Model kepemimpinan yang gemar "blusukan" ala presiden Jokowi yang menyiratkan beberapa model kepemimpinan pada akhirnya mampu berdampak positif terhadap birokrasi pemerintahan, masyarakat dan elektabilitas.
Kinerja birokrasi pemerintah menjadi lebih baik karena para pegawai harus selalu siap bekerja. Atau setidaknya para pegawai harus berpikir dua kali ketika ingin melakukan sesuatu yang tidak semestinya, karena suatu saat pasti masyarakat akan menyampaikannya pada pemimpinnya langsung. Terhadap masyarakat, "blusukan" menjadikan masyarakat semakin mudah dalam menyampaikan keinginan, aspirasi dan berbagai keluhan kepada pemimpinnya.
Cara kerja yang "Blusukan" menyiratkan alur berpikir seorang pemimpin yang kritis yang tidak serta merta tunduk pada data ataupun laporan tertulis yang telah dibuat untuknya. Namun, lebih ingin berusaha mencari dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi dilapangan. Mengecek langsung apakah kebijakan atau keputusan yang telah dibuat benar benar sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.
Dengan langkah seperti ini, tercapainya tujuan untuk membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat bukan hanya sebuah ucapan belaka. Langkah yang juga efektif dalam menciptakan kepuasan masyarakat yang kelak akan dimanifestasikan lewat keinginan masyarakat untuk menjadikanya pemimpin kembali.
Dilandasi atas pentingnya membangun legitimasi bagi seorang kepala desa dan semangat era pembaharuan konsep pembangunan desa yang pada dasarnya ditujukan agar keberadaan desa benar benar menjadi tumpuan dalam membangun Indonesia, tumpuan mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial masyarakatnya.
Maka menghadirkan model kepemimpinan yang gemar "blusukan" layaknya Presiden Jokowi oleh seorang kepala desa mungkin sudah saatnya menjadi keharusan dan boleh jadi merupakan kewajiban. Terutama untuk menghindari ataupun meniadakan berbagai potensi permasalahan dalam tata kelola pemerintah desa maupun tata laksana pembangunan desa yang dapat menghambat tercapainya tujuan dasar pembangunan desa.
Meminta imbalan uang, barang atau jasa diluar ketentuan dan standar layanan. Melakukan kekerasan fisik maupun psikis. Mengambil keputusan yang menguntungkan satu pihak saja.
Memiliki konflik kepentingan atas obyek yang diadukan masyarakat. Melakukan diskriminasi dalam pelayanan dengan membedakan masyarakat yang dilayani atas dasar suku, ras, agama dan jenis kelamin tertentu.
Sedangkan dalam tata laksana pembangunan desa, potensi permasalahannya seperti pelaksanaan pembangunan yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Kurang partisipatif dan transparan yang darinya akan memicu praktek manipulasi, mark-up, kolusi dan korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H