“Semoga Allah mengampuni aku,” Fathina tertunduk di hadapan Allah mengingat karena berpikir belum ada yang dia perbuat mengurangi derita seakidahnya. Puisi itu akhirnya dikirim ke penerbit di Jawa yang katanya bersimpati dengan Palestina. Bersama teman-teman FLP, antologi puisi dan cerpen itu dijanjikan terbit.
Bagaimanapun juga roda akan berputar, dunia ini akan berjalan. Ketika seorang ibu dilahirkan, maka satu ibu yang lain telah tiada. Fathina menyadari ia dilahirkan dari salah satu ibu yang luar biasa. Ibu itu dasar peletak karakternya selama ini. Yang membuatnya berhati lunak dan terlepas dari cela.
“Ya Allah, kelak jadikan aku seorang ibu. Ibu penerus ibuku. Ibu yang penuh kasih sayang yang bisa melahirkan insan yang berbakti kepadamu. Menjungjung agamamu dan mendamaikan duniamu.” Fathina berharap. Pipinya mulai dibasahi air mata yang tak disadarinya.
Peperangan sebenarnya ternyata bukanlah mengangkat senjata dan kelihaian berkuda. Peperangan terbesar ketika berhadapan dengan hawa nafsu. Menjadi ibu yang baik tentu peperangan yang tak kalah sengit. Fathina sendiri telah lama menjadi ibu bagi anak didiknya di sekolah. Dan telah bersiap jadi ibu spesial bagi anak-anak dari rahimnya.
“Pena dan kasih sayang adalah rahmatmu ya Allah,” Fathina bergegas ke ranjang usai membacakan doa tidur yang dihapal dari ibunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI