Mohon tunggu...
Junaidi Husin
Junaidi Husin Mohon Tunggu... Guru - Aku menulis karena aku tidak pandai dalam menulis. Juned

Gagasan seorang penulis adalah hal-hal yang menjadi kepeduliannya. John Garder

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Konsep Moderasi Beragama: Dari Tantangan Hingga Peluang

2 Januari 2025   07:05 Diperbarui: 3 Januari 2025   13:57 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tokoh Agama-agama Sumber PNG TREE

Istilah Moderasi Beragama pertama kali digaungkan oleh Lukman Hakim Saifuddin, selaku Menteri Agama di Kabinet Pemerintahan Indonesia Bersatu II pada tahun 2014-2019, dalam bukunya yang berjudul Moderasi Beragama. Selang waktu tidak begitu lama, di tahun berikutnya kemudian ditindaklanjuti oleh Fachrul Rozi, melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 720 Tahun 2020. Kemudian KMA Nomor 720 Tahun 2020 ini dijadikan dasar dalam membentuk kelompok kerja (pokja) moderasi beragama di Kementerian Agama RI.

Melalui terbitnya KMA tersebut pemerintah menaruh harapan penuh pada Instansi yang memiliki semboyan 'ikhlas beramal' ini. Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa Negara Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim terbesar di antara Negara Muslim lainya, kini telah menjadi sorotan mata dunia, sebagaimana dunia telah ketahui dari para tokoh muslim dunia yang ada, bahwa Agama Islam dikenal dengan agama yang cinta damai dan saling menghargai.

Namun fakta problematika yang terjadi di masyarakat Muslim dunia khususnya Indonesia juga sangat kompleks, mengingat Indonesia memiliki ragam budaya, etnis, bahasa dan tentunya Negara Indonesia juga mengakui enam agama yakni, agama Islam, Kristen, Buddha, Kathalik, Konghucu dan Hindu. Sehingga adanya ragam budaya dan kepercayaan ini tidak ayal menimbulkan pergesekan.

Dapat dibayangkan betapa banyaknya ragam, pandangan, pemikiran dan pendapat serta kepentingan yang berbeda-beda dari setiap pemeluk, penganut agama masing-masing. Bahkan, di dalam satu aliran kepercayaan saja banyak terdapat persepsi, perspektif bahkan penafsiran atas kitab suci atau cara melakukan ritual ibadah mereka.

Dalam agama Islam saja, sebagaimana umat Muslim ketahui bahwa terdapat mazhab-mazhab fikih yang mengeluarkan fatwa atas hukum dan aturan dalam ritual ibadah seperti shalat, puasa, haji yang dimaklumi dilaksanakan dengan cara yang tidak sama. Adanya perbedaan ini merupakan hal yang amat wajar terjadi di kalangan Muslim, mengingat Islam tidak hanya mengenal ajaran yang bersifat qath'i dan tsawabit, tetapi juga mutaghayyirat. (Moderasi Beragama di Indonesia: Peluang dan Tantangannya)

Qhat'i ialah dalil yang hanya memiliki makna tunggal dan tidak dimungkinkan memiliki makna lain, ciri-cirinya menunjukan makna bilangan atau angka, adapun contohnya silahkan baca QS. An-Nur ayat 2. Adapun tsawabit berarti tetap, yakni ajaran Islam yang bersifat tidak berubah atau tetap (permanen) yang memiliki arti dan tidak lagi diperdebatkan contoh Allah itu Esa. Sedangkan mutaghayyirat lebih kepada masalah furu'iyah (cabang) yang berdalil zhanni yang banyak diperdebatkan, bersifat tidak tetap, realistis, praktif dan implementatif, sebagai contoh pelaksanaan ritual ibadah shalat jum'at pada saat kondisi esktrem seperti Covid19. (Jurnal An-Nida: Moderasi Beragama Perspektif Fikih, 2020).

Begitupun agama selain Islam, penulis yakin juga memiliki ragam tafsiran dan pandangan yang berbeda atas ajaran mereka. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa pergesakan di dalam satu kepercayaan saja bisa terjadi, apalagi perbedaan kepercayaan antar agama-agama yang di dalamnya juga terdapat budaya. Maka dalam hal ini Pemerintah hadir melalui Kementerian Agama RI untuk merealaisasikan Program Nasional Pemerintah salah satunya yakni Memastikan Kerukunan Antar Umat Beragama, Kebebasan Beribadah dan Perawatan Rumah Ibadah, (Antara, 1/1/2025).

Sehingga Konsep Moderasi Beragama menjadi dasar pijakan awal dalam meramu dan merawat perbedaan itu. Moderasi Beragama dalam Islam adalah sikap yang moderat dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, serta menghargai perbedaan keyakinan terhadap penganut dan  kepercayaan agama lain. Sebagaimana kata moderat dalam bahasa arab dikenal dengan sebutan al-wasathiyah, yang terekam pada surah al-Baqarah: 143. Kata tersebut memiliki makna bahwa terbaik dan terpelihara.

Kata Wasathiyah berarti moderasi dan term ini berasal dari akar kata wassatha yang memiliki arti sesuatu yang berada di tengah-tengah atau sesuatu yang berada di antara dua sisi. Kata wasathiyah juga memiliki makna lain yakni tawassuth berarti tengah-tengah, i'tidal berarti adil dan tawazun berarti berimbang.

Istilah di atas masih belum mampu membuka cakrawala pembaca begitupun penulis, apa dan bagaimana seharusnya sikap kita sebagai penganut agama yang di maksud dari wasatha atau moderasi itu. Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Washathiyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Posisi tengah-tengah yang dimaksud ayat di atas bukan saja menjadikan manusia tidak memihak ke kiri atau ke kanan, melainkan juga menjadikan seseorang dapat dilihat dari penjuru yang berbeda. Tambahnya posisi itu berpotensi menjadi teladan bagi semua pihak, baik bagi mereka yang di sebelah kanan maupun di kiri. Tambahnya lagi posisi itu juga dapat mejadikannya untuk menyaksikan siapapun dan di manapun yang berada disekelilingnya.

Melihat penjelasan di atas nampaknya tidak begitu sulit untuk mengaplikasikannya dalam menemukan titik permasalahan yang kemudian melahirkan sebuah solusi bagi kedua sisi, jika hal ini dalam satu kepercayaan yang sama. Namun menjadi sedikit berat jika yang dihadapi antar kepercayaan, apalagi bagi kita (setiap penganut keyakinan) tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap istilah moderasi beragama baik makna, tujuan, dan bagaimana menerapkannya serta mewujudkannya.  

Secara singkat Moderasi Beragama di atas telah dijelaskan baik secara bahasa maupun tujuannya. Namun aplikasi dan pererapannya masih banyak didapati kekeliruan. Penulis ingin menghadirkan contoh permasalahan yang sering kali muncul dan menuai pertikaian. Dalam al-Qur'an terdapat surah At-Taubah ayat 73 yang berbunyi "hai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Neraka Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".

Dalam mengambil pemahaman dari sebuah ayat perluh melihat dari berbagai sisi. Seperti melihat ayat al-Qur'an dari berbagai pandangan atau pendekatan, pendekatan tekstual, kontekstual, bahasa, historis, semantik dan sebagainya. Maka dalam mengambil pelajaran dari al-Qur'an tidak cukup hanya membaca arti terjamahnya saja.

Sebetulnya pemahaman yang keliru dari ayat di atas berawal dari kata perintah jihad, yang kemudian tergambar dalam benak kita jihad adalah melawan mereka dengan pedang (kekerasan) padahal jihad juga bisa berarti bersungguh-sungguh. Secara redaksi ayat ini berbicara kepada Nabi pada kondisi dimana Nabi menerimanya. Namun menjadi tidak cocok jika ayat di atas diterapkan begitu saja tanpa melihat dari berbagai kondisi, padahal kondisi pada saat itu dengan keadaan yang dihadapi saat ini tidaklah sama.

Selain yang disebutkan di atas permasalahan akan penerapan moderasi ini juga terhalang oleh kurangnya kesadaran masyarakat dari setiap pemeluk agama terhadap betapa sangat pentingnya Moderasi Beragama itu. Padahal di setiap agama yang diakui di Indonesai di atas juga mengenal ajaran Moderasi Beragama.

Jika Islam dikenal dengan wasathiyah, maka Kristen merupakan cara pandangan untuk menengahi ekstremitas atas tafsiran ajaran Kristen, dalam tradisi Hindu dikenal dengan Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah, Moderasi Beragama Buddha dikenal Sidharta Gautama, yang merupakan Pencerahan dari Sang Buddha, yakni menolong semua makhluk, menolak nafsu duniawi, dan seterusnya, moderasi beragama dalam tradisi Khonghucu dikenal dengan istilah junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan dengan kaca mata yin yang adalah sikap tengah dan tidak ektsrem, dan moderasi beragama dalam praktik Gereja Khatalik dikenal dengan istilah "moderat" yang bermaksud terbuka terhadap fundamentalis dan tradisionalis. (Jurnal Bimas Islam: Aktualisasi Moderasi Beragama di Pendidikan, 2019).  

Agar Moderasi Beragama tidak hanya menjadi seremonial belaka. Maka peran pemuka agama dan tokoh masyarakat serta organisasi komunitas yang ada pada setiap agama, betul-betul bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mewujudkan nilai-nilai Moderasi Beragama, Mengingat nilai Moderasi Beragama saat ini hanya menyentuh kalangan elit dan pemangku kepentingan saja tetapi tidak begitu menyentuh masyarakat luas.

Supaya perbedaan kepercayaan yang ada tidak tidak lagi menjadi sekat untuk menjadi saudara se-Bangsa. Juga Perbedaan pandangan atau tafsiran (yang benar) terhadap suatu ayat, tidak lagi menjadikan kita terkotak-kotak dalam se-Iman, namun cukup menjadikan tanda bahwa khazanah keilmuan yang begitu amat luas. 

Bersambung...

Baca juga Al-quran dan Pancasila yang disalahpahami

https://goresanpenatintabiru.blogspot.com/2022/06/al-quran-dan-pancasila-yang-di-salah.html?m=1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun