Tapi kemudian kita bertanya, masih adakah optimisme pada masa depan ekonomi Indonesia? Tentu saja sikap optimis atau pesimis adalah pilihan. Presiden Jokowi bercerita bahwa kalau dibandingkan dengan negara sekelas lainnya, seperti Turki, Afrika Selatan, Brasil, dan Rusia, selayaknya kita harus optimis, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih yang paling tinggi di antara negara-negara tersebut. Bahkan beberapa negara itu tumbuh negatif.
Bicara soal pasar bebas, Presiden sempat menyampaikan bahwa dari beberapa kali pertemuan di luar negeri, para pemimpin negara asing justru “takut” dengan potensi ekonomi Indonesia ke depan. Bila pasar dibuka, maka tenaga kerja ahli Indonesia akan menguasai mereka, termasuk produk-produk Indonesia. Kalau negara lain “takut” dengan kita, mengapa di dalam negeri kita malah lebih takut dan pesimis.
Saya melihat respon kebijakan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan struktural yang selama ini menggayuti ekonomi Indonesia sudah cukup baik. Kebijakan Pemerintah, hingga tujuh paket, berusaha menyelesaikan masalah mendasar seperti percepatan pembangunan infrastruktur, perluasan kesempatan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Namun tentu, implementasi dan realitanya masih ditunggu di lapangan. Rakyat akan semakin percaya, apabila semua proyek tersebut bisa terwujud nyata. Dan itu, membutuhkan waktu.
Sebenarnya kita sudah bisa melihat terjadinya respon positif dalam jangka pendek ini. Kita melihat mulai berbaliknya trend pertumbuhan ekonomi Triwulan III-2015 ke arah yang lebih positif, menjadi 4,73 persen dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,67 persen. Apabila trend ini dapat berlanjut ke triwulan IV-2015 dan tahun 2016, kita akan menyaksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat. Indeks Keyakinan Konsumen di bulan November 2015 juga mulai naik di level optimis.
Pertumbuhan yang membaik didukung oleh optimisme pelaku pasar, diharapkan dapat membuka lapangan kerja, meningkatkan daya beli, daya saing, dan semakin memperkuat optimisme. Pada gilirannya, dunia perbankan dan keuangan, akan berjalan seiring mendukung pertumbuhan ekonomi.
[caption caption="Suasana santai dan akrab antara Presiden dan Blogger Kompasiana / photo koleksi kantor presiden"]
Di sisi kebijakan moneter, banyak pendapat mengenai suku bunga. Namun kita perlu memandang hal ini secara berhati-hati karena risiko di perekonomian kita masih tinggi, baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal. Pada prinsipnya kebijakan moneter harus mampu menyeimbangkan stabilitas dan pertumbuhan. Tidak ada dikotomi di antara keduanya, karena tak mungkin ada pertumbuhan tanpa stabilitas.
Oleh karenanya, kita perlu melihat respon yang ditempuh BI adalah mulai melonggarkan likuiditas melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer. Dari sisi operasional, selain menggunakan suku bunga, GWM Primer adalah salah satu instrumen moneter yang lazim digunakan bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter. GWM adalah jumlah simpanan minimum perbankan yang wajib disimpan di bank sentral. Besarannya ditentukan berdasarkan rasio terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank. Apabila GWM diturunkan, akan terjadi penambahan dana atau likuiditas di sektor perbankan. Tambahan likuiditas tersebut diharapkan dapat memengaruhi suku bunga bank maupun kapasitas bank dalam menyalurkan kredit.
Bank Sentral Tiongkok atau People’s Bank of China (PBoC) merupakan contoh bank sentral yang secara aktif menggunakan kombinasi GWM dan suku bunga dalam kebijakan moneternya. Untuk mendorong perekonomiannya, PBoC dalam tahun 2015 bahkan telah menurunkan rasio GWM sebanyak empat kali.
Kombinasi paket kebijakan pemerintah dan langkah pelonggaran likuditas oleh BI adalah awal yang baik dalam membentuk optimisme pelaku pasar. Namun kita semua menyadari bahwa kebijakan ekonomi, sebagaimana ilmu sosial lainnya, selalu memiliki pemaknaan ganda (double hermeneutics) dalam setiap langkahnya. Satu pendapat, belum tentu dimaknai sama oleh yang menerima, apalagi di era media sosial saat ini. Hal itu berarti, rangkaian kebijakan yang ditempuh, seruan berulang-ulang untuk membangkitkan optimisme, tidak secara otomatis begitu saja mengikis pesimisme masyarakat.
Kita membutuhkan langkah nyata yang terlihat di lapangan sehingga lingkaran pesimisme dapat kita potong bersama. Kita juga berharap kekisruhan politik yang terjadi dapat diminimalisir agar tidak mendistorsi persepsi publik terhadap berjalannya pemerintahan.