atas bitcoin sehingga risikonya menjadi semakin besar. Bandingkan volatilitas bitcoin, rata-rata dalam setahun bisa mencapai 300%. Angka ini jauh lebih besar dari rata-rata mata uang di dunia, sekitar 7% hingga 12%. Emas, yang volatilitasnya sekitar 20%. Ataupun Saham yang berkisar di 20-30%, walaupun untuk beberapa saham yang berisiko bisa mencapai 100%. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa memegang bitcoin, bahkan dalam jangka pendek, mengandung risiko yang tinggi, yang mana hal ini inkonsisten dengan sifat uang yang berfungsi sebagai penyimpan nilai.

Dari analisis di atas dapat terlihat bahwa Bitcoin, menurut Yarmeck (2016), masih belum dapat memenuhi kriteria sebagai uang karena memiliki kekurangan-kekurangan sebagaimana di atas. Umumnya orang saat ini memegang bitcoin bukan digunakan sebagai alat pembayaran, melainkan lebih kepada investasi spekulatif (speculative investment).Bitcoin juga semakin sulit diterima karena terputus dengan sistem pembayaran dan perbankan di banyak negara, karena sebagian besar otoritas di dunia melarangnya untuk digunakan sebagai alat pembayaran. 

Respon dari Regulator

Menyikapi munculnya bitcoin, regulator di berbagai negara memiliki sikap beragam. Mulai dari yang terbuka, setengah mengontrol, mengontrol, hingga melarang. Namun dari semua regulator di dunia, ada satu sikap yang sama, yaitu bahwa mereka tidak ada yang mengakui bitcoin sebagai mata uang yang sah (legal tender). Jadi di negara manapun tidak ada yang menganggap bitcoin sebagai mata uang resmi. Pihak otoritas di berbagai negara juga menaruh perhatian pada penggunaan bitcoin sebagai sarana korupsi, pencucian uang, dan pendanaan terorisme. Untuk itu pihak Gugus Tugas Aksi Keuangan Internasional atau Financial Action Task Force(FATF) telah mengeluarkan berbagai rambu dan peringatan bagi pelaku keuangan terkait dengan penggunaan bitcoin. Terkait fungsinya sebagai investasi spekulatif, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap investasi spekulatif, secara khusus menegaskan bahwa bitcoin tidak memiliki ijin investasi. Artinya risiko dari investasi di bitcoin menjadi tanggungjawab pemilik bitcoin.

Bank Indonesia juga telah berulangkali mengingatkan masyarakat tentang risiko dari bitcoin. Melalui Peraturan BI No 18/40/2016 tentang pemrosesan transaksi pembayaran, BI kembali menegaskan dan melarang para penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk memproses transaksinya dengan menggunakan mata uang virtual, cryprocurrency (tentunya termasuk bitcoin). Dengan demikian, para pemilik mata uang crypto tidak memiliki akses di sistem pembayaran untuk dapat menggunakannya dalam transaksi. Larangan ini dipertegas dalam Peraturan BI No 19/15/2017 tentang Teknologi Finansial yang melarang pelaku Fintech di Indonesia menggunakan mata uang virtual dalam model bisnisnya. Pelarangan mata uang virtual ini tentunya juga tercakup dalam UU Mata Uang dan Peraturan BI mengenai Kewajiban Penggunaan Rupiah, yang menyebutkan bahwa transaksi di NKRI wajib menggunakan mata yang Rupiah.

Sebagai regulator, pada prinsipnya Bank Indonesia sangat terbuka terhadap berbagai inovasi di bidang teknologi finansial. Namun di sisi lain, Bank Indonesia juga perlu yakin bahwa inovasi teknologi tetap memerhatikan stabilitas makroekonomi secara keseluruhan, perlindungan konsumen, dan mitigasi risiko. Ketiga hal tersebut menjadi perhatian utama dari regulator di berbagai negara, termasuk Indonesia. Oleh karenanya, inovasi semacam cryptocurrency saat ini dilarang penggunaannya di sektor pembayaran, tentunya dengan alasan tersebut di atas. Stabilitas, perlindungan konsumen, dan mitigasi risiko, menjadi perhatian utama.

Namun BI tetap terbuka pada perkembangan teknologi di bidang finansial lainnya. Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur BI tentang Regulatory Sandbox yang dikeluarkan di akhir 2017, BI membuka diri bagi berbagai inovasi yang memberi manfaat, dapat diterapkan secara nasional, inovatif, dan mampu membantu menyelesaikan masalah-masalah nasional (seperti mengatasi masalah unbanked population yang masih tinggi). Di sinilah BI, mulai awal 2018, mengimplementasikan beroperasinya sebuah ruang uji coba yang dinamakan "Regulatory Sandbox". Jadi, kalau ada inovasi baru dari pelaku tekfin, BI bersama-sama dengan pelaku tersebut akan melakukan uji coba di ruang terbatas. Kalau dulu, regulator bersikap "wait and see" dalam melihat perubahan. Sekarang, dengan regulatory sandbox, regulator memilih sikap "test and learn". Bersama-sama dengan pelaku dan pihak lainnya menguji dan melakukan eksperimen terhadap perkembangan inovasi teknologi di bidang finansial. Ini paradigma baru regulator menyikapi zaman digital.

Regulator di banyak negara juga mulai melirik pada teknologi yang digunakan oleh bitcoin, yaitu Blockchain. Ini berbeda dengan bitcoin. Kalau diibaratkan bitcoin itu lokomotif, maka blockchain adalah relnya. Di atas blockchain dapat diletakkan berbagai cryptocurrency, ataupun pengembangan lainnya di luar sistem pembayaran, seperti untuk perdagangan, pertanian, ekspor impor, kesehatan, hingga berbagai kontrak jual beli. Masa depan teknologi, banyak yang mengatakan, adalah Blockchain. Chris Skinner (2015), seorang pengamat fintech, mengatakan bahwa dunia akan bergeser dari "internet of things", menjadi "internet of value". Apapun yang memiliki value, dapat dimasukkan dan dikembangkan ke dalam jaringan Blockchain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun