Melihat penjelasan di atas nampaknya tidak begitu sulit untuk mengaplikasikannya dalam menemukan titik permasalahan yang kemudian melahirkan sebuah solusi bagi kedua sisi, jika hal ini dalam satu kepercayaan yang sama. Namun menjadi sedikit berat jika yang dihadapi antar kepercayaan, apalagi bagi kita (setiap penganut keyakinan) tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap istilah moderasi beragama baik makna, tujuan, dan bagaimana menerapkannya serta mewujudkannya. Â
Secara singkat Moderasi Beragama di atas telah dijelaskan baik secara bahasa maupun tujuannya. Namun aplikasi dan pererapannya masih banyak didapati kekeliruan. Penulis ingin menghadirkan contoh permasalahan yang sering kali muncul dan menuai pertikaian. Dalam al-Qur'an terdapat surah At-Taubah ayat 73 yang berbunyi "hai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Neraka Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".
Dalam mengambil pemahaman dari sebuah ayat perluh melihat dari berbagai sisi. Seperti melihat ayat al-Qur'an dari berbagai pandangan atau pendekatan, pendekatan tekstual, kontekstual, bahasa, historis, semantik dan sebagainya. Maka dalam mengambil pelajaran dari al-Qur'an tidak cukup hanya membaca arti terjamahnya saja.
Sebetulnya pemahaman yang keliru dari ayat di atas berawal dari kata perintah jihad, yang kemudian tergambar dalam benak kita jihad adalah melawan mereka dengan pedang (kekerasan) padahal jihad juga bisa berarti bersungguh-sungguh. Secara redaksi ayat ini berbicara kepada Nabi pada kondisi dimana Nabi menerimanya. Namun menjadi tidak cocok jika ayat di atas diterapkan begitu saja tanpa melihat dari berbagai kondisi, padahal kondisi pada saat itu dengan keadaan yang dihadapi saat ini tidaklah sama.
Selain yang disebutkan di atas permasalahan akan penerapan moderasi ini juga terhalang oleh kurangnya kesadaran masyarakat dari setiap pemeluk agama terhadap betapa sangat pentingnya Moderasi Beragama itu. Padahal di setiap agama yang diakui di Indonesai di atas juga mengenal ajaran Moderasi Beragama.
Jika Islam dikenal dengan wasathiyah, maka Kristen merupakan cara pandangan untuk menengahi ekstremitas atas tafsiran ajaran Kristen, dalam tradisi Hindu dikenal dengan Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah, Moderasi Beragama Buddha dikenal Sidharta Gautama, yang merupakan Pencerahan dari Sang Buddha, yakni menolong semua makhluk, menolak nafsu duniawi, dan seterusnya, moderasi beragama dalam tradisi Khonghucu dikenal dengan istilah junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan dengan kaca mata yin yang adalah sikap tengah dan tidak ektsrem, dan moderasi beragama dalam praktik Gereja Khatalik dikenal dengan istilah "moderat" yang bermaksud terbuka terhadap fundamentalis dan tradisionalis. (Jurnal Bimas Islam: Aktualisasi Moderasi Beragama di Pendidikan, 2019). Â
Agar Moderasi Beragama tidak hanya menjadi seremonial belaka. Maka peran pemuka agama dan tokoh masyarakat serta organisasi komunitas yang ada pada setiap agama, betul-betul bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mewujudkan nilai-nilai Moderasi Beragama, Mengingat nilai Moderasi Beragama saat ini hanya menyentuh kalangan elit dan pemangku kepentingan saja tetapi tidak begitu menyentuh masyarakat luas.
Supaya perbedaan kepercayaan yang ada tidak tidak lagi menjadi sekat untuk menjadi saudara se-Bangsa. Juga Perbedaan pandangan atau tafsiran (yang benar) terhadap suatu ayat, tidak lagi menjadikan kita terkotak-kotak dalam se-Iman, namun cukup menjadikan tanda bahwa khazanah keilmuan yang begitu amat luas.Â
Bersambung...
Baca juga Al-quran dan Pancasila yang disalahpahami
https://goresanpenatintabiru.blogspot.com/2022/06/al-quran-dan-pancasila-yang-di-salah.html?m=1