Mohon tunggu...
Jumari Haryadi Kohar
Jumari Haryadi Kohar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, trainer, dan motivator

Jumari Haryadi alias J.Haryadi adalah seorang penulis, trainer kepenulisan, dan juga seorang motivator. Pria berdarah Kediri (Jawa Timur) dan Baturaja (Sumatera Selatan) ini memiliki hobi membaca, menulis, fotografi, dan traveling. Suami dari R.Yanty Heryanty ini memilih profesi sebagai penulis karena menulis adalah passion-nya. Bagi J.Haryadi, menulis sudah menyatu dalam jiwanya. Sehari saja tidak menulis akan membuat ia merasa ada sesuatu yang hilang. Oleh sebab itu pria berpostur tinggi 178 Cm ini akan selalu berusaha menulis setiap hari untuk memenuhi nutrisi jiwanya yang haus terhadap ilmu. Dunia menulis sudah dirintis J.Haryadi secara profesional sejak 2007. Ia sudah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel di berbagai media massa nasional. Selain itu, ayah empat anak ini pun sering membantu kliennya menulis buku, baik sebagai editor, co-writer, maupun sebagai ghostwriter. Jika Anda butuh jasa profesionalnya dihidang kepenulisan, bisa menghubunginya melalui HP/WA: 0852-1726-0169 No GoPay: +6285217260169

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan Lokal "Situs Bumi Alit Kabuyutan" yang Penuh Filosofis

11 Agustus 2020   17:53 Diperbarui: 11 Agustus 2020   17:53 2364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situs Bumi Alit Kabuyutan di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung (sumber: J.Haryadi)

Kabupaten Bandung, Jawa Barat, memiliki beberapa objek wisata religi yang menarik. Salah satunya adalah Situs Bumi Alit Kabuyutan yang artinya kira-kira "rumah kecil warisan leluhur". Namun, masyarakat di sekitar tempat ini menyebutnya "Bumi Buhun Lebakwangi Kabuyutan". Lokasinya tidak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Bandung, menuju ke arah Timur, persis berada di daerah perbatasan antara Desa Lebakwangi dan Desa Batukarut, Kecamatan Arjasari. Bumi Alit Kabuyutan ini sudah diakui oleh pemerintah menjadi situs budaya sejak 1993.

Menurut jurnal ilmiah bertajuk "Nilai-nilai Interaksi Budaya Masyarakat Sekitar Bumi Alit Batukarut Kabupaten Bandung" yang ditulis oleh Asep Yanyan Setiawan, M.Pd., dan diterbitkan oleh Majalah Geoarea, Volume 1., No. 1, Edisi Mei 2018, keberadaan Bumi Alit Kabuyutan terletak pada areal lahan adat seluas +1.662 meter2. Ada dua bangunan di dalamnya yaitu Bumi Alit Kabuyutan dan Bale Panglawungan serta satu bangunan tambahan yaitu WC/kamar mandi. 

Bumi Alit Kabuyutan dilihat dari sisi depan (sumber: J.Haryadi)
Bumi Alit Kabuyutan dilihat dari sisi depan (sumber: J.Haryadi)

Bumi Alit Kabuyutan dilihat dari sisi belakang (sumber: J.Haryadi)
Bumi Alit Kabuyutan dilihat dari sisi belakang (sumber: J.Haryadi)

Bumi Alit Kabuyutan berukuran 5 x 6 meter persegi berupa rumah panggung sebagaimana umumnya rumah orang Sunda zaman dahulu. Bangunan tersebut menghadap ke Utara dan sebagian besar bahannya terbuat dari awi (bahasa Sunda yang artinya bambu), kayu, dan beratap injuk. Pada bagian depannya terdapat tiga anak tangga dan di bagian dalamnya terdiri dari tiga ruangan yaitu panjuaran (kamar tempat benda-benda pusaka), pangcalikan (ruang tengah) dan pawon (dapur).

Konon bangunan ini dibangun oleh leluhur dari Kerajaan Galuh bernama Embah Panggung Jayadikusumah beserta empat orang kepercayaannya. Sedangkan Bale Panglawungan seluas 10 x 10 meter persegi berupa pendopo yang dibangun pada 2010 dari bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Bale Panglawungan ini fungsinya sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah lembaga adat setempat.

Akses jalan menuju Bale Panglawungan (sumber: J.Haryadi)
Akses jalan menuju Bale Panglawungan (sumber: J.Haryadi)

Plang nama yang tertulis di gapura menuju Bale Pangawungan  (sumber: J.Haryadi)
Plang nama yang tertulis di gapura menuju Bale Pangawungan  (sumber: J.Haryadi)

Bale Panglawungan (sumber: J.Haryadi)
Bale Panglawungan (sumber: J.Haryadi)

Asal Usul Nama Desa Lebakwangi dan Desa Batukarut

Keberadaan Situs Bumi Alit Kabuyutan cukup unik karena berada di dua desa yaitu Desa Lebakwangi dan Desa Batukarut.  Menurut hasil penelitian  Asep Yanyan Setiawan, nama Lebakwangi mengandung beberapa arti. Pertama, nama Lebakwangi berasal dari Bahasa Sunda yang terdiri dari dua kata yaitu "lebak" berarti "daratan yang lebih rendah" dan "wangi" yang artinya "harum". Jadi, Lebakwangi artinya suatu tempat di daratan rendah yang menjadi terkenal karena keharuman para tokoh sesepuhnya.  Salah satu di antaranya Embah Panggung Jayadikusumah yang terkenal karena keahlian, kesaktian, dan kepemimpinannya.  

Kedua, nama Lebakwangi  berasal dari Tanjungwangi, yang berasal dari kata "tanjung" yang artinya daratan yang menjorok ke lautan (ketika bagian Selatan Jawa masih berupa lautan) atau "tanjung" yang dimaksud adalah adalah daratan luas yang menjorok ke danau dan  dikenal dengan sebutan Danau Bandung Purba(terjadi akibat terbendungnya Sungai Citarum Purba oleh material letusan dahsyat kedua Gunung Sunda/Cuda sekitar 135.000 tahun lalu,  sumber=T.Bahtiar, PR;2005) dan kata "wangi" yang artinya "harum".  

Ketiga, ada pendapat lain yaitu "tanjung" (mimusops elengi) adalah sejenis pohon yang berasal dari India, Sri Lanka, dan Burma. Tanaman ini masuk ke Indonesia sejak berabad-abad yang silam. Pohon tanjung berbunga harum semerbak dan bertajuk rindang, biasanya ditanam di taman-taman dan sisi jalan (sumber: https://id.wikipedia.org). 

Selanjutnya, arti nama Batukarut. Menurut informasi yang tersaji di laman blog http://desabatukarut.blogspot.com, keberadaan Desa Batukarut ini sudah ada sejak zaman dahulu. Keberadaannya tidak terlepas dari sejarah. Nama Batukarut ini berasal dari kata "batu" dan "karut". Batu yaitu benda alam yang keras dan Karut yaitu sesuatu yang mengikat pada suatu benda.   

Jadi, menurut cerita dari sesepuh desa ini yang mereka terima secara turun temurun, nama Batukarut diambil dari sebuah tempat yang terdapat sebuah batu berukuran besar. Batu tersebut tidak menapak ke tanah dan hanya diikat (dikarut) oleh akar secara alami.  Akar yang menyelimuti batu tersebut hingga saat ini keberadaannya masih di jaga sebagai bukti cikal bakal nama Batukarut itu sendiri.   Adapun letaknya berada di tengah-tengah pesawahan warga di Kampung Batukarut Girang, RT.04, RW.09, Desa Batukarut. 

Hubungan Sasaka Waruga Pusaka dan Bumi Alit Kabuyutan

Sasaka Waruga Pusaka adalah sebuah lembaga adat yang selama ini bertugas memelihara dan mengelola Bumi Alit Kabuyutan. Menurut Wawan, salah seorang ais panampih (penasihat) Sasaka Waruga Pusaka, tempat ini dikelola dengan baik oleh para sesepuh dan masyarakat yang tergabung dalam  lembaga tersebut. Nama lembaga adat ini merupakan warisan orang tua dulu (karuhun) yang bermukim di daerah ini. Kalimat "Sasaka Waruga Pusaka" sendiri mengandung makna "dalam diri kita ada suatu pusaka".

Sebelum masuk ke dalam area Situs Bumi Alit Kabuyutan, para tamu yang berkunjung diwajibkan oleh pengelola untuk memakai masker, serta membasuh tangan dengan menggunakan air dan sabun. Semuanya sudah disiapkan di dekat pintu masuk. Kemudian tamu boleh masuk ke area sambil disambut oleh beberapa orang pengurus Sasaka Waruga Pusaka.

Pengunjung sedang mencuci tangan sebelum masuk ke area Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi) 
Pengunjung sedang mencuci tangan sebelum masuk ke area Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi) 

Setelah memasuki gerbang, pada sisi kiri terdapat sebuah prasasti yang terbuat dari batu. Bentuk prasasti tersebut sangat unik karena dibuat bertumpuk, serta dikelilingi oleh beberapa batu yang ukurannya lebih kecil dan tersusun rapi. Batu paling atas berwarna kuning emas bertuliskan aksara kuna.  

Prasasti Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi)
Prasasti Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi)

Ada 17 batu kecil yang berada persisi dibawah batu utama. Menurut Wawan, jumlah batu tersebut tidak terlepas dari ajaran Islam yaitu simbol salat lima waktu sehari semalam yang terdiri dari 17 rakaat. Ini merupakan landasan hidup umat Islam. Selain itu, ada juga batu yang jumlahnya lima yang mewakili Rukun Islam dan ada batu yang tersusun berjumlah sembilan yang artinya wali songo (sembilan wali). 

Suasana di sekitar Situs Bumi Alit Kabuyutan ini sangat sejuk karena dikelilingi dengan beberapa pohon besar nan rimbun. Mungkin usia pohon-pohon tersebut sudah cukup tua karena batangnya sudah tinggi menggapai langit.  Cahaya matahari pun sukar menembus ke tanah sehingga pengunjung yang datang ke tempat ini merasa sejuk.  

Pohon-pohon besar yang rimbun mengelilingi area Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi)
Pohon-pohon besar yang rimbun mengelilingi area Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi)

Pohon-pohon yang sudah berusia tua berada di seputar area Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi)
Pohon-pohon yang sudah berusia tua berada di seputar area Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi)

Persis sejajar dengan pintu masuk area wisata religi ini terdapat sebuah bangunan lama khas Sunda yang disebut Bumi Alit Kabuyutan. Menurut Wawan, tiang bangunan Bumi Alit Kabuyutan ini berjumlah 17. Fondasi atau dasar bangunan (penduduk setempat menyebutnya "tapakan") terbuat dari pohon nangka. Pintunya diberi nama "dora" yang disusun dari pilahan 20 batang  bambu.

"Itu menggambarkan 20 sifat wajib bagi Allah, di antaranya sifat wujud, qidam, dan baqa (kekal)," ujar  ais panampih Sasaka Waruga Pusaka ini menjelaskan.

Wawancara Penulis dengan Wawan, ais panampih Sasaka Waruga Pustaka di Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: Eyyo Sunaryo) 
Wawancara Penulis dengan Wawan, ais panampih Sasaka Waruga Pustaka di Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: Eyyo Sunaryo) 

Wawancara Penulis dengan Wawan, ais panampih Sasaka Waruga Pustaka di Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: Eyyo Sunaryo) 
Wawancara Penulis dengan Wawan, ais panampih Sasaka Waruga Pustaka di Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: Eyyo Sunaryo) 

Seperti dikutip dari laman saintif.com, sifat wajib bagi Allah itu ada 20. Pertama, wujud yang artinya ada. Wujud dalam arti disini, Allah itu zat yang pasti ada. Dia berdiri sendiri, tidak diciptakan oleh siapapun dan tidak ada Tuhan selain Allah Ta'ala. Kedua, qidam artinya terdahulu. Allah adalah sang pencipta yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Sebagaimana sebagai pencipta, Allah ada lebih dahulu dari segala sesuatu yang diciptakannya. Oleh karena itu, tidak ada pendahulu atau yang mengawali selain Allah SWT.     

Ketiga, baqa' yang artinya kekal.  Allah itu Maha Kekal, tidak akan punah dan binasa atau mati. Tidak ada akhir bagi Allah SWT. Keempat Mukholafatul Lilhawaditsi (berbeda dengan makhluk ciptaannya). Allah SWT adalah yang pencipta, maka Allah sudah pasti berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya. Tidak ada satupun yang mampu sebanding dengan-Nya dan mampu menyerupai keagungan-Nya. 

Kelima, qiyamuhu binafsihi yang artinya berdiri sendiri. Allah Ta'ala berdiri sendiri, tidak bergantung oleh siapapun dan tidak membutuhkan bantuan siapapun. Keenam, wahdaniyah (tunggal/esa). Allah Maha Esa atau tunggal. Arti esa/tunggal disini, bahwa Dialah satu-satunya Tuhan Pencipta Alam Semesta. Ketujuh, qudrat (berkuasa). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan tidak ada yang bisa menandingi kekuasaan Allah SWT.

Kedelapan, iradat (berkehendak). Allah berkehendak atas segala sesuatu. Oleh karena itu, kejadian apapun itu terjadi atas kehendak Allah SWT. Bila Allah SWT berkehendak, maka jadilah dan tidak ada seorang pun yang bisa mencegah-Nya. Kesembilan, 'ilmun (mengetahui). Allah SWT mengetahui atas segala sesuatu baik yang tampak maupun yang tidak tampak.

Kesepuluh, hayat (hidup). Allah Maha Hidup, tidak akan pernah mati, binasa, ataupun musnah. Dia kekal selamanya. Kesebelas, sama' (mendengar). Allah Maha mendengar apa yang diucapkan hamba-Nya, baik yang diucapkan maupun yang disembunyikan. Keduabelas, basar (melihat). Allah Maha Melihat segala sesuatu. Semua yang ada di dunia ini tidak luput dari pengelihatan Allah SWT.

Ketigabelas, qalam (berfirman). Allah berfirman melalui kitab-kitab yang diturunkan melalui perantara para Nabi. Keempatbelas, qadiran (berkuasa). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu yang ada di alam semesta. Kelimabelas, muridan (berkehendak). Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Apabila Allah sudah menakdirkan suatu perkara maka tidak ada yang dapat menolak kehendak-Nya. 

Keenambelas, aliman (mengetahui). Aliman artinya Mengetahui. Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu. Ketujuhbelas, hayyan (hidup). Allah Maha Hidup. Dia selalu mengawasi hamba-hamba-Nya dan tidak pernah tidur. Kedelapanbelas, sami'an (mendengar). Allah itu Maha Pendengar. Tidak ada yang terlewatkan bagi Allah dan tidak ada pula yang melampui pendengaran-Nya.

Kesembilanbelas, bashiran (melihat). Allah selalu melihat dan mengawasi hamba-hambaNya. Oleh karena itu, sudah semestinya kita selalu berbuat kebaikan. Keduapuluh, mutakalliman (berfirman atau berkata-kata). Allah berfirman lewat kitab -- kitab suci yang diturunkan lewat para nabi. Ternyata makna yang dikandung dalam pilahan 20 batang  bambu di pintu Bumi Alit Kabuyutan begitu dalam.  

"Di sini tidak ada hubungannya dengan magis. Semua mengandung filosofi-filosofi Islam. Kalau kita bisa melaksanakannya dengan Islam yang benar seperti misalnya menjalankan salat lima waktu, Insya Allah bakal ketemu dengan pusaka yang ada dalam diri kita," ujar Wawan menjelaskan dengan penuh semangat.

Tanda Mata Khas Bumi Alit Kabuyutan 

Setiap bepergian ke suatu tempat biasanya wisatawan ingin membeli oleh-oleh khas setempat sebagai tanda kenang-kenangan. Setiap daerah wisata umumnya sudah menyediakan cindera mata yang bisa kita peroleh dengan membelinya. Begitu juga dengan lokasi wisata religi di Situs Bumi Alit Kabuyutan ini telah menyiapkan cindera mata yang terbuat dari bambu, kayu, dan lain-lain. Salah satu cinderam mata itu adalah miniatur prasasti Bumi Alit Kabuyutan.

Cindera mata berupa miniatur prasasti Bumi Alit Kabuyutan (Sumber: J.Haryadi) 
Cindera mata berupa miniatur prasasti Bumi Alit Kabuyutan (Sumber: J.Haryadi) 

Selain itu ada juga cindera mata lainnya yaitu berupa miniatur  perlengkapan menanam padi atau orang Sunda menyebutnya perkakas tatanam. Banyak perlengkapan bertani yang kini sudah punah bisa kita lihat dalam bentuk replika miniaturnya. Dengan melihat ini, kita bisa belajar sejarah pertanian masyarakat Sunda di masa lalu.  

Miniatur perlengkapan menanam padi atau orang Sunda menyebutnya perkakas tatanam (sumber: J.Haryadi) 
Miniatur perlengkapan menanam padi atau orang Sunda menyebutnya perkakas tatanam (sumber: J.Haryadi) 

Ada juga cindera mata berupa kujang (senjata tradisional khas Sunda) yang terbuat dari kayu. Bentuknya besar dan unik, bisa dipajang di ruang tamu sebagai hiasan rumah. Tentu masih banyak lagi bentuk cindera mata lainnya.

Cindera mata berbentuk kujang yang terbuat dari kayu (sumber: J.Haryadi)
Cindera mata berbentuk kujang yang terbuat dari kayu (sumber: J.Haryadi)

 

Contoh cindera mata di tempat objek wisata religi Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi)
Contoh cindera mata di tempat objek wisata religi Situs Bumi Alit Kabuyutan (sumber: J.Haryadi)

 

 

 

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun