Mohon tunggu...
Junaidi Husin
Junaidi Husin Mohon Tunggu... Guru - Aku menulis karena aku tidak pandai dalam menulis. Juned

Gagasan seorang penulis adalah hal-hal yang menjadi kepeduliannya. John Garder

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tolok Ukur Pendakwah Pilihan Milenial

18 Maret 2024   10:57 Diperbarui: 25 Maret 2024   06:43 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nabi berkata "wahai Muadz berikanlah kabar gembira dan bukan ketakutan dan permudahlah serta jangan engkau persulit".  Dari ucapan Nabi ini saja kita dengan mudahnya memahami bahwa Islam adalah kabar gembira itu sendiri. Sungguh islam itu sangat indah, lantas bagaimana mungkin dalam menyampaikan berita gembira dengan sifat yang tercelah, seperti, mencemooh, menghina, menakut-nakuti serta mengamcam.

Kemudian pesan kedua Nabi kepada Sahabat Muadz "permudahlah jangan dipersulit". Bagaimana tidak indah Islam ini, bayangkan saja dalam beribadah kepada Allah dalam waktu dan kondisi tertentu umatnya diberikan kemudahan dalam menjalankannya. Seperti ibadah shalat kalau tidak mampu berdiri silahkan dengan duduk, ibadah puasa jika ada uzur yang menghalangi, seperti ibu hamil dan menyusui dan sebab lainya, bisa diganti dengan hari lain dan seterusnya. Jadi sangat aneh kalau ada pendakwah isi ajakannya menyusahkan atau keluar dari pesan Nabi Muhammad di atas.

Selanjutnya, masih menurut Habib Ja'far dalam buku yang sama, jelasnya walaupun ini tidak dipesankan secara langsung oleh Nabi kepada Muadz, bahwa Nabi juga pernah menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yakni agar para pendakwah dalam menyampaikan kabar gembira itu dengan "sikap mempersatukan, bukan mencerai-beraikan." Imbuhnya, bagaimana mungkin Nabi sendiri sebelumnya menyatukan seluruh umat Islam dengan sebutan saudara. Lantas ada pendakwah yang mencerai-beraikan ikatan persaudaraan itu.

Disini penulis juga ingin menambahkan bahwa, ilmu saat ini sudah terdisiplin, sebagaimana kita ketahui pada Perguruan Tinggi umumnya. Maka cari pendapat dari mereka yang mumpuni di bidang itu, seperti jika mencari suatu penjelasan terkait suatu ayat silahkan tanyakan pada ulamat tafsir, masalah ibadah seperti rumah tangga atau pernikahan tanyakan pada ulama fikih, persoalan hati kepada orang yang sufi dan selanjutnya.

Hal ini disarankan agar mendapatkan jawaban yang tepat, bukan berarti kita meragukan keilmuan ulama lainya. Namun ini hanya opsi saja. Sebab dahulu banyak ulama yang fasih, cerdas serta ingatanya kuat dalam memahami beberapa bidang ilmu. Seperti Ibnu Sinna (980-1037) yang dikenal sebagai bapaknya dokter dunia, juga seorang Astronomer serta dikenal seorang filsuf. Kemudian ada Al-Kawarizmi (780-850) ia merupakan seorang ahli Matematika juga Astronomi dan masih banyak lagi ilmuan muslim yang memiliki pengetahuan ganda mumpuni yang sangat mempengaruhi dunia.

Sebagai Muslim yang cerdas, dalam mengikuti pengajian suatu ustadz janganlah menutup hati akan ustadz lainya. Seperti mengikuti ustadz A, lantas apapun pendapat dari ustadz B salah di matanya. Namun di waktu yang lain dengan ucapan yang sama sebagaimana pernah diucapkan ustadz B sebelumnya, kemudian spontan saja pendapat itu dibenarkan karena baru diucapakan oleh ustadz yang saat ini diikutinya. Anehnya terkadang ada saja mereka yang fanatik itu, sudah jelas pendapat ustadz yang ia ikuti itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi malah mendukungnya. Ini jelas keliru atau menyimpang di atas kesengajaan!.

Penulis sendiri yang saat ini sebagai santri dengan amaliah NU tidak menutup mata dan telingah untuk mendengar nasihat para kyai, ulama serta habib lainya. Baik itu di Indonesia maupun di luar Indonesia. Selagi pendakwah tersebut dalam menyampaikan nasihatnya sebagaimana Nabi pesankan, walaupun pendapatnya akan suatu perkara itu berbeda-beda, asalkan perbedaan pendapat itu memang sebelumnya lahir di atas pendapat jumhur ulama seperti Imam Syafi'I, Hambali, Maliki dan Hanafi.

Itu artinya perbedaan itu memang ada dalil atau riwayatnya, sikap kita adalah ikuti saja pendapat Ustadz yang mengambil riwayat atau dalil ulama yang kita cenderungi, seperti halnya penulis cenderung kepada ulama Syafi'iyah, namun penulis tidak perluh mensalahkan pendapat Ustadz dari ulama yang tidak menjadi pilihan penulis. Bahkan penulis sendiri terkadang pada suatu kondisi atau keadaan tertentu terkait suatu ibadah tertentu pula beralih pada pendapat ulama selain Syafi'iyah.

Terkait sikap dan sifat pendakwah yang jauh serta bertentangan dengan pesan Nabi Muhammad SAW di atas, Menurut Habib Ja'far sebagaimana ditegaskan dalam bukunya, "atas nama Nabi Muhammad SAW, silahkan tinggalkan saja dan beralihlah kepada pendakwah yang lainya. Mungkin pesan yang disampaikannya benar namun kita berhak mendengar dan mendapatkannya dari mulut yang baik". Wa Allahu A'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun