Mohon tunggu...
Junaidi Husin
Junaidi Husin Mohon Tunggu... Guru - Aku menulis karena aku tidak pandai dalam menulis. Juned

Gagasan seorang penulis adalah hal-hal yang menjadi kepeduliannya. John Garder

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pentingnya Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dan Meminimalisir Anak Putus Sekolah

31 Januari 2024   10:40 Diperbarui: 31 Januari 2024   11:05 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sekolah merupakan suatu lembaga yang bergerak di bidang pendidikan dan tempat untuk menempah diri, dengan belajar menggali ilmu pengetahuan dan keterampilan. Juga bagaimana untuk dapat lebih cakap dalam bertutur kata dan beretika Harapanya para pelajar yang telah menamatkan pada sekolah tertentu itu dapat jauh lebih baik dari pada sebelumnya, baik dari segi wawasan keilmuannya maupun dalam sosial bermasyarakat.

Bahkan untuk menunjang semua itu, pada kurun waktu tertentu baik itu fasilitas sekolah maupun para tenaga kependidikan ini selalu di-upgrade, baik dari segi disiplin keilmuan yang membidanginya maupun pada ilmu lain yang dapat mendukung para tenaga pendidik, agar dapat lebih cakap dalam mencerdeskan anak bangsa di tengah dunia pendidikan yang begitu cepat berubah.

Namun di samping itu semua, sekolah dan guru juga dihadapkan dengan berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi terutama bagi para pelajar, seperti putus sekolah yang disebabkan oleh salahnya pergaulan, ekonomi yang kurang mencukupi, faktor perpisahan kedua orang tua dan bahkan ada yang menganggap pendidikan menurutnya tidak begitu penting, serta jangan sampai pulah anak putus sekolah disebabkan oleh kekhilafan/kesalahan guru itu sendiri.

Anehnya, sebagian besar ditemukan anak yang putus sekolah di atas terutama anak-anak SMP dan SMA, penyebabnya bukan karena sebagaimana penulis uraikan di muka seperti tidak mampu, bukan juga karena jarak yang jauh tapi karena mereka telah mengerti dalam mencari uang. Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh pemikiran yang keliru yang menganggap akhir dari sekolah adalah hanya mendapatkan ijazah kemudian bekerja dan menghasikan cuan. Padahal sekolah dan berpendidikan tinggi (berilmu) tidak dapat dinilai dengan uang se-berapapun jumlah nol yang mengikuti di belakangnya.

Sampai saat ini cukup banyak dan muda penulis temukan seperti dengan mendatangi sekolah tertentu. Salah satunya merupakan anak didik penulis sendiri yang dahulunya pada tingkat sekolah dasar, seharusnya saat ini dia telah duduk di kelas tiga menengah pertama. Yang membuat penulis geram adalah orang tuanya telah berpisah disebabkan oleh berbagai permasalahan rumah tangga, di samping itu mereka telah memahami betul berbagai dampak buruk yang akan dialami oleh anak-anaknya kelak. Namun kenapa anak yang sebelumnya telah menjadi korban perpisahannya, kemudian hak anak berupa pendidikan tidak ditunaikan. Tidak ada kata yang tepat bagi anak tersebut, kecuali "sudah terjatuh tertimpah tangga pulah".

Untuk itu, dalam menyikapi berbagai faktor di atas seharusnya setiap tenaga kependidikan lebih peduli dan pekah akan permasalahan tersebut, lebih-lebih orang tua dari pada anak itu sendiri. Siapapun akan sangat kasihan bila berjumpah dengan anak yang tidak melanjutkan pendidikanya atau berhenti di tengah jalan hanya karena faktor tersebut. Dan yang sangat menyita perhatian penulis adalah, anak masih semangat berkeinginan untuk sekolah tapi kedua orang tua justru tidak begitu mendukungnya hanya disebabkan oleh salah satu atau sebagian faktor di atas.

Dampak Buruk

Tentunya hal ini akan berdampak buruk bagi masa depanya, jangankan nanti, saat ini saja mereka sudah malu/minder untuk bertemu dengan teman yang pernah menjadi teman sekelasnya dahulu. Akhirnya anak yang putus sekolah ini akan bergaul dengan anak-anak yang sama seperti dirinya, untung jika berteman dengan mereka yang memiliki pergaulan baik, namun fakta yang ditemukan sebagaimana pada umumnya, mayoritas anak putus sekolah bergaul dengan anak-anak "maaf" yang memiliki kelakuan kurang baik.

Itu artinya, apa yang telah dialami oleh orang tua kemungkinan anak akan mengalami hal yang sama. Sebab jika melihat pergaulan mereka yang sangat jauh menyimpang bahkan mungkin ada sebagian kebablasan, disamping itu mereka sebagai orang tua sepertinya tidak ambil pusing bagaimana nasip kedepan anak-anaknya. Maka kemungkinan besar "semoga saja tidak terjadi", nasip buruk yang telah dialami oleh orang tua yang seharusnya putus sampai pada mereka, malah terus berlanjut dan diturunkan kepada anaknya sendiri. Padahal seharusnya sebagai orang tua yang baik, bagaimanapun keadaanya berusahalah semampunya agar anak di masa depan jauh lebih baik dari pada kita sebagai orang tuanya saat ini, bukankah kita telah lebih dahulu mencicipi asinya garam dan menghirup pahitnya kopi ?

Dari kasus di atas baik kita sebagai orang tua, pemikir, pemangku adat maupun pemerintah yang memiliki kewenangan yang jauh lebih besar. Seharusnya tidak hanya mendata berapa jumlah anak putus sekolah saja, apa faktor yang membuat mereka tidak atau enggan bersekolah. Tapi bagaimana upaya atau peran efektif pemerintah itu sendiri dalam memberi solusi kepada mereka yang sebelumnya enggan kemudian dapat berupa pikiran, syukur apabila mereka dapat melanjutkan kembali pendidikanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun