"Ada apa dengan Neima? Kenapa kamu seperti orang ketakutan begini?"
"Kamar mandi, Mr. Kamar mandi." Jawabku dengan nada terpatah-patah.
Dengan sigap Mr. Anton langsung menuju kamar mandi perempuan. Beberapa siswa dan siswi juga membututinya. Mr. Anton kemudian mendobrak kamar mandi.
"Tidak...." Nela berteriak dan jatuh pingsan setelah pintu itu terbuka. Dua siswi lainnya membawa Nela ke UKS.
Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Baru saja tadi pagi aku berkenalan dengan Neima. Siang ini aku melihatnya sudah tidak bernapas lagi. Wajahnya lebih pucat dari yang aku lihat tadi. Darah mengalir dari lehernya. Ia tergeletak di lantai dengan pisau di tangan kirinya. Tubuhnya basah, tapi kotoran lumpur masih membekas di seragam yang ia kenakan. Miss Vera yang kebetulan lewat depan kamar mandi dan mengetahui apa yang sedang terjadi sontak memanggil ambulance. Setelah 5 menit kemudian Mr. Anton dibantu beberapa guru lainnya memindahkan jenazah Neima ke dalam ambulance.
Kejadian ini sempat menggemparkan satu sekolah. Aku pun bingung, sehari setelah kematian Neima aku  mengunjungi salah satu guru Bimbingan Konseling di sekolah.
"Permisi. Pagi, Miss Ajeng." Ucapku dengan nada sedang sembari mengetuk pintu ruangan guru BP.
"Iya, silakan masuk, Kadam. Silakan duduk." Jawab Miss Ajeng sambil tersenyum dengan kedua tangannya yang sedang sibuk membenahi puluhan lembar kertas ke sebuah stopmap.
"Miss, saya mau curhat. Rasanya ada yang aneh dengan kematian Neima."
"Miss juga turut prihatin, pasalnya Neima meninggal dengan membunuh dirinya sendiri. Entah karma apa yang membuat ia seperti ini. Polisi juga sampai beberapa hari ke depan masih menyegel kamar mandi. Dokter juga sedang melakukan visum, karena polisi kemarin menemukan luka lebam di jari dan punggung Neima." Miss Ajeng juga begitu terpukul dengan kepergian Neima.
"Oh iya Miss. Neima itu anak yang gimana ya, maksudnya sifatnya begitu?" Tanyaku mulai penasaran.