Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kado Terindah Sebelum Meninggal Dunia

29 November 2017   10:01 Diperbarui: 29 November 2017   10:20 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pekerjaan saya menuntut saya hidup terpisah dengan istri dan anak-anak saya. Jika saya berkesempatan stay dirumah, seperti biasa setelah membangunkan anak-untuk sholat subuh, Bunda memulai dengan rutinitas masak dan menyiapkan sarapan buat anak-anak. Saya langsung menuju mesin cuci dengan setumpuk pakaian kotor kami sekeluarga. 

Istri saya memulai aktifitasnya dari setengah empat pagi untuk bertahajjud, kemudian lanjut shalat subuh, seselesainya bergegas untuk merendam pakaian. Selepas subuh anak sulung saya berbelanja ke Pasar, sepulangnya Bunda langsung eksekusi memasak sarapan dan bekal untuk anak-anak. Selesai memasak dilanjutkan dengan menyetrika baju. Karena bisa dibilang keluarga besar (dengan banyak anggota), istri saya melakukan rutinitas mencuci dan setrika rutin setiap hari untuk menghindari pekerjaan yang terlalu menumpuk. 

Bunda memiliki kebiasaan yang cukup unik, untuk menyetrika baju ia butuh waktu yang terbilang sangat lama. Selain semuanya disetrika (termasuk underwear, serbet dan sebagainya), hasil setrikaannya juga super licin dan harum, terutama khusus kemeja saya, dan baju-baju seragam anak. Iseng saya pernah bertanya "lama banget selesainya?".  Jawaban selalu tergiang hingga sekarang. "Pak, saya lama menyetrika pakaian kerja Bapak dan anak-anak disamping biar licin dan rapi, selama prosesnya saya sembari berdoa, semoga pakaian yang kalian pakai membuat nyaman dalam bekerja maupun belajar. Untuk Bapak supaya dimudahkan dalam menghadapi hari kerja yang berat, serta rejeki halal yang berkah, dan untuk anak-anak supaya ilmu yang diajarkan para guru mereka mudah diterima. Masya Allah... spontan terucap dalam hati.

Kami pasangan suami istri dengan latar belakang suku dan budaya yang berbeda. Saya dari suku Sumbawa Nusa Tenggara Barat sementara Bunda dari Jawa Tengah, tepatnya Jepara. Simfoni dua latar belakang budaya yang berbeda membuat keluarga kami sangat dinamis. Dalam hal-hal prinsip Bunda sangat taat pada suami, dalam hal yang berkaitan dengan pendidikan dan me-manage ekonomi kerumah-tanggaan saya pasrahkan sepenuhnya kepada Bunda.

Saya terbilang laki-laki yang polos. Tidak pernah sekalipun membuka amplop gaji dari sejak pertama menikah hingga almarhumah meninggal. Bahkan ketika gaji saya berbasis ATM beliaulah yang memegang dan mengelolanya. Sebagai konsultan dan motivator  yang seringkali mendapatkan tambahan penghasilan, sepulang dari acara, perolehan insentif yang saya dapat langsung saya serahkan. Keluarga kami punya tradisi unidistribusi keuangan baik yang sifatnya rutin maupun insidentil.  

Saya dan istri tidak pernah menyembunyikan dompet kami. Bebas saja kami letakkan di sudut-sudut ruang keluarga. Anak-anak bebas mengambil uang untuk kebutuhan sekolah dengan catatan ada bukti. Untuk uang jajan, anak-anak saya terbiasa membawa bekal dan minum dari rumah. Ibunya sedari kecil memberi doktrin positif kepada mereka bahwa bawa bekal olahan dari rumah jauh lebih baik dan higienis daripada jajan diluar. Disamping itu, Bunda juga selalu up to date untuk belajar memasak masakan kekinian (seperti; pasta, macaroni schotel, dan macam-macam cake) supaya anak tidak minder membawa bekal dari rumah, secara yang mereka bawa tidak kalah dengan menu-menu di restoran.

Bunda lulusan Diploma II jurusan Bahasa Indonesia. Sampai dengan kelahiran anak ketiga masih mengabdi sebagai guru  di sebuah SMP swasta di daerah Jepara. Kami berkomitmen setelah anak ketiga lahir, Bunda harus full dirumah mengabdi sebagai ibu rumah tangga. Komitmen tersebut ia laksanakan dengan tulus dan sangat baik oleh beliau.

Seiring perjalanan waktu, anak-anak memasuki usia sekolah. Selepas anak sulung dan anak kedua kami lulus SD, kami sepakat memasukkan mereka ke Pondok Pesantren di daerah Solo, Jawa Tengah. Keyakinan kami sederhana, anak-anak harus belajar agama sebelum akil baligh (dewasa). Alhamdulillah mereka lulus sebagai santri/santriwati dengan nilai yang tidak mengecewakan.

 Untuk tingkat SLTA pilihan kami jatuh di SMA Muhammadiyah di Kota Yogyakarta. Alhamdulillah, terpisah dari orang tua sejak lulus SD tidak menghalangi mereka untuk berprestasi baik dan hidup mandiri tanpa menyusahkan orang tua. Tidak ada black record selama mereka sekolah terpisah dari kami.

Ketika putri pertama kami memasuki bangku kuliah, cukup mengejutkan karena ia memilih Seni sebagai pilihan. Peran bunda yang sedari kecil telah melihat bakat dan kemampuan putrinya tidak menolak ketika anak kami memilih kuliah Desain Grafis di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Bakat seni yang entah turun dari siapa menghantarkan dia lulus diploma tiga tepat waktu. Tadinya kami sebagai orang tua agak pesimis dengan pilihannya. Namun yang menarik, di tahun kedua sudah mandiri dan mampu membayar kebutuhan kuliahnya sendiri hasil dari sebagai freelancer graphic designer. 

Alhamdulillah D-3 nya lulus tepat waktu bahkan setelah lulus masih diberi kepercayaan oleh kampus untuk memberikan pelatihan di bidang ilustrasi. Setelah lulus sempat istirahat sembari bekerja dan berkarya selama satu tahun. Selanjutnya melanjutkan S1 di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Solo untuk mengambil jurusan Komunikasi. Pertimbangannya, jurusan tersebut masih linier dengan bidang yang ia kuasai sebelumnya. Ketika D3 dia merasa sudah cukup belajar teknis, kemudian pada S1 dia dapat belajar "how to sell" yang didapat melalui materi public relation dan advertising yang diampu dalam jurusan Komunikasi.

Putra kami nomor dua adalah anak mama, dia sangat dekat dengan Ibunya. Sifatnya  penurut dan memiliki jiwa pendidik yang kental. Mengikuti saran Ibunya untuk masuk ke perguruan tinggi negeri yang berbasis pendidikan di kota Yogyakarta. Ia berhasil lulus S1 dengan predikat sarajan pendidikan dengan IPK yang baik. Singkat cerita Bunda hanya sempat menghadiri wisuda D3 si sulung. Untuk wisuda S1 anak kedua dan si sulung sudah tidak sempat.

Putri kami yang ketiga selepas SD oleh Ibunya diminta  masuk SMP Swasta Muhammadiyah di Kota Yogyakarta (tidak di pesantren seperti kedua kakak sebelumnya). Setelah diputuskan putri ketiga menyusuk kakak-kakanya di Yogyakarta, bunda memutuskan untuk ikut hijrah ke Yogyakarta agar bisa berkumpul sekeluarga (tidak termasuk saya, karena pekerjaan saya masih harus di luar kota). 

Bunda pikir alangkah baiknya jika berkumpul lagi sekeluarga. Kenapa putri ketiga tidak dimasukkan pesantren? Pada saat itu pertimbangan bunda sederhana; dia akan saya didik menjadi wanita rumahan, sebagai calon ibu rumah tangga yang baik. Mengingat anak sulungnya, perempuan namun tapi tidak hobi dengan pekerjaan rumah, lebih senang menghabiskan waktu bekerja dan berkarya dengan kemampuannya di bidang desain grafis. 

Sepeninggal Bunda, hikmahnya baru terasa, putri yang ketiga inilah yang me-manage rumah tangga dan merawat saya dengan lika-liku penyakit saya hingga sekarang. Sekarang ia kuliah jurusan Psikologi di kota Kudus dengan pertimbangan dekat dengan saya, bisa merawat saya dan adiknya yang baru  kelas satu SMA. Setiap hari ia rela pulang-pergi selama 2 jam dari kampus ke rumah. Berangkat pagi setelah berbelanja ke pasar dan memasak, pulang maghrib dan masih menjalankan kewajiban rumah yang belum terselesaikan. Alhamdulillah, Allah menganugerahi saya anak-anak yang baik dan mengabdi pada orang tuanya.

Yang agak merepotkan Bunda adalah putra kami yang keempat. Lahir dan sempat tumbuh dalam kondisi autis dan memiliki perilaku dan tindakan super aktif yang pada saat itu kakaknya selisih dua tahun (masih playgroup saat itu), dan adiknya masih bayi. Hal tersebut membuat Ibunya sangat kewalahan. Solusinya kami merekrut dua orang asisten rumah tangga yang membantu mengurusi segala pekerjaan rumah. Bunda sempat khawatir dan was-was dengan perkembangannya. 

Kami mencoba berikhtiar dengan membawa dan berkonsultasi dengan psikolog. Jawabannya melegakan, si anak bisa disembuhkan dengan catatan otak kiriya harus terus dirangsang agar tumbuh berimbang dengan otak kanannya. Guna mengaktifkan otak kirinya, Ibunya selalu fokus melatih komunikasi dan memutuskan untuk mengikutkan si anak ikut les sempoa. Setelah itu lanjut didaftarkan ke pre-school yang berbasis Matematika (I-Math) di Ciputat Jakarta. 

Mengkuti I-Math selama 2 tahun alhamdulillah hasilnya memuaskan, anaknya jadi lebih terkedali, cepat merespon materi, bahkan tahu-tahu sudah bisa membaca dan menulis tanpa kami ajarkan sebelumnya. Dampak positif lainnya, ia jadi siswa yang tergolong pintar di sekolah. Hobi membacanya begitua kuat. Anaknya selalu curious dengan segala sesuatu. Hal yang paling disenangi adalah sejarah. Baginya mudah sekali mengingat tahun peristiwa dan nama-nama tokoh secara detail. 

Kemampuannya dalam bidang matematika juga sangat baik, terbukti ia mendapat nilai sempurna 100 pada mata pelajaran Matematika ujian nasional tingkat SMP kemarin. Selepas SD, ia mengikuti tradisi dua kakak sebelumnya, nyantri selama 3 tahun di sebuah Pondok Pesantren di Yogyakarta. Alhamdulillah ujian akhir dilewati dengan prestasi diatas rata-rata. 

Atas prestasinya yang baik, dia mampu masuk SMA terbaik di Kota Jepara. Sebelum meninggal, Bunda menitipkan pesan khusus pada saya agar putranya ini dididik dengan sabar dan diarahkan supaya bisa kuliah di ITB atau UGM. Feeling Ibunya dia Insya Allah dia mampu. Semoga.

Putra kelima kami sekarang kelas dua SMP di Pondok Pesantren Yogyakarta yang sama dengan kakanya nomor empat. 2 bulan menjelang Ibunya meninggal selalu berwasiat (dan seringkali diucapkan) hingga satu minggu menjelang meninggal agar si bontot disekolahkan di pondok pesantren. Wasiat, amanah dan pesan almarhumah menyemangati saya berjuang untuk menyekolahkan anak-anak menjadi tonggak saya untuk selalu bekerja keras dan tidak menyerah pada keadaan sakit saya.

Kini, dua orang anak saya sudah lulus S1 dan sudah mandiri. Si sulung sudah menikah dan tinggal di Palembang ikut suaminya. Mereka berdua berwirausaha dalam bisnis clothing store dan studio desain grafis. Sedangkan anak kedua kami sekarang sedang meniti karirnya dalam bidang perbankan di Ibukota.

Teruntuk Bunda, istirahatlah dengan tenang disisi-Nya. Pesan, harapan, dan amanahmu akan Bapak perjuangkan. Tunggu kami disurga. Amin ya Rabbal'alamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun