Aku jadi ingat, dahulu Mega dan Lintar sering bercengkerama bersama di bawah pohon mangga di depan rumah Lintar. Suasananya cerah dan sejuk, Ibu dan Ayah Lintar membuat rujak mangga. Sedap rasanya, aku pun pernah mencicipinya, meski yang jatuh di tanah.Â
Tapi, rasanya tetap sedap, tidak kalah nikmat dari yang sudah ada di piring kala ini. Tapi, aku sudah lama tidak melihat mereka berdua membuat rujak itu. Entah. Aku juga tidak mengerti. Aku pernah mencoba memberitahu itu pada Lintar, tapi tidak pernah dihiraukan.
"Mega... Mega.." Lintar rupanya sudah bangun. Ia tidak berani melongoknya di kamar, karena kemarin ia baru memarahi Mega.
"Iya, Lintar."
"Ambilkan sabit yang ada di samping rumah."
"Apa yang akan kamu lakukan pada sabit itu?"
"Sudahlah, jangan tanya lagi, cepat ambilkan untukku." Wajah Mega sedikit kesal, tapi tetap saja ia ambilkan itu untuknya.
"Aku akan pergi ke ladang dekat rumah, kasihan hewan-hewanku, belum aku beri makan."
"Tapi, kamu masih terlihat belum sehat betul. Sebaiknya istirahat dulu. Biar aku bawa mereka ke ladang, akan aku tunggui sampai mereka kenyang makan rumput."
"Ah, tidak usah. Aku tidak ingin membuat kulitmu yang bersih menjadi gelap karena matahari siang."
"Kamu ini bicara apa?"