Legitimasi merupakan dimensi yang mendasar dalam kepemimpinan seorang kepala desa karena merupakan pengakuan dari masyarakat terhadap kekuasaan serta kewenangan seorang kepala desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan masyarakatnya.
Seorang kepala desa membutuhkan legitimasi dalam rangka eksistensi kebijakan dan beragam kewenangan yang diembanya. Lemahnya legitimasi seorang kepala desa dapat memicu munculnya resistensi masyarakat terhadapnya. Oleh karena itu, membangun legitimasi bagi seorang kepala desa merupakan sebuah keniscayaan.
Legitimasi kepala desa tidak akan berhenti hanya sebatas pada legitimasi yang sifatnya formal maupun spiritual semata. Legitimasi formal (prosedural) merupakan legitimasi yang diperoleh melalui proses dan praktek demokrasi desa yaitu pemilihan kepala desa (Pilkades) yang secara legal-formal merupakan mekanisme yang sah untuk melegitimasi seseorang menduduki jabatan kepala desa. Sedangkan legitimasi spiritual adalah pada saat ia melakukan kontrak dengan Tuhanya dengan bersumpah dan berjanji atas nama Tuhannya sebagaimana dalam sumpah / janji jabatan yang telah diucapkanya.
Lebih dari itu, dari perspektif masyarakat sebagai pemegang kedaulatan, legitimasi kepala desa yang paling utama adalah pada saat ketika kerja dari seorang kepala desa secara nyata benar-benar dapat dirasakan langsung oleh masyarakat yang itu berlaku baik dari sisi institusioanal maupun personal.
Secara institusional, legitimasi kepala desa berkaitan dengan bagaimana kinerja pemerintah desa dalam menyelenggarakan pelayan publik bagi warganya. Sedangkan, secara personal berkaitan dengan bagaimana ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui serta tindakan kesehariannya termasuk model kepemimpinan yang dapat disuguhkan olehnya.
Terkait model kepemimpinan, kepala desa perlu bercermin dari kesuksesan perjalanan karier Presiden Jokowi dari walikota, gubernur hingga presiden dengan gaya kepemimpinan yang gemar "blusukan".
Dan ini sangat mungkin bahwa gaya kepemimpinan seperti inilah yang sesuai dengan keinginan masyarakat desa pada era Jaman now. Menurut Zulkarnain dan Haris (2017) dalam gaya kepemimpinan Jokowi yang gemar "blusukan" menyiratkan beberapa model kepemimpinan seperti kepemimpinan pelayan, horisontal dan demokratis yang pada akhirnya berdampak positif terhadap birokrasi pemerintahan, masyarakat dan elektabilatasnya.
Model kepemimpinan pelayan merupakan model kepemimpinan ketika kepemimpinan bukan merupakan posisi ketika seorang duduk menikmati penghormatan, penghargaan dan sanjungan.
Tetapi suatu posisi ketika seseorang harus selalu siap untuk berada di posisi paling rendah dan paling belakang. Pemimpin yang melayani bersedia kehilangan 'hidupnya' demi tercapainya kesejahteraan hidup orang-orang yang dipimpinnya dan bukan sebaliknya justru mengambil hak-hak atau memeras orang yang dipimpimnya demi kesejahteraan hidup sang pemimpin.
Model kepemimpinan horisontal merupakan model kepemimpinan yang merakyat yang tidak terlalu mengandalkan jabatan dan simbol simbol kekuasaan. Berupaya untuk terus dapat bersama sama dengan rakyat.
Selalu ingin mengetahui apa sejatinya keinginan dan kebutuhan rakyatnya. Ia tidak menunggu didatangi tetapi justru berupaya mendatangi warganya. Sedangkan model kepemimpinan demokratis atau partisipatis adalah model kepemimpinan yang selalu menggunakan pendekatan partisipatif dalam menjalankan kekuasaannya. Intinya, rakyat akan selalu dihadirkan dalam setiap kebijakanya dan bukan hanya pada saat pemilihan saja.
Model kepemimpinan yang gemar "blusukan" ala presiden Jokowi yang menyiratkan beberapa model kepemimpinan pada akhirnya mampu berdampak positif terhadap birokrasi pemerintahan, masyarakat dan elektabilitas.
Kinerja birokrasi pemerintah menjadi lebih baik karena para pegawai harus selalu siap bekerja. Atau setidaknya para pegawai harus berpikir dua kali ketika ingin melakukan sesuatu yang tidak semestinya, karena suatu saat pasti masyarakat akan menyampaikannya pada pemimpinnya langsung. Terhadap masyarakat, "blusukan" menjadikan masyarakat semakin mudah dalam menyampaikan keinginan, aspirasi dan berbagai keluhan kepada pemimpinnya.
Cara kerja yang "Blusukan" menyiratkan alur berpikir seorang pemimpin yang kritis yang tidak serta merta tunduk pada data ataupun laporan tertulis yang telah dibuat untuknya. Namun, lebih ingin berusaha mencari dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi dilapangan. Mengecek langsung apakah kebijakan atau keputusan yang telah dibuat benar benar sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.
Dengan langkah seperti ini, tercapainya tujuan untuk membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat bukan hanya sebuah ucapan belaka. Langkah yang juga efektif dalam menciptakan kepuasan masyarakat yang kelak akan dimanifestasikan lewat keinginan masyarakat untuk menjadikanya pemimpin kembali.
Dilandasi atas pentingnya membangun legitimasi bagi seorang kepala desa dan semangat era pembaharuan konsep pembangunan desa yang pada dasarnya ditujukan agar keberadaan desa benar benar menjadi tumpuan dalam membangun Indonesia, tumpuan mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial masyarakatnya.
Maka menghadirkan model kepemimpinan yang gemar "blusukan" layaknya Presiden Jokowi oleh seorang kepala desa mungkin sudah saatnya menjadi keharusan dan boleh jadi merupakan kewajiban. Terutama untuk menghindari ataupun meniadakan berbagai potensi permasalahan dalam tata kelola pemerintah desa maupun tata laksana pembangunan desa yang dapat menghambat tercapainya tujuan dasar pembangunan desa.
Dalam tata kelola pemerintah desa, potensi permasalahannya antara lain maladministrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik di desa. Maladministrasi seperti petugas atau perangkat yang melakukan penundaan pelayanan yang berlarut-larut. Tidak mau memberikan pelayanan dengan berbagai macam alasan yang tidak logis. Menyalahgunakan wewenang untuk tujuan tertentu.
Meminta imbalan uang, barang atau jasa diluar ketentuan dan standar layanan. Melakukan kekerasan fisik maupun psikis. Mengambil keputusan yang menguntungkan satu pihak saja.
Memiliki konflik kepentingan atas obyek yang diadukan masyarakat. Melakukan diskriminasi dalam pelayanan dengan membedakan masyarakat yang dilayani atas dasar suku, ras, agama dan jenis kelamin tertentu.
Sedangkan dalam tata laksana pembangunan desa, potensi permasalahannya seperti pelaksanaan pembangunan yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Kurang partisipatif dan transparan yang darinya akan memicu praktek manipulasi, mark-up, kolusi dan korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H