Sudah beberapa tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) acap kali mengalami kesulitan dalam mengatasi kasus korupsi, ada apa di balik kegagalan penyelesaian kasus tersebut? Kita sebagai masyarakat bawah rasanya juga pantas mempertanyakan mengenai kasus tersebut. Di benak kita ada rasa ingin mengetahui seluk beluknya mengenai kasus korupsi dan hukuman seperti apa bagi koruptor, mewah atau benar-benar penjara yang bisa membuatnya jera.
Negara Indonesia merupakan Negara yang masih dalam tahap perkembangan menuju Negara yang maju, tentu banyak hambatan-hambatan yang sering dialami, dari masalah kemiskinan, baik itu miskin akan Sumber Daya Manusia (SDM), miskin akan pendidikan yang berkualitas, serta pengangguran pun menjadi salah satu ciri yang begitu khas di Indonesia.
Yang begitu ketara dan sering kita dengar sangat menistakan adalah kasus korupsi yang tidak kunjung selesai. Sepertinya kasus korupsi di Indonesia tidak akan berakhir, karena pihak KPK saja sering mengalami kewalahan dalam menangani berbagai kasus. Sekarang ini pihak yang akan menyelesaikan kasus tersebut saja belum sepenuhnya dikatakan sukses, karena di balik terbongkarnya pelaku masih banyak kasus lain yang berada dalam penyidikan. Kemungkinan besar nanti KPK akan akan tersendat dengan berbagai kasus lain yang mengalihkan perhatian untuk diselesaiakan satu persatu.
Jika ada semacam rencana untuk mengusut kasus tersebut tidaklah mungkin akan terselesaikan dengan mudah, karena kemungkinan banyak pihak yang menjadikan kesempatan emas untuk mengerut keuntungan dari kasus tersebut dengan berbagai macam politik. Koruptor itu tidak hanya seorang diri, dia itu memiliki banyak kroni, meskipun seorang koruptor berhasil dan ditangkap lalu akan diapakan oleh pihak yang berwajib? Toh pihak yang berwajib (Polri) saja sudah teridentifikasi sebagai tersangka kasus korupsi.
Itu juga menjadi sebuah pertanyaan spekulasi yang penting untuk dijawab dengan tegas. Walaupun koruptor itu ditangkap apakah mungkin uang milliaran akan kembali lagi? Koruptor diberi hukuman penjara seberapa masa lamanya di penjara itu baginya tidak masalah, karena dalam sangkut-pautnya dengan penjara, penjara itu sendiri masih bisa dibeli dengan uang milliarannya atau paling tidak koruptor akan dibebaskan melalui para pengacaranya. Apa gunanya koruptor ditangkap apabila hanya untuk melihat wajahnya yang penuh dengan sulapan uang dan kemudian kita sendiri yang akan melepasnya?
Negara seakan-akan tidak bijak dalam memberi hukuman terhadap para terpidana, grasi dari Negara itu sepantasnya tidak diberikan dan begitu juga tunjangan remisi. Karena dengan adanya pemberian grasi dan remisi terhadap para koruptor sama saja pemerintah masih mendukung terhadap tindak pidana korupsi. Kurungan orang elit seperti yang sering kita lihat di berbagai stasiun televisi, mereka berada di dalam kurungan dengan sarana yang mewah, berbeda dengan golongan penjara dari golongan bawah, rakyat jelata. Penjara harus disamaratakan, mereka yang berada di dalam penjara harus mendapat perlakuan yang sama, penjara bukan tempat tidur dan serba mewah, akan tetapi penjara merupakan hukuman yan penuh siksaan agar para nara pidana sadar dan berhenti melakukan tindakan kriminal dan lain sebagainya.
Menurut kabar yang dilansir dalam harian Kompas bahwasanya aset yang diperoleh koruptor yaitu  Rp 23.325.700.000 dan 502.971 dollar AS (senilai Rp 28 miliar). Asal, konsultan pajak Rp 925 juta. Wajib pajak/sejumlah perusahaan, 500.000 dollar AS didapat mengurus surat keterangan pajak yang tertahan, 500.000 dollar AS dari mengurus sengketa pajak di pengadilan pajak tahun 2005, 2 juta dollar AS dari pembetulan SPT tahun 2006, 500.000 dollar AS dari jasa lainnya. "Safe deposit box" berisi aset senilai Rp 74 miliar, uang tunai dalam bentuk dollar AS dan dollar Singapura, 3 kg emas batang.
Pengeluaran, 40.000 dollar AS untuk ketua majelis hakim di PN Tangerang yang mengadili kasusnya. Rp 20 milliar untuk mengatur kasusnya (antara lain 100.000 dollar AS agar tidak ditahan; 35.000 AS agar rekening tidak diblokir; 45.000 dollar AS agar rumah tidak disita; 500.000 dollar AS untuk penyidik, jaksa, dan hakim; serta 20.000 dollar AS untuk pengacara). Rp. 368 juta untuk Kepala Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok. Sekitar Rp 900 juta untuk membuat paspor. (sumber: litbang Kompas, jumat 14 Januari 2011).
Dari sekian banyak hasil laju pesugihannya, koruptor dengan leluasa bisa menguasai para aparat tertentu yang dapat dikelabuhi agar bisa terhindar dari jeratan hokum, penjara ataupun dari problem-problem yang menyelimutinya. Sebisa mungkin pemerintah harus menarik kembali uang yang tertahan di dompet koruptor. Agar usaha yang dilakukan yang sudah sampai beberapa tahun ini ada fungsi dan tidak hanya menjadikan kesempatan untuk mengeruk uang dari menangani untuk menyelesaikan kasus korupsi belaka.
Memberantas korupsi itu ibarat akan menebang pohon beringin yang besar menjulang tinggi, daunnya begitu lebat, akar-akarnya begitu tertanam kuat di dalam tanah dan mampu tumbuh di daerah yang tandus. Jika orang yang akan menebangnya itu tidak memiliki alat penebang yang kuat dan tajam serta tidak memiliki seutas tali yang lebih panjang dari pohon itu, maka jangan coba-coba untuk menebangnya. Jika dia masih nekat untuk menebangnya kemungkinan dia itu akan tertindih oleh pohan yang besar tadi.
Dalam persoalan penanganan penyelesaian pemberantasan korupsi itu diperlukan beberapa tameng yang mampu untuk menahan diri dari runtuhnya batang korupsi yang telah mengakar kuat di tanah air ini dunia. Jika tameng pihak yang dipergunakan tidak diperkuat dengan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Esa, maka batang korupsi itu akan bertolak menimpa pihak yang akan memberantasnya.