Mohon tunggu...
Jumarni
Jumarni Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya Manusia Dhaif

Selesaikan Urusan Allah, Allah akan selesaikan segala urusanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kader Dakwah dan Manajemen Emosi

27 Mei 2020   23:46 Diperbarui: 28 Mei 2020   10:19 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemimpin, baik dia perempuan maupun laki-laki harus mampu menjaga marwah, Izzah dan iffahnya sebagai seorang yang di labeli Aktivis Dakwah Kampus.

Sebagai kader dakwah tentu seharusnya  menjadikan kita sebagai qurota a'yun (penyejuk  hati) bagi sesamanya (ring satu) bahkan untuk objek dakwah ring dua jika tak mampu untuk menghimpun ring tiga, setidaknya memaksimalkan ring satu dan dua.

Jika organisasi dijadikan sebagai wadah (keluarga), ada value ukhuwah disana, dimana kita sebagai kader dakwah tentu harus bisa secara bertahap untuk mengimplementasikan tahapan-tahapan ukhuwah yang sudah diketahui bersama. Bukankah sungguh indah surga nantinya, yang ketika kita dapat menerapkan value ukhuwah dalam berdakwah di organisasi (keluarga) ini. Bukankah ada syafaat dari orang yang saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran?

Sayangnya, kita belum mampu seperti perang itsar (perang yarmuk) dikisahkan oleh Abdullah bin Mush'ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, "Telah syahid pada perang Yarmuk al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun semuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, "Berikan dahulu kepada si fulan", demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu." 

Ini baru satu kisah perkara sepele disaat keletihan, kehausan, yang ajal sudah berada di kerongkongan tapi masih saling mendahulukan. Hingga akhirnya semuanya mati syahid dalam ke-itsar-an. Belum lagi soal saling mendahulukan untuk memberi istri, harta seperti kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Nampaknya kita belum kepada level itu.

Kita masih disibukkan dengan perkara emosional dengan dalih profesionalitas dan juga produktivitas. Seolah semuanya melebihi perkara ukhuwah dan lillah. Lantas apakah profesionalitas tidak boleh? Tentu boleh, sangat boleh. 

Apakah produktivitas tidak boleh? Justru Sangat dianjurkan. Tetapi dibalik semua itu hal yang wajib tidak terlupa adalah kita ini bersaudara, dan dakwah ini harus panjang nafasnya. 

Bagaimana mungkin emosionalitas dijunjung tinggi diatas dasar profesionalitas dan produktivitas? Lalu persaudaraannya dimana ? Lalu untuk mempertimbangkan keberlangsungan dakwah harus dengan amarah? Tentu tidak. 

Dakwah rasul tidak  mengajarkan untuk saling bersikeras, saling bersikukuh dengan sesama sahabat. Apalagi menggunakan kata-kata kasar, tidak ahsan, yang justru menjatuhkan marwah seorang kader dakwah.

Organisasi ini salah satu tarbiyah manajemen hati, pikiran, dan beramal. Untuk yang pertama saya menganalogikan hal ini dengan gambaran rumah tangga terhadap seorang kader dakwah dalam menyelesaikan suatu permasalahan, saya akan mengambil case seorang Ikhwan A yang apabila karena persoalan koordinasi dengan pasangan, keluarga anak, baik itu soal konfirmasi, dan lain-lain disikapi dengan bahasa yang tempramen menggunakan bahasa yang kasar, merasa paling benar, tidak memandang secara rasional, bahkan tidak mampu mengkondisikan dirinya untuk mejadi sosok pemaaf dan banyak maklum, apakah rumah tangga itu akan baik-baik saja? Bertahan lamakah? Apakah orang-orang yang ada didalam rumah itu akan betah?  Mungkin rumah tangganya itu akan berujung pada perceraian. Dan bagaimana nasib anak dari keluarganya, bercerai berai.

Yang kedua apabila seorang akhwat B marah dengan sesuatu hal yang salah dimatanya, kemudian dia tidak mampu untuk merasionalisasikan pemikirannya, tak dapat  bersikap lebih dewasa, bersikap lebih moderat (wasathiyah) tetapi menjadi cenderung menjadi kompor, kemudian mudah terbawa suasana, terpancing dengan suatu hal yang dia dengarkan. Apakah rumah tangga itu akan baik-baik saja ? Apakah orang-orang yang ada didalam rumah itu akan betah? Case ini apabila di analogikan sebuah organisasi seperti keluarga. Tentu Ikhwan A dan akhwat B ini terlihat jelas bagaimana kekalutan ia memanajemen emosinya.

Tidak ada suasana qurota a'yun. Tidak ada kesejukan dalam rumah tangga. Tidak ada ukhuwah disana, adanya api ketemu api. Tidak ada yang bisa berpikir rasional.

Mari kita mengevaluasi perjalanan organisasi ini, perjalanan dakwah ini, perjalanan rumah ini, perjalanan keluarga ini. 

Bagaimana kader instansi ini, setelah semua penerapan emosional itu terimplementasi ? Akankah ia langgeng hingga menjadi alumni ? Akankah ia merindukan rumahnya yang sakinah?

Atau jangan-jangan kenangan pahit yang terekam hanya karena kita menyikapi teknis prosedural dengan ego, dengan emosional? Dengan kata-kata kasar ? Justru menjadi rumah yang enggan untuk dirindukan, apalagi diulangi.

Saya hanya ingin merefleksikan untuk kembali pada panutan kita, bagaimana Ia (Rasulullah SAW) sabar berdakwah secara sembunyi-sembunyi 13 tahun lamanya, kemudian  sosok syekh Hasan Al Banna menjadikan partner berjuangnya melebihi seorang saudara, saling memahami, saling menanggung beban, bahkan saling mendahulukan kepentingan saudaranya sebagaimana rasul dan sahabatnya.

Lalu kita ? Jangankan menanggung beban, bahkan kita tidak mengerti kondisi kader dakwah lain. Baru belajarkah ia ? Sudah fahamkah ia dalam menjalankan tugasnya? Sudah terpenuhikah kebutuhan dari supporting systemnya dalam dakwahnya. Jangan-jangan kostnya saja letaknya tidak tau, jangan-jangan kader sekitar kita tidak kita ketahui bahwa dia adalah orang yang tidak mampu. Yang hanya menuntut antum/na kader, atau antum/na qiyadah jadi harus faham, harus perfeksionis.

Kemudian pertanyaan saya, apakah seorang qiyadah tidak pantas mendapatkan perlakuan sebagai suatu kelompok yang berukhuwah ? Mengapa tidak tidak kita terapkan kepada semuanya ? Apakah semua qiyadah sama pemahamannya ? Dan yang terakhir, apakah hanya Jundi yang dapat diperlakukan value ukhuwah?

Jika pembaca mengatakan bahwa, iya hanya Jundi saja. Qiyadah tidak perlu, qiyadah harus menanggung faham segalanya, tidak perlu ditunaikan ukhuwah untuknya. Bahwa qiyadah haruslah menanggung semua beban. Bahwa qiyadah haruslah dikerasi, ditegasi. 

Lalu, mereka batu ? Tidak layak untuk dimanusiakan ? Letak kecelakaan berpikir, pola pikir semacam yang telah saya tuliskan diatas harus diubah. 

Jika labelingnya Aktivis Dakwah kampus, ya layak untuk dimanusiakan. Tak memandang qiyadah ataupun Jundi. Mengapa kita tidak keras kepada mereka yang terang-terangan memusuhi kita ? Mengapa kita malah sebaliknya, yang keras kepada saudara, dan lembut kepada musuh ? Kita bukanlah preman di internal dakwah. Dan hello Kitty didepan musuh, yang terang-terangan menolak dakwah yang notabenenya yang dipikul adalah kebenaran yang berlandaskan  Allah dan RasulNya kita berjuang. Mengapa takut ? Tidak keras dan cenderung untuk meditasi. Kalaupu  tidak keras, jika bermeditasi dengan musuh kita bisa, kenapa dengan sesama kader tidak mengambil islah?

Adab sesama kader yang hilang apalagi ditataran qiyadah sudah semestinya kita recovery untuk kebaikan dakwah. Tidak ada yang merasa lebih baik. Setiap ADK berproses, justru seharusnya husnudzon-nya kita dalam konteks sama-sama belajar, bukan husnudzon dalam hal superior dari label qiyadah, yang harus dituntut untuk bisa, paham segala hal, hebat, dll.

Mari belajar dari larinya keadaan dimana kader memilih ke harokah lain karena ketidaknyamanan, ketidakayoman para pengurusnya.

Mari belajar dari kondisi dimana kader yang memilih untuk mundur tanpa berita, berhenti dari peredaran yang katanya kumpulan para perindu surga.

Mari belajar dari qiyadah yang pergi tanpa mengingat prioritas tanggungjawab karena ketidakharmonisan para partner membersamainya.

Dan mari belajar dari mereka yang pasca kepengurusan tak merindukan perjuangan ini, yang jangankan merindu mengingatnya saja pun tak mau.

Karena ego, emosi, tendensi ketidaknyamanan bisa jadi membuat kita tak bersama meraih surga, justru malah menyesatkan karena menurut hawa nafsu amarah. Dan bisa jadi karena hal krusial inilah yang menjadi asbab dari pepatah 

"berteman akrab didunia, dan bermusuhan diakhirat"  

dan jika dispesifikasi lagi pada ayat berikut: 

"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya (yakni: sangat menyesal), seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku." Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia." (QS. Al-Furqan: 27-29).

Tulisan ini bagian dari efek keresahan dengan  kondisi yang ada. Diharapkan berhujung kepada cinta akan Allah, Rasulullah dan dakwah. Sehingga dapat menjadikan pengingat untuk saya, dan pembaca semata-mata karena rasa cinta dan mengharap ridhoNya dan memperbaiki apa yang semestinya untuk diperbaiki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun