Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jokowi, Blogger, dan Ajakan Optimisme

13 Desember 2015   21:41 Diperbarui: 15 Desember 2015   02:15 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Suasana saat dialog saya dengan Presiden Jokowi di Istana Negara / Photo Koleksi Kantor Staf Presiden"][/caption]Dalam kesempatan makan siang bersama Presiden Jokowi di Istana Negara bersama 100 orang Kompasianer pekan lalu (12/12), saya mendapat kesempatan pertama untuk memberikan komentar ke Presiden. Pertanyaan saya hanya satu, di tengah pesatnya media sosial, termasuk lahirnya istilah "lovers" dan "haters", apa harapan Pak Jokowi dari para blogger? Dan bagaimana blogger bisa berkontribusi bagi pembangunan Indonesia.

Pak Jokowi kemudian menanggapi pertanyaan ini secara serius, karena beliau memahami betul kekuatan dari media sosial saat ini. Di era digital, opini publik kini bukan hanya dibangun oleh narasumber maupun media massa. Presiden Jokowi mengatakan bahwa justru media sosial yang ia rasakan begitu kuat membentuk opini.

Presiden menyadari bahwa sebagian isi media sosial ada yang berisi fitnah dan pemutarbalikan fakta, tapi juga tidak sedikit tulisan netizen yang mampu memberi rasa optimisme, integritas, kejujuran dan menumbuhkan etos kerja. Jokowi mengaku sering dikejutkan dengan sudut pandang dan ide netizen. Secara rutin ia membaca tulisan-tulisan blogger Kompasiana. Bahkan ia berjanji mengajak dua orang Kompasianer secara bergiliran dalam kunjungan kerja ke daerah menggunakan pesawat Kepresidenan.

Dari pembicaraan di siang hari itu, kita melihat bahwa Presiden Jokowi menganggap para blogger dan netizens sebagai elemen penting dalam membantu mengatasi berbagai permasalahan bangsa ini. Kita melihat bahwa semua itu tidak mudah dan tidak bisa instan. Dalam diskusi siang itu, mulai dari isu buruh migran, gesekan antar agama di beberapa daerah, pelayanan publik, hingga yang menyangkut politik dan ekonomi, semuanya disampaikan para blogger, dan menuntut penyelesaian segera.

Lalu di mana posisi blogger dalam menyikapi berbagai perkembangan itu? Saya memandang bahwa blogger memiliki posisi sangat penting dalam kondisi negara saat ini. Tulisan netizens kerap dijadikan referensi, rujukan, bahkan daya rengkuh yang lebih luas dari berita media mainstream. Padahal isinya beraneka ragam dan belum tentu dikonfirmasi kebenarannya. Tapi itulah kenyataannya. Link tulisan ini bisa direpost dan kirim ke berbagai grup digital. 

Sebagai seorang yang memiliki latar belakang ekonomi, tentu saya memandang masalah bangsa ini secara dominan dari sudut pandang perekonomian. Dari beberapa kali pertemuan, baik pada forum mengajar, mengisi seminar, hingga diskusi-diskusi di lapangan, saya memang melihat adanya aura pesimisme dari pelaku ekonomi Indonesia. 

Memang harus kita akui bahwa satu hal yang belum tampak signifikan dari pelaku ekonomi Indonesia saat ini adalah sikap optimis. Hal ini bisa dipahami, karena hampir semua indikator makroekonomi tidak berada di pihak kita. Saat ini, ekonomi dunia masih lesu, pertumbuhan domestik masih lemah, ekspor kita turun, nilai tukar Rupiah mengalami tekanan.

Namun kita perlu menyadari bahwa pesimisme itu kemudian membawa kita pada jebakan lingkaran yang tak berujung. Sikap pesimis tadi justru memicu terwujudnya keyakinan diri (self fulfilling prophecy). Bila pelaku ekonomi pesimis dalam memandang masa depan, ia akan menunda investasi dan belanjanya, kegiatan usaha dikurangi, aktivitas konsumsi turun, penghasilan berkurang, daya beli rendah, dan seterusnya. Pada akhirnya masyarakat menjadi semakin pesimis dan membawa kita pada kerugian yang lebih besar.

Dari hasil survei Bank Indonesia (BI), memang terlihat bahwa indeks keyakinan konsumen sempat turun di bawah level optimis. Indeks Keyakinan Konsumen pada Oktober 2015 sebesar 99,3 poin, lebih rendah dari posisi awal tahun sebesar 122 poin. Sementara Indeks Keyakinan Konsumen terhadap kondisi ekonomi juga turun menjadi sebesar 88 poin, dibandingkan awal tahun sebesar 110 poin.

Pesimisme ini muncul juga dipengaruhi oleh perkembangan di sisi global, dunia masih gamang menunggu langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk menaikkan suku bunga kebijakannya (Fed Fund Rate). Sementara ekonomi Tiongkok terus melemah, yang berdampak pada ekonomi negara-negara mitra dagang Tiongkok, termasuk Indonesia.

Di sisi domestik, kita masih menghadapi permasalahan struktural. Kinerja ekspor yang menurun telah berdampak pada terus defisitnya neraca transaksi berjalan sejak akhir 2011. Hal tersebut menyebabkan ekonomi Indonesia masih tumbuh lambat. Apabila dilihat secara geografis, perlambatan signifikan terlihat pada hampir seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera, yang dipicu oleh turunnya harga komoditas serta bencana asap.

Tapi kemudian kita bertanya, masih adakah optimisme pada masa depan ekonomi Indonesia? Tentu saja sikap optimis atau pesimis adalah pilihan. Presiden Jokowi bercerita bahwa kalau dibandingkan dengan negara sekelas lainnya, seperti Turki, Afrika Selatan, Brasil, dan Rusia, selayaknya kita harus optimis, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih yang paling tinggi di antara negara-negara tersebut. Bahkan beberapa negara itu tumbuh negatif.

Bicara soal pasar bebas, Presiden sempat menyampaikan bahwa dari beberapa kali pertemuan di luar negeri, para pemimpin negara asing justru “takut” dengan potensi ekonomi Indonesia ke depan. Bila pasar dibuka, maka tenaga kerja ahli Indonesia akan menguasai mereka, termasuk produk-produk Indonesia. Kalau negara lain “takut” dengan kita, mengapa di dalam negeri kita malah lebih takut dan pesimis.

Saya melihat respon kebijakan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan struktural yang selama ini menggayuti ekonomi Indonesia sudah cukup baik. Kebijakan Pemerintah, hingga tujuh paket, berusaha menyelesaikan masalah mendasar seperti percepatan pembangunan infrastruktur, perluasan kesempatan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Namun tentu, implementasi dan realitanya masih ditunggu di lapangan. Rakyat akan semakin percaya, apabila semua proyek tersebut bisa terwujud nyata. Dan itu, membutuhkan waktu.

Sebenarnya kita sudah bisa melihat terjadinya respon positif dalam jangka pendek ini. Kita melihat mulai berbaliknya trend pertumbuhan ekonomi Triwulan III-2015 ke arah yang lebih positif, menjadi 4,73 persen dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,67 persen. Apabila trend ini dapat berlanjut ke triwulan IV-2015 dan tahun 2016, kita akan menyaksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat. Indeks Keyakinan Konsumen di bulan November 2015 juga mulai naik di level optimis.

Pertumbuhan yang membaik didukung oleh optimisme pelaku pasar, diharapkan dapat membuka lapangan kerja, meningkatkan daya beli, daya saing, dan semakin memperkuat optimisme. Pada gilirannya, dunia perbankan dan keuangan, akan berjalan seiring mendukung pertumbuhan ekonomi.

[caption caption="Suasana santai dan akrab antara Presiden dan Blogger Kompasiana / photo koleksi kantor presiden"]

[/caption]

Di sisi kebijakan moneter, banyak pendapat mengenai suku bunga. Namun kita perlu memandang hal ini secara berhati-hati karena risiko di perekonomian kita masih tinggi, baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal. Pada prinsipnya kebijakan moneter harus mampu menyeimbangkan stabilitas dan pertumbuhan. Tidak ada dikotomi di antara keduanya, karena tak mungkin ada pertumbuhan tanpa stabilitas.

Oleh karenanya, kita perlu melihat respon yang ditempuh BI adalah mulai melonggarkan likuiditas melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer. Dari sisi operasional, selain menggunakan suku bunga, GWM Primer adalah salah satu instrumen moneter yang lazim digunakan bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter. GWM adalah jumlah simpanan minimum perbankan yang wajib disimpan di bank sentral. Besarannya ditentukan berdasarkan rasio terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank. Apabila GWM diturunkan, akan terjadi penambahan dana atau likuiditas di sektor perbankan. Tambahan likuiditas tersebut diharapkan dapat memengaruhi suku bunga bank maupun kapasitas bank dalam menyalurkan kredit.

Bank Sentral Tiongkok atau People’s Bank of China (PBoC) merupakan contoh bank sentral yang secara aktif menggunakan kombinasi GWM dan suku bunga dalam kebijakan moneternya. Untuk mendorong perekonomiannya, PBoC dalam tahun 2015 bahkan telah menurunkan rasio GWM sebanyak empat kali.

Kombinasi paket kebijakan pemerintah dan langkah pelonggaran likuditas oleh BI adalah awal yang baik dalam membentuk optimisme pelaku pasar. Namun kita semua menyadari bahwa kebijakan ekonomi, sebagaimana ilmu sosial lainnya, selalu memiliki pemaknaan ganda (double hermeneutics) dalam setiap langkahnya. Satu pendapat, belum tentu dimaknai sama oleh yang menerima, apalagi di era media sosial saat ini. Hal itu berarti, rangkaian kebijakan yang ditempuh, seruan berulang-ulang untuk membangkitkan optimisme, tidak secara otomatis begitu saja mengikis pesimisme masyarakat.

Kita membutuhkan langkah nyata yang terlihat di lapangan sehingga lingkaran pesimisme dapat kita potong bersama. Kita juga berharap kekisruhan politik yang terjadi dapat diminimalisir agar tidak mendistorsi persepsi publik terhadap berjalannya pemerintahan.

Dan pada ujungnya, para blogger dapat berperan sebagai penyeimbang pemikiran. Selain memberi masukan, apabila ada yang perlu dikritik, hal terpenting adalah bersama-sama menghembuskan optimisme. Indonesia adalah negara besar dan kaya, sehingga tidak layak, dan tidak pantas, untuk menjadi miskin atau terbelakang. Salam Optimis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun