Eling lan Waspodo, sebuah falsafah orang Jawa yang bisa ditemukan dalam Buddhisme. Eling, biasa kita dengar ketika orang Jawa berbicara, "eling marang lakumu, aja nganti gawe susah liyan" artinya "ingat terhadap perilakumu jangan sampai membuat susah orang lain". Waspodo adalah kata yang mirip dengan bahasa Indonesia -- waspada, yang memiliki arti kesadaran. Begitulah kira-kira saya mengartikan makna eling dan waspodo secara kasarnya.
Lantas, bagaimana eling dan waspodo ini hadir dalam Buddhisme?
Buddha mengajarkan kita untuk hidup penuh kesadaran. Kita jangan sampai lengah dengan apa yang ada dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan. Lengah yang dimaksud adalah kita berpikir dengan tidak matang, hanya sekadar berpikir, sehingga ucapan dan perbuatan yang keluar tidak bermanfaat untuk diri sendiri dan juga banyak makhluk.
Dalam Dhammapada pun dijelaskan bahwa "pikiran adalah pelopor". Segala sesuatu yang muncul dalam pikiran kita, apapun yang diucapkan dan dilakukan, semuanya berdasar pada pikiran. Kalau kita memikirkan hal yang baik, ucapan dan perilaku kita pasti akan baik juga. Begitu juga sebaliknya kalau pikiran kita tidak baik, ucapan dan perilakunya pasti tidak baik.
Pikiran yang baik harus dikendalikan agar selalu eling dan waspodo. Pikiran yang eling atau selalu ingat dapat mudah mengendalikan diri agar berucap dan bertindak sesuai tujuan. Selanjutnya waspodo, merupakan kesadaran yang harus kita miliki. Buddha mengajarkan kita untuk selalu sadar dalam setiap ucapan dan perbuatan. Kesadaran membantu kita untuk selalu waspada dengan segala hal yang terjadi.
Apabila kita bisa eling lan waspodo dalam setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan, maka kita bisa menumbuhkan kepedulian terhadap orang lain. Kok bisa eling lan waspodo dapat membantu kita menumbuhkan kepedulian terhadap orang lain? Mari kita bahas bersama-sama.
Hidup Tidak Hanya tentang Diri Sendiri
Buddha sebagai guru Agung memberi kita obat penawar yang sangat manjur supaya kita bisa sembuh dari penderitaan. Obat penawar itu adalah Dharma. Pemahaman yang benar terhadap Dharma bisa menuntun kita menuju jalan kebahagiaan untuk diri sendiri dan juga makhluk lain. Kenapa kita harus turut membahagiakan makhluk lain? Hidup kita tidak akan berguna apabila hanya mementingkan diri sendiri, tapi, hidup akan lebih bermanfaat apabila kita juga mementingkan orang lain. Sama seperti Buddha yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri dengan keluar dari penderitaan kemudian mencapai Parinirvana kemudian sudah. Tapi Buddha meninggalkan Dharma untuk dipelajari.
Saat kita memahami bahwa hidup ini tidak hanya tentang diri sendiri, tapi juga makhluk lain. Maka, di sinilah eling lan waspodo itu muncul. Kita ingat dan sadar bahwa hidup yang kita miliki saat ini adalah atas karma kita sendiri, kita sadar bahwa hidup pasti membutuhkan orang lain, dan kita paling tidak harus membalas jasa-jasa mereka.
Kenapa harus membalas jasa mereka? Toh mereka cuma beberapa saja yang berpengaruh dalam hidup saya -- orang tua, saudara, penjual makanan, tukang jahit, dan pembuat barang otomotif serta elektronik. Coba di sini kita luruskan pikiran agar sepemahaman. Kita hidup di dunia ini atas bantuan banyak makhluk, salah satunya yang paling penting adalah Ibu kita, karena ia yang bersusah payah melahirkan kita.
Kalau kita melihat kehidupan sebelumnya yang ratusan bahkan jutaan kali kita entah terlahir di alam apa, pastinya kita punya jutaan Ibu. Yang bisa jadi sekarang mereka terlahir menjadi orang lain, anak kecil, bahkan hewan sekalipun. Oleh sebab itu, kita perlu membalas jasa-jasa baik mereka dengan cara peduli dan mementingkan makhluk lain.
Apa saja yang bisa kita lakukan untuk membalas jasa mereka?
Praktik Balas Jasa
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai wujud praktik balas jasa untuk semua makhluk.
Pertama, berdana tanpa pamrih. Berdana adalah salah satu cara yang Buddha ajarkan pada kita untuk melunturkan sikap mementingkan diri sendiri. Saat kita ingin membahagiakan diri sendiri dengan mengenakan baju dan sepatu yang bagus. Maka, saat itulah kita harus eling, bahwa ada orang di sekitar kita yang tidak bisa membeli baju dan sepatu bagus dan kita harus membantu mereka. Tidak melulu soal uang, tapi kita bisa memberi baju dan sepatu yang masih layak pakai untuk mereka. Berdana bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. asal saja kita berdana dengan setulus hati dan tidak perlu berharap atas buah apa yang akan kita dapat nantinya.
Kedua, mengendalikan ucapan. Eling lan waspodo bahwa peduli dengan orang lain sambil melatih sila Buddhis. Sila Buddhis yang paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari adalah "berucap tidak benar". Kategori ucapan tidak benar yaitu: ucapan bohong, tidak sesuai fakta, menjerumuskan, dan ucapan yang tidak berguna. Â Ucapan yang kita lontarkan pada orang lain ini berhubungan dengan kepedulian terhadap Ibu-Ibu kita.
Dulu, Ibu pasti selalu memuji kita dan menuturkan kata-kata yang baik untuk memotivasi kita. Ada baiknya kita juga membalasnya dengan berucap yang baik pula. Misal, tidak memaki orang lain, tidak menghina pengemis dengan ucapan kasar, bahkan memarahi Ibu kita sendiri karena suatu kesalahan, bahkan kita jangan sampai menghina serta menyebarkan berita tidak benar tentang seseorang di media sosial. Kalau kita bisa menjaga ucapan dengan baik, maka inilah salah satu bentuk balas jasa atas ucapan baik Ibu-Ibu kita terdahulu.
Ketiga, berdoa. Mendoakan semua makhluk untuk selalu bahagia dan terlahir di alam yang menyenangkan. Berdoa merupakan bentuk kepedulian sosial karena kita juga berharap bahwa orang-orang yang ada di sekeliling kita selalu sehat, bahagia, dan punya penghasilan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Jadi, saat kita eling lan waspodo adanya diri ini karena berkat jasa banyak makhluk, maka hendaknya kita bisa menggunakan waktu dalam kehidupan ini untuk berbuat baik yang bermanfaat untuk diri sendiri dan juga semua makhluk.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H