Ayat di atas menggunakan (ya ayyuhannas) "wahai manusia" yang berarti mencakup seluruh ummat manusia termasuk Adam dan Hawa, kemudian "kalian semua diciptakan dari seorang lelaki dan seorang perempuan". Tidak satupun dalil Al-Qur'an secara tegas dan jelas  yang berkata, wahai Hawa kamu diciptakan dari Adam ketika Adam tertidur.
 Menurut M. Quraish Shihab, Kalaulah kita menduga benar bahwa Hawa diciptakan bagian dari diri Adam tidak serta merta menafsirkan setiap perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, sebagaimana QS. Al-Hujurat di atas. (Islam yang Disalahpahami, 2018).
Begitu juga menurut pandangan penulis, seharusnya tuduhan negatif seperti Adam terusir dari surga karena perempuan dan Adam memakan buah khuldi karena rayuan perempuan, semestinya itu tidak ada. Jikapun ada seharusnya hanya pada Hawa saja itupun jika kamu punya bukti dan alasan yang kuat. Anehnya hal itu dikaitkan dengan perempuan  saat ini.
Adapun perbedaan pandangan di atas adalah hal yang wajar (biasa), mengingat tingkat dan latar belakang keilmuan serta pendidikan yang berbeda. Bahkan sebelumnya, perbedaan pendapat ini melahirkan ulama mazhab besar, seperti Imam Syafi'i (w. 204 H), Abu Hanifah (w. 150 H), Maliki (w. 179 H) dan Ahmad Bin Hanbal (w. 241 H).
Namun menyikapi perbedaan pandangan di atas  tentunya dengan ilmu juga bukan asal memberikan pendapat apalagi mensalahkan tanpa pengetahuan. Seharusnya perbedaan pandangan ini menyadarkan diri kita bahwa Allah swt yang maha luas ilmunya serta saling menghargai atas pandangan yang berbeda dengan pandangan kita, tetapi tidak juga dibenarkan dengan alasan saling menghargai kemudian tidak meluruskan pandangan yang keliru dalam memahami dalil.
Di akhir tulisan ini penulis perlu mengemukakan pendapat ulama yang penulis kutip dari M. Quraish Shihab dalam bukunya, (Islam yang Saya Anut, 2018). Tulisnya, semua ulama sepakat menyatakan bahwa siapapun selain Rasulullah SAW berpotensi salah dalam pendapat-pendapat mereka "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah, pendapat yang berbeda dengan pendapat kami salah, tapi mengandung kemungkinan benar".
Namun perlu diingat, pendapat di atas nampaknya hanya berlaku bagi yang sama-sama berilmu dengan pengetahuan yang sangat luas, seperti Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh adalah dua tokok ulama tafsir kenamaan yang tidak diragukan lagi kiprahnya. Bagaimana mungkin kita membenarkan pandangan kita yang berbeda dengan pandangan ulama Mujtahidin, siapa kita.? Kalaupun kamu menganggap pendapatmu benar pasti juga itu dari pendapat ulama lain, sebagaimana penulis. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H