Mohon tunggu...
Junaidi Husin
Junaidi Husin Mohon Tunggu... Guru - Aku menulis karena aku tidak pandai dalam menulis. Juned

Gagasan seorang penulis adalah hal-hal yang menjadi kepeduliannya. John Garder

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan dan Asal Penciptaanya dalam Pandangan Ulama Tafsir (Ibnu Katsir dan M. Abduh)

24 Januari 2024   07:33 Diperbarui: 24 Januari 2024   07:48 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penciptaan perempuan bukanlah topik yang baru dan belum juga usang ditelan waktu, bahkan merupakan topik yang masih sangat hangat diperbincangkan baik dikalangan awam sampai pada kalangan terdidik di masa kini, khususnya bagi pemerhati perempuan.          

Di Indonesia sendiri, pembahasan tentang perempuan ini mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa, sebagaimana Prof. Nasaruddin Umar atas kegelisahannya tentang pandangan, yang memarjinalkan perempuan sebagai second dalam hal spritual dan sosial, kemudian lahirlah sebuah karya Argumen Kesetaraan Jender Dalam Perspektif Al-Qur'an yang memberikan jawaban atas kegelisahannya itu, serta menepis pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan.

Begitu juga dengan ulama tafsir Indonesia, Prof. M. Quraish Shihab yang menulis buku tentang "Perempuan, dari cinta sampai bias baru", ada lagi buku yang lebih spesifik "Seni Memahami Wanita" karangan Claudia Sabrina dan masih banyak lagi. Sepertinya membicarakan perempuan ini memang tiada habis dan ujungnya, dari keunikan sifat yang ditanamkan Allah SWT pada diri perempuan sampai asal mula penciptaannya begitu sulit untuk dipahami bahkan menimbulkan kontroversi.

Namun dalam artikel yang sedang anda baca ini, penulis sedikit sekali menyinggung sifat perempuan dan hanya akan fokus membahas, serta menguraikan persoalan asal mula penciptaan perempuan dalam pandangan ulama tafsir. Semoga tulisan sederhana yang jauh dari kata sempurna ini dapat memberikan jawaban.

Penciptaan, menurut Mangunsuwino dalam bukunya yang berjudul, (Kamus Saku Ilmiah Populer, 2011). Penciptaan manusia itu berasal dari kata penciptaan dan manusia. Penciptaan berakar dari kata cipta yang mendapat imbuhan pe- dan --an, sedangkan cipta sendiri dapat diartikan sebagai akal, daya pikir dan imajinasi.

Begitu juga cipta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti kesanggupan, pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, angan-angan kreatif, sedangkan penciptaan dapat diartikan proses dan perbuatan cara menciptakan.

Perlu diketahui juga terkait penciptaan manusia ini, bahwasannya Allah telah menciptakan manusia dengan empat model penciptaan, Model yang pertama, Allah menciptakan Adam AS tanpa ayah dan ibu. Model kedua, Allah menciptakan setelah di sampingnya ada lelaki yaitu Hawa. Model ketiga, Penciptaan Isa AS dari seorang ibu tanpa ayah. Model keempat, Allah menciptakan manusia melalui pertemuan lawan jenis yakni laki-laki dan perempuan. Dari model satu sampai ketiga, hanya model keempatlah yang sangat terperinci dijelaskan dalam Al-Qur'an. Sehingga melahirkan banyak pandangan yang berbeda-beda.

Setelah dipahami makna "penciptaan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sampai dengan empat model penciptaan. Disinilah penulis akan mencoba menuangkan masalah yang sedikitnya telah disinggung di atas. Adapun persoalan yang dimaksud, terdapatnya perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap ayat dan hadits terkait asal mula penciptaan perempuan sehingga menimbulkan pandangan kontroversi di masyarakat.

Akibat dari salah satu pandangan tersebut melahirkan pemikiran dari kelompok awam yang memarjinalkan perempuan hanya karena kurang pemahaman akan dalil itu. Padahal hakikatnya Al-Qur'an tidak akan pernah salah dan untuk hadits pun begitu dengan catatan hadits tersebut sudah memenuhi lima syarat kesahihan hadits.

            Sebenarnya dalil yang digunakan para ulama tafsir dalam menafsirkan asal mula penciptaan perempuan ini, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Khurairah dan QS. An-Nisah ayat 1, Allah berfirman : "wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan istrinya. Dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki-dan perempuan yang banyak".

            Menurut Ibnu Katsir dalam (Tafsir Al-Qur'an, Juz. 1) menyatakan, bahwa Allah berfirman dengan memerintahkan kepada seluruh manusia agar bertakwa kepadaNya, yang dengan kekuasaanNya telah menciptakan istrinya Hawa dari tulang rusuk Adam sebelah kiri dari arah belakang ketika Adam tertidur. Terlihat jelas pandangan Ibnu Katsir ini sejalan dengan karakteristik penafsiranya yang secara tekstual, selama dapat difahami secara rasional.

            Adapun yang senada dengan pandangan Ibnu Katsir di atas, yang memahami kata (nafs) dengan Adam adalah Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Qurthubi, al-Biqa'i Abu As-Su'ud dan lain-lain. (M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, 1996).

            Beda halnya dengan Muhammad Abduh yang menolak secara tegas terhadap pandangan yang menyatakan bahwa asal-usul perempuan diciptakan dari Adam (Nafs wahida) sebab kata ganti (minha) ditafsirkan "bagian tubuh Adam" dan (Zaujaha) ditafsirkan dengan Hawa, istri Adam.

Jelasnya, surah An-Nisah ayat 1 di atas diawali dengan (ya ayyuhannas) "sekalian manusia", yang berarti ditujukan kepada seluruh manusia tanpa membedakan suku, ras, bangsa dan warna kulit, sehingga bagaimana mungkin (nafs wahida) di artikan Adam, lihat (Tafsir Al-Manar, Vol. 4).

            Agaknya pandangan dan penafsiran Ibnu Katsir terhadap asal mula penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri ketika ia sedang tertidur itu didasari bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, "saling memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok". (HR. Bukhari, Muslim dan At-Tirmizi melalui Abu Khurairah).

            Namun menurut Muhammad Abduh  yang ditulis oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridhah, secara tegas menolak pandangan di atas sebagaimana yang penulis kutip dari sebuah buku, (Islam yang Disalahpahami, 2018) oleh M. Quraish Shihab. Ide yang mengatakan kelahiran Hawa dari tulang rusuk Adam itu, timbul dari yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II : 21-22), yang berbunyi "ketika Adam tertidur lelap maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan itu, dibuat Tuhan seorang perempuan."

            Tambahnya lagi "seandainya saja tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama, seperti redaksi di atas niscaya tidak akan terlintas dalam benak seorang muslim perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk Adam AS." Tulis Muhammad Rasyid Ridha, sebagaimana yang penulis kutip dalam buku yang sama.

Perlu penulis tambahkan pandangan M. Quraish Shihab, menurutnya persoalan di atas muncul karena hadits tersebut dipahami oleh ulama-ulama secara harfiah namun tidak sedikit juga ulama kontemporer yang telah memahaminya secara metafora seperti Muhammad Abduh, bahkan ada juga yang menolak keshahihan hadits tersebut.

Adapun menurut ulama yang memahami secara metafora, menurutnya hadits tersebut bertujuan untuk mengingatkan para lelaki dalam mengahadapi perempuan haruslah dengan bijaksana, karena perempuan itu memiliki sifat, karakter dan kecenderungan yang berbeda dengan lelaki. Khawatirnya, tanpa disadari dapat mengantarkan lelaki pada perbuatan diluar batas kemanusian, karena walau bagaimanapun lelaki itu tidak akan bisa merubah kodratnya perempuan jika dipaksakan akan berakibat patal, sebagaimana tulang bila diluruskan akan patah, (M. Quraish Shihab, Wawasan, Al-Qur'an, 1998).

             Nah, dari kedua dalil yang digunakan ulama dalam menafsirkan terkait asal mula penciptaan perempuan ini, baik dalam hadits maupun QS. An-Nisah ayat 1 di atas, kedua-duanya menggunakan kata (khalaqa) mencipta bukan (ja'alah) menjadikan. Menurut M. Quraish Shihab dalam buku (Kaidah Tafsir, 2013). Kata (khalaqa) yang berati mencipta, baik ciptaan itu telah ada maupun yang serupa denganya sebelum yang ini diciptakan. Maupun dalam bentuk baru, dan kata (khalaqa) ini hanya membutuhkan satu objek saja.

Beda halnya dengan kata  (ja'ala) yang memiliki arti menjadikan dari sesuatu ke sesuatu yang lain, karena itulah ia membutuhkan dua objek. Bila diperhatikan dengan seksama pengertian di atas, terlihat jelas perbedaan kedua lapaz itu terletak pada bagaimana prosesnya. Itulah kenapa menurutnya Hawa diciptakan bukan dari bagian diri Adam, karena tidak ada satupun ayat yang menerangkan secara jelas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam AS.  

Bahkan sebaliknya ada ayat yang berbunyi "wahai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seoarang laki-laki dan dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal ..." (QS. Al-Hujurat : 13)

Ayat di atas menggunakan (ya ayyuhannas) "wahai manusia" yang berarti mencakup seluruh ummat manusia termasuk Adam dan Hawa, kemudian "kalian semua diciptakan dari seorang lelaki dan seorang perempuan". Tidak satupun dalil Al-Qur'an secara tegas dan jelas  yang berkata, wahai Hawa kamu diciptakan dari Adam ketika Adam tertidur.

 Menurut M. Quraish Shihab, Kalaulah kita menduga benar bahwa Hawa diciptakan bagian dari diri Adam tidak serta merta menafsirkan setiap perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, sebagaimana QS. Al-Hujurat di atas. (Islam yang Disalahpahami, 2018).

Begitu juga menurut pandangan penulis, seharusnya tuduhan negatif seperti Adam terusir dari surga karena perempuan dan Adam memakan buah khuldi karena rayuan perempuan, semestinya itu tidak ada. Jikapun ada seharusnya hanya pada Hawa saja itupun jika kamu punya bukti dan alasan yang kuat. Anehnya hal itu dikaitkan dengan perempuan  saat ini.

Adapun perbedaan pandangan di atas adalah hal yang wajar (biasa), mengingat tingkat dan latar belakang keilmuan serta pendidikan yang berbeda. Bahkan sebelumnya, perbedaan pendapat ini melahirkan ulama mazhab besar, seperti Imam Syafi'i (w. 204 H), Abu Hanifah (w. 150 H), Maliki (w. 179 H) dan Ahmad Bin Hanbal (w. 241 H).

Namun menyikapi perbedaan pandangan di atas  tentunya dengan ilmu juga bukan asal memberikan pendapat apalagi mensalahkan tanpa pengetahuan. Seharusnya perbedaan pandangan ini menyadarkan diri kita bahwa Allah swt yang maha luas ilmunya serta saling menghargai atas pandangan yang berbeda dengan pandangan kita, tetapi tidak juga dibenarkan dengan alasan saling menghargai kemudian tidak meluruskan pandangan yang keliru dalam memahami dalil.

Di akhir tulisan ini penulis perlu mengemukakan pendapat ulama yang penulis kutip dari M. Quraish Shihab dalam bukunya, (Islam yang Saya Anut, 2018). Tulisnya, semua ulama sepakat menyatakan bahwa siapapun selain Rasulullah SAW berpotensi salah dalam pendapat-pendapat mereka "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah, pendapat yang berbeda dengan pendapat kami salah, tapi mengandung kemungkinan benar".

Namun perlu diingat, pendapat di atas nampaknya hanya berlaku bagi yang sama-sama berilmu dengan pengetahuan yang sangat luas, seperti Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh adalah dua tokok ulama tafsir kenamaan yang tidak diragukan lagi kiprahnya. Bagaimana mungkin kita membenarkan pandangan kita yang berbeda dengan pandangan ulama Mujtahidin, siapa kita.? Kalaupun kamu menganggap pendapatmu benar pasti juga itu dari pendapat ulama lain, sebagaimana penulis. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun