Kalau membahas tentang belajar Dharma, kita pasti terpikirkan “paling-paling suruh berdana, ah, udah biasa!”.
Setiap hari hingga usia kita saat ini selalu ada hal-hal baru yang kita pelajari. Seperti sedari bayi kita belajar untuk tengkurap, berjalan, berlari, berbicara. Saat masuk sekolah kita bermain sambil belajar bersama teman-teman, mulai mengenal angka dan huruf, akhirnya kita bisa membaca dan menghitung dengan lancar.
Seiring bertambahnya usia apalagi saat kita masuk usia dewasa makin mengenal kehidupan yang sangat kompleks, seperti munculnya masalah, rasa sedih, rasa bahagia, mengenal sahabat yang baik dan tak baik, belajar kimia, filsafat, memasak, membersihkan rumah, dan lainnya.
Apalagi sekarang ditambah dengan perkembangan teknologi kita semakin banyak mengenal dunia, adanya media sosial membuat kita bisa punya banyak teman dari dalam negeri dan luar negeri, adanya google kita bisa mencari banyak informasi yang kita butuhkan sekaligus mengenal hal-hal baru.
Sebenarnya belajar itu ada banyak tipe, ada dari kita yang dengan mendengar saja bisa langsung menerima informasi dengan baik. Ada dari kita yang harus melihat sambil mendengarkan baru bisa menyerap informasi. Bahkan ada dari kita yang harus melihat, mendengar, dan mencatat informasi baru bisa menangkap informasi dengan baik.
Memang setiap orang itu berbeda-beda tipe belajar, dan tidak bisa disamakan. Tetapi untuk kita yang bisa belajar dengan cepat untuk menangkap suatu informasi.
Tapi, sebagai seorang Buddhis apakah kita sudah cakap menangkap Dharma? Mari kita ulas tentang 3 jenis manusia dalam belajar berdasarkan analogi cangkir.
Pertama, cangkir terbalik. Kita belajar Dharma diibaratkan seperti cangkir terbalik di mana tanpa kita meluangkan waktu untuk memeriksa suatu ajaran, kita malah sudah menolaknya dengan pikiran, seperti dengan mengatakan ‘ajaran macam apa ini?’, ‘kok ajarannya seperti ini’, ‘ah, ajarannya tidak masuk akal’.
Ketimbang kita menolak ajaran Dharma yang kita dengar, lebih baik kita memeriksa dahulu apakah ajaran tersebut bisa kita terima atau tidak. Daripada nanti akhirnya menyesal ‘oh iya ya, harusnya dulu itu saya tidak menolak ajaran ini, ternyata berguna untuk kondisi saya saat ini’. Pemeriksaan suatu ajaran sangat perlu agar kita bisa memilah mana ajaran yang bermanfaat bagi kita dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, cangkir berlubang. Saat belajar Dharma kita memang benar-benar meluangkan waktu untuk belajar, akan tetapi saat menyimak ajaran tersebut pikiran kita malah melayang ke mana-mana, biasanya kita akan memikirkan tentang setelah ini saya mau makan apa, nanti hujan tidak ya, saya nanti pulang ke rumah naik apa, jam berapa ya si guru akan selesai mengajar.
Ibarat kata kita sudah memiliki niat untuk belajar, tapi pikiran kita tidak menerima ajaran dan mengajak kita untuk memikirkan hal-hal yang belum terjadi.
Ketiga, cangkir kotor. Kita sudah memiliki niat untuk menyimak ajaran tetapi kita malah juga memiliki niat untuk membanding-bandingkan ajaran tersebut. Pada saat belajar itu juga kita akan berpikiran ‘wah, ajaran ini cocok juga dengan teori ini’. Sebaiknya saat kita menyimak ajaran Dharma, kita tidak perlu membanding-bandingkannya dengan ajaran maupun teori lainnya.
Secara dasar, ajaran Dharma itu untuk membenahi perilaku setiap individu bukan sebagai ajang untuk dibandingkan.
Ada baiknya kalau kita belajar Dharma itu karena benar-benar membutuhkan supaya kita bisa fokus dengan apa yang sedang kita simak. Kalau kita tidak bisa menyimak dengan baik, maka kita menyia-nyiakan karma baik yang seharusnya bisa kita hasilkan dari menyimak ajaran. Jadi, belajar Dharma harus dengan kesungguhan hati, jangan setengah-setengah dan tidak niat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H