Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kado Terindah Sebelum Meninggal Dunia

29 November 2017   10:01 Diperbarui: 29 November 2017   10:20 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Putra kami nomor dua adalah anak mama, dia sangat dekat dengan Ibunya. Sifatnya  penurut dan memiliki jiwa pendidik yang kental. Mengikuti saran Ibunya untuk masuk ke perguruan tinggi negeri yang berbasis pendidikan di kota Yogyakarta. Ia berhasil lulus S1 dengan predikat sarajan pendidikan dengan IPK yang baik. Singkat cerita Bunda hanya sempat menghadiri wisuda D3 si sulung. Untuk wisuda S1 anak kedua dan si sulung sudah tidak sempat.

Putri kami yang ketiga selepas SD oleh Ibunya diminta  masuk SMP Swasta Muhammadiyah di Kota Yogyakarta (tidak di pesantren seperti kedua kakak sebelumnya). Setelah diputuskan putri ketiga menyusuk kakak-kakanya di Yogyakarta, bunda memutuskan untuk ikut hijrah ke Yogyakarta agar bisa berkumpul sekeluarga (tidak termasuk saya, karena pekerjaan saya masih harus di luar kota). 

Bunda pikir alangkah baiknya jika berkumpul lagi sekeluarga. Kenapa putri ketiga tidak dimasukkan pesantren? Pada saat itu pertimbangan bunda sederhana; dia akan saya didik menjadi wanita rumahan, sebagai calon ibu rumah tangga yang baik. Mengingat anak sulungnya, perempuan namun tapi tidak hobi dengan pekerjaan rumah, lebih senang menghabiskan waktu bekerja dan berkarya dengan kemampuannya di bidang desain grafis. 

Sepeninggal Bunda, hikmahnya baru terasa, putri yang ketiga inilah yang me-manage rumah tangga dan merawat saya dengan lika-liku penyakit saya hingga sekarang. Sekarang ia kuliah jurusan Psikologi di kota Kudus dengan pertimbangan dekat dengan saya, bisa merawat saya dan adiknya yang baru  kelas satu SMA. Setiap hari ia rela pulang-pergi selama 2 jam dari kampus ke rumah. Berangkat pagi setelah berbelanja ke pasar dan memasak, pulang maghrib dan masih menjalankan kewajiban rumah yang belum terselesaikan. Alhamdulillah, Allah menganugerahi saya anak-anak yang baik dan mengabdi pada orang tuanya.

Yang agak merepotkan Bunda adalah putra kami yang keempat. Lahir dan sempat tumbuh dalam kondisi autis dan memiliki perilaku dan tindakan super aktif yang pada saat itu kakaknya selisih dua tahun (masih playgroup saat itu), dan adiknya masih bayi. Hal tersebut membuat Ibunya sangat kewalahan. Solusinya kami merekrut dua orang asisten rumah tangga yang membantu mengurusi segala pekerjaan rumah. Bunda sempat khawatir dan was-was dengan perkembangannya. 

Kami mencoba berikhtiar dengan membawa dan berkonsultasi dengan psikolog. Jawabannya melegakan, si anak bisa disembuhkan dengan catatan otak kiriya harus terus dirangsang agar tumbuh berimbang dengan otak kanannya. Guna mengaktifkan otak kirinya, Ibunya selalu fokus melatih komunikasi dan memutuskan untuk mengikutkan si anak ikut les sempoa. Setelah itu lanjut didaftarkan ke pre-school yang berbasis Matematika (I-Math) di Ciputat Jakarta. 

Mengkuti I-Math selama 2 tahun alhamdulillah hasilnya memuaskan, anaknya jadi lebih terkedali, cepat merespon materi, bahkan tahu-tahu sudah bisa membaca dan menulis tanpa kami ajarkan sebelumnya. Dampak positif lainnya, ia jadi siswa yang tergolong pintar di sekolah. Hobi membacanya begitua kuat. Anaknya selalu curious dengan segala sesuatu. Hal yang paling disenangi adalah sejarah. Baginya mudah sekali mengingat tahun peristiwa dan nama-nama tokoh secara detail. 

Kemampuannya dalam bidang matematika juga sangat baik, terbukti ia mendapat nilai sempurna 100 pada mata pelajaran Matematika ujian nasional tingkat SMP kemarin. Selepas SD, ia mengikuti tradisi dua kakak sebelumnya, nyantri selama 3 tahun di sebuah Pondok Pesantren di Yogyakarta. Alhamdulillah ujian akhir dilewati dengan prestasi diatas rata-rata. 

Atas prestasinya yang baik, dia mampu masuk SMA terbaik di Kota Jepara. Sebelum meninggal, Bunda menitipkan pesan khusus pada saya agar putranya ini dididik dengan sabar dan diarahkan supaya bisa kuliah di ITB atau UGM. Feeling Ibunya dia Insya Allah dia mampu. Semoga.

Putra kelima kami sekarang kelas dua SMP di Pondok Pesantren Yogyakarta yang sama dengan kakanya nomor empat. 2 bulan menjelang Ibunya meninggal selalu berwasiat (dan seringkali diucapkan) hingga satu minggu menjelang meninggal agar si bontot disekolahkan di pondok pesantren. Wasiat, amanah dan pesan almarhumah menyemangati saya berjuang untuk menyekolahkan anak-anak menjadi tonggak saya untuk selalu bekerja keras dan tidak menyerah pada keadaan sakit saya.

Kini, dua orang anak saya sudah lulus S1 dan sudah mandiri. Si sulung sudah menikah dan tinggal di Palembang ikut suaminya. Mereka berdua berwirausaha dalam bisnis clothing store dan studio desain grafis. Sedangkan anak kedua kami sekarang sedang meniti karirnya dalam bidang perbankan di Ibukota.

Teruntuk Bunda, istirahatlah dengan tenang disisi-Nya. Pesan, harapan, dan amanahmu akan Bapak perjuangkan. Tunggu kami disurga. Amin ya Rabbal'alamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun