Mohon tunggu...
Juna Hemadevi
Juna Hemadevi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seorang manusia yang masih terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia Itu Makhluk Tertinggi yang Tidak Bisa Berdiri Sendiri

3 November 2022   15:00 Diperbarui: 3 November 2022   15:01 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katanya sih, 'kamu nggak boleh manja, harus mandiri, harus bisa ini itu sendiri, jangan nyusahin orang lain'. Kenyataannya tidak seperti itu juga, karena secara teori, manusia merupakan makhluk sosial. Jadi manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia butuh orang lain untuk menjadi teman, dan ada beberapa saat kita sebagai manusia bisa melakukan apapun dengan tangannya sendiri, ada pula saat di mana kita benar-benar membutuhkan orang lain untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan. 

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sendiri seperti menyetir sepeda motor, mengerjakan tugas individu, membuat artikel, makan sendiri, minum sendiri. Tapi dari hal-hal yang bisa kita lakukan sendiri itu pasti ada orang lain yang membantu kita untuk mengkondisikan adanya sepeda motor, tugas, artikel, makanan dan minuman.

Ada pabrik pembuat sepeda motor, ada guru yang memberi tugas, ada inspirasi dari orang lain untuk menulis artikel, ada pasar yang menyediakan sumber makanan dan minuman. Ya kita tidak secara sempurna melakukan apapun dengan tangan sendiri. Kalau dibilang harus mandiri, tapi dari orang lain tidak memberikan umpan, ya kita tidak bisa memberi umpan baliknya.

Manusia dalam Buddhisme

Kalau dalam ajaran Buddhisme, manusia itu makhluk tertinggi dengan alasan karena diantara makhluk-makhluk lainnya hanya manusia yang bisa merasakan sukha dan dukkha dengan penuh kesadaran. Sebagai manusia kita bisa sadar kalau kita sedang bahagia, buktinya kita bisa tersenyum, tertawa dengan lepas, ataupun bisa tidur dengan pulas. Saat merasakan kesedihan kita juga sadar, bisa tiba-tiba menangis atau tiba-tiba terpuruk sendirian di kamar tidak mau keluar selama seminggu.

Perasaan sukha dan dukkha secara bersamaan ini tidak bisa dialami makhluk lain di alam tinggi dan alam rendah. Seperti di alam rendah misal alam setan, alam binatang, mereka hanya bisa merasakan dukkha karena disiksa setiap hari dan tidak bisa berpikir layaknya manusia. Apalagi makhluk di alam tinggi seperti dewa hanya bisa merasakan kebahagiaan. Bahkan di alam brahma pun bisa dikatakan tidak tidak bahagia dan tidak tidak menderita, karena ada dua jenis alam yaitu arupa brahma dan rupa brahma. Di alam arupa brahma, mereka hanya bisa merasakan batin mereka tanpa adanya jasmani. Sedangkan di alam rupa brahma mereka hanya bisa merasakan jasmani tanpa adanya batin. 

Tapi, disamping sebagai manusia yang sadar merasakan sukha dan dukkha, terlahir sebagai manusia juga merupakan suatu karma yang sangat luar biasa dan sebenarnya menunjukkan bahwa betapa manusia tidak berdaya di hadapan dunia.

Manusia itu tidak berdaya

Kenapa manusia bisa tidak berdaya di hadapan dunia? Iya, coba baca kembali paragraf sebelumnya tentang sukha dan dukkha, manusia bisa menjadi superhero saat bahagia, karena mereka sadar bisa melakukan apapun termasuk membantu orang lain saat bahagia. Coba saja kalau manusia sedang sedih, jangankan membantu orang lain, membantu diri sendiri agar tidak sedih lagi itu sangat susah. Dan sebenarnya agar bisa membangkitkan kebahagiaan maupun menghapus rasa sedih, si manusia itu harus membutuhkan orang lain, alias saling bergantungan dengan manusia lainnya.

Kita bisa menghapus rasa sedih dalam diri apabila melihat orang lain yang lebih susah dari kita. Lama-kelamaan kita bisa menyadari alasan mengapa kita tidak harus sedih. Kita bisa merasakan kebahagiaan bila melihat orang lain bahagia, tentunya dengan ketulusan. Kalau dengan rasa tidak tulus, melihat orang lain bahagia kita malah jadi membencinya. Serba salah ya jadi manusia itu.

Lebih dari perasaan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai manusia, mulai dari makanan, tempat tinggal, transportasi, kesehatan, bahkan belajar Dharma pun kita juga membutuhkan manusia lainnya. Dalam urusan makanan, kita bisa saja berperan sebagai petani untuk memproduksi sayur dan buah, asal kita punya lahan atau tempat untuk menanam sayuran dan buah.

Bagi kita yang tinggal di pedesaan dengan jumlah lahan yang masih luas bisa saja kita menanam sayur dan buah dalam jumlah yang banyak. Tapi, coba bayangkan bagi kita yang hidup di kota, kalau tidak punya halaman yang luas, mana bisa mau tanam sayur dan buah. Bisa saja dengan menerapkan tanam sayur dengan hidroponik, tapi hanya beberapa jenis sayur saja yang bisa ditanam. Karena keterbatasan kemampuan kita dalam bertani di kota, maka kita membutuhkan pasokan sayur dan buah dari pedesaan ataupun dari daerah lain. 

Seorang manusia butuh manusia lainnya

Dalam hal transportasi kita juga masih bergantung dengan manusia lainnya. Kita ingin memiliki motor dan mobil agar lebih mudah saat bepergian, boleh saja sih, asal tidak membuat macet saja. Motor dan mobil yang kita miliki ini juga berkat perusahaan otomotif yang didirikan oleh orang lain. Perusahaan tersebut juga tidak bisa membuat kendaraan hanya sendirian, jadi mereka merekrut karyawan sesuai bagian produksi.

Kalau kita tidak ingin memiliki motor atau mobil, kita masih bisa menggunakan transportasi umum untuk bepergian seperti ojek, angkutan umum, bus, kereta, pesawat, ataupun kapal. Jadi, mau bepergian dengan kendaraan pribadi atau umum pun kita masih bergantung dengan manusia lainnya. Jadi, jangan sombong juga saat punya mobil baru, kalau tidak ada perusahaan yang memproduksi mobil tersebut, kita juga tidak bisa memilikinya.

Kita sebagai seorang Buddhis pun pasti membutuhkan orang lain untuk belajar Dharma, seperti biksu maupun Guru kita yang lainnya. Kalau tidak ada mereka yang lebih paham tentang Dharma, bagaimana kita mau mempelajarinya? Kita tidak mungkin berandai-andai tentang seperti apakah itu Dharma. Jadi kita perlu berkunjung ke Dharma Center atau tempat yang lain untuk belajar Dharma dengan biksu atau sekadar berbincang-bincang dengan teman.

Selain sebagai manusia yang tidak bisa berdiri sendiri, dalam beberapa kondisi kita juga manja dan rapuh. Saat terlalu panas atau terlalu dingin kita sering mengeluh dan berusaha memastikan agar tubuh kita tetap pada suhu yang normal. Padahal kita juga tidak bisa menyuruh alam untuk terus menerus teduh menuruti kondisi kita.

Bisa saja kita dengan sikap manja untuk menyewa pawang hujan supaya di wilayah kita tidak hujan, tapi apakah kemampuan dari sang pawang bisa bertahan lama? Tidak juga, kalau alam sudah berkehendak, kita bisa apa? Yang penting mempersiapkan diri saja supaya jasmani kita tidak kepanasan atau kedinginan dan jangan mengeluh kalau cuaca sering berubah-ubah. Karena secara umum segala hal yang diminta oleh jasmani kita langsung menurutinya. Dalam kondisi lain seperti saat duduk lalu kesemutan kita juga berusaha untuk memindahkan atau menggeser posisi kaki agar kesemutan itu hilang. Bila kita renungi, sebenarnya jasmani ini adalah Tuan kita, yang setiap permintaannya harus dituruti.

Di saat rasa manja mulai bangkit, di sana ada kerapuhan menyelimuti, kita hanya bisa memenuhi keinginan duniawi supaya jasmani kita merasa nyaman dan keinginan kita terpenuhi. Seperti saat cuaca dingin melanda, rasa pusing melanda kepala dan hidung jadi meler, untuk mengatasi itu kita lebih senang memanjakan diri untuk berendam air panas, menggunakan sweater berbulu domba, ataupun tidur dan semua itu kita juga bergantung pada orang lain.

Ada yang membuat dan menjual sweater jadi kita bisa memakai sweater, ada yang membuat alat pemanas air jadi kita bisa berendam di air panas. Saat kita mau tidur pun harus bergantung pada orang lain, seperti selimut, ranjang, kasur, bantal, dan guling, kalau tidak ada pabrik yang membuat mereka, kita tidak bisa tidur dengan nyaman dan nyenyak.

Dalam beberapa contoh di atas, kita memang bergantung pada orang lain. Tapi ada baiknya bila kita sebagai seorang Buddhis juga bisa melakukan hal-hal sederhana tanpa bergantung pada orang lain, seperti menjahit kain yang robek, berbelanja ke pasar dengan berjalan kaki, mencuci kendaraan sendiri, dan berbahagia tanpa harus bergantung pada orang lain. Atau bahkan lebih baik bila kita bisa membantu orang lain, daripada kita yang bergantung pada orang lain.

Misal kita memberi tumpangan pada orang lain saat akan bepergian. Tapi kita juga harus bijak saat memberi tumpangan, jangan sampai kita memberi tumpangan secara gratis tapi lama kelamaan kita menjadi bosan. Setidaknya ada interval waktu untuk memberi tumpangan, tidak setiap hari juga orang-orang itu membutuhkan tumpangan kita.

Tetapi saat lingkungan bahagia kita tentu harus bahagia, saat lingkungan sedih ya jangan terikat untuk sedih, tapi kita harus dalam kondisi netral. Inilah satu kesempatan yang bagus untuk praktik Dharma, supaya batin kita terbiasa untuk tidak melekat pada kebahagiaan atau rasa sedih itu sendiri. Praktik Dharma yang tepat di sini adalah kita bisa mengembangkan batin tanpa ada rasa bahagia atau sedih berlebihan. Pengembangan batin di sini bisa dengan meditasi cinta kasih untuk semua makhluk, berdana tanpa mengharap imbalan, dan menolong orang lain dengan tulus.

Bayangkan saja saat kita sedang memiliki perasaan bahagia yang berlebihan, lalu kita membantu orang lain yang habis terjatuh dari motor, tapi malahan orang yang ditolong tidak berterima kasih. Malah jadinya kita sendiri yang susah, karena sedang bahagia lalu menolong orang lain dan tidak dibalas terima kasih. Kita menjadi memiliki rasa benci terhadap orang tersebut, dalam hati kita memaki-maki orang tersebut. Bukannya menambah karma baik sehabis menolong orang, ini malah menambah karma buruk dengan memakinya dalam hati. Maka dari itu, saat kita menolong orang lain, perasaan kita juga harus diatur, jangan terlalu bahagia. Bila nantinya mendapat balasan yang tidak mengenakan hati, kita bisa menerimanya dengan tulus dan tidak menimbulkan kebencian.

Saat mau membersihkan batin perasaan dukkha juga harus dinetralisir. Dukkha yang kita rasakan bisa bermacam-macam, mulai dari rasa sedih, kecewa, marah, dan tersinggung. Jadi, alangkah baiknya sebelum praktik Dharma kita bisa menetralkan seluruh perasaan dukkha tersebut. Sebenarnya perasaan tersebut bisa dinetralkan sambil kita mempraktikkan Dharma, yakni meditasi. Dengan meditasi kita merenungkan segala penyebab dukkha yang sedang kita alami. Kita bisa menelusuri dengan teliti alasan mengapa kita bisa merasakan dukkha mulai dari buah karma atau memang kita yang mengundang perasaan itu datang pada diri kita.

Jadi...

Saat praktik Dharma kita juga harus merenungkan bahwa kita hidup sebagai manusia memang tidak bisa berdiri sendiri dan harus membantu makhluk lain. Oleh karena itu saat kita praktik Dharma, yakni praktik Dharma dengan tepat berdasarkan motivasi unggul kita agar semua makhluk bebas dari penderitaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun