Pemimpin, baik dia perempuan maupun laki-laki harus mampu menjaga marwah, Izzah dan iffahnya sebagai seorang yang di labeli Aktivis Dakwah Kampus.
Sebagai kader dakwah tentu seharusnya  menjadikan kita sebagai qurota a'yun (penyejuk  hati) bagi sesamanya (ring satu) bahkan untuk objek dakwah ring dua jika tak mampu untuk menghimpun ring tiga, setidaknya memaksimalkan ring satu dan dua.
Jika organisasi dijadikan sebagai wadah (keluarga), ada value ukhuwah disana, dimana kita sebagai kader dakwah tentu harus bisa secara bertahap untuk mengimplementasikan tahapan-tahapan ukhuwah yang sudah diketahui bersama. Bukankah sungguh indah surga nantinya, yang ketika kita dapat menerapkan value ukhuwah dalam berdakwah di organisasi (keluarga) ini. Bukankah ada syafaat dari orang yang saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran?
Sayangnya, kita belum mampu seperti perang itsar (perang yarmuk) dikisahkan oleh Abdullah bin Mush'ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, "Telah syahid pada perang Yarmuk al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun semuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, "Berikan dahulu kepada si fulan", demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu."Â
Ini baru satu kisah perkara sepele disaat keletihan, kehausan, yang ajal sudah berada di kerongkongan tapi masih saling mendahulukan. Hingga akhirnya semuanya mati syahid dalam ke-itsar-an. Belum lagi soal saling mendahulukan untuk memberi istri, harta seperti kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Nampaknya kita belum kepada level itu.
Kita masih disibukkan dengan perkara emosional dengan dalih profesionalitas dan juga produktivitas. Seolah semuanya melebihi perkara ukhuwah dan lillah. Lantas apakah profesionalitas tidak boleh? Tentu boleh, sangat boleh.Â
Apakah produktivitas tidak boleh? Justru Sangat dianjurkan. Tetapi dibalik semua itu hal yang wajib tidak terlupa adalah kita ini bersaudara, dan dakwah ini harus panjang nafasnya.Â
Bagaimana mungkin emosionalitas dijunjung tinggi diatas dasar profesionalitas dan produktivitas? Lalu persaudaraannya dimana ? Lalu untuk mempertimbangkan keberlangsungan dakwah harus dengan amarah? Tentu tidak.Â
Dakwah rasul tidak  mengajarkan untuk saling bersikeras, saling bersikukuh dengan sesama sahabat. Apalagi menggunakan kata-kata kasar, tidak ahsan, yang justru menjatuhkan marwah seorang kader dakwah.
Organisasi ini salah satu tarbiyah manajemen hati, pikiran, dan beramal. Untuk yang pertama saya menganalogikan hal ini dengan gambaran rumah tangga terhadap seorang kader dakwah dalam menyelesaikan suatu permasalahan, saya akan mengambil case seorang Ikhwan A yang apabila karena persoalan koordinasi dengan pasangan, keluarga anak, baik itu soal konfirmasi, dan lain-lain disikapi dengan bahasa yang tempramen menggunakan bahasa yang kasar, merasa paling benar, tidak memandang secara rasional, bahkan tidak mampu mengkondisikan dirinya untuk mejadi sosok pemaaf dan banyak maklum, apakah rumah tangga itu akan baik-baik saja? Bertahan lamakah? Apakah orang-orang yang ada didalam rumah itu akan betah? Â Mungkin rumah tangganya itu akan berujung pada perceraian. Dan bagaimana nasib anak dari keluarganya, bercerai berai.
Yang kedua apabila seorang akhwat B marah dengan sesuatu hal yang salah dimatanya, kemudian dia tidak mampu untuk merasionalisasikan pemikirannya, tak dapat  bersikap lebih dewasa, bersikap lebih moderat (wasathiyah) tetapi menjadi cenderung menjadi kompor, kemudian mudah terbawa suasana, terpancing dengan suatu hal yang dia dengarkan. Apakah rumah tangga itu akan baik-baik saja ? Apakah orang-orang yang ada didalam rumah itu akan betah? Case ini apabila di analogikan sebuah organisasi seperti keluarga. Tentu Ikhwan A dan akhwat B ini terlihat jelas bagaimana kekalutan ia memanajemen emosinya.